Madinah, Kota Cahaya
Assalamualaikum, pembaca yang budiman. Bulan Maulid kembali tiba, terkait hal itu, kami punya ikhtiar meyampaikan secara berseri riwayat mulia Baginda Rasulullah (semoga kedamaian selalu untuknya). Selamat membaca!
Sekali waktu, saya ada keperluan mengantarkan koper jamaah yang tertinggal di bandara menjelang dilakukannya shalat Maghrib berjamaah di Masjid Nabawi, Madinah. Jamaah sudah berbondong-bondong menuju masjid dan menyesaki jalan raya. Pada saat-saat seperti itu, biasanya jalan raya menuju masjid sudah ditutup bagi kendaraan roda empat.
Sehubungan hotel jamaah bersangkutan ada dalam perimeter jalan yang tertutup itu, kami terpaksa merayu petugas yang berjaga-jaga. Hanya perlu menyampaikan keperluan kami, blokade jalan langsung dibuka sementara agar mobil bisa melintas.
“Itulah orang Madinah, akhlak Rasulullah masih tersisa di sini,” kata supir yang bertugas mengantarkan koper jamaah saat itu. Ia menekankan, tak ada ceritanya petugas kemanan di manapun di Arab Saudi bisa diajak kompromi untuk hal-hal mendesak seperti di Madinah. Adalah kelakar yang jamak di Tanah Suci soal perbandingan kebaikan hati warga Madinah dibandingkan kota-kota lain di Arab Saudi.
Kota ini, saya rasakan, memang lain. Begitu masuk dalam batas kotanya, terlepas dari matahari yang membara menyengat, ada sejenis kesejukan tersendiri. Sejak dahulu, Madinah memang semacam oasis. Gunung-gunung api dan jalur lava yang mengelilinginya membuat kondisi tanah jadi subur.
Kebun-kebun kurma yang menghijau menuju kota tersebut nampak memutus padang pasir dan gunung batu sepanjang perjalanan. Iklimnya juga relatif lebih ramah ketimbang Makkah atau Jeddah, misalnya.
Ia juga bukan kota yang berisik. Meski ratusan ribu silih berganti mendatangi kota tersebut dan memenuhi Masjid Nabawi di jantung kota, orang-orang tak berbicara dengan suara keras di Madinah. Di dekat Masjid Nabawi, yang memecah kesunyian biasanya hanya kepakan ribuan burung merpati, pelantang masjid, atau teriakan kondektur bus, “Makkah Makkah Makkah Makkah!”
Di jalan-jalannya, fakir sesekali nampak bergerombol. Saat sore tiba dan matahari tak sedemikian menyengat, pekerja dari Asia Selatan biasa keluar untuk bermain kriket sementara anak-anak setempat bermain sepak bola di lapangan berdebu.
Nuansa keseluruhan kota tersebut lebih santai ketimbang keriuhan di Makkah. Di sini, alih-alih saling sikut berebut tempat, peziarah dari negara yang berbeda tak jarang nampak bercengkerama dan saling menukarkan penganan.
“No Indonesia, no Iran, no Pakistan, no Turki, no Afrika. We are all Muslim ” kata seorang pria Saudi satu ketika saat saya sedang bercengkerama dengan beberapa jamaah dari negara lain. Selain di depan Ka’bah dan di Padang Arafah, pemandangan keberagaman yang damai di Madinah itu salah satu yang bisa membuat saya meneteskan air mata sampai sesenggukan di Tanah Suci.
Sukar kiranya membayangkan, sekitar 1.600 tahun lalu kota ini terjebak dalam konflik berdarah-darah. Yathrib, yang kemudian berganti nama jadi Madinah, menurut Ibn Khordadbeh, seorang sejarawan Persia abad ke-9 dalam bukunya Kitab Almasalik wa Mamalik mulai ditinggali suku-suku Arab dan Yahudi dari Yaman sekitar abad ke-4 Masehi.
Saat itu, tiga suku-suku Yahudi, Bani Qaynuka, Bani Qurayza, dan Bani Nadhir memiliki kedudukan yang relatif lebih tinggi ketimbang suku-suku Arab, utamanya di bidang perekonomian. Saat Kerajaan Sasaniah menguasai sebagian Hijaz, misalnya, Bani Qurayza merupakan pengumpul pajak dari warga Madinah.
Sedangkan Bani Qaynuka merupakan pengrajin emas dan pedagang yang menguasai pasar Madinah. Sementara Banu Nadir menguasai pertanian, pinjam-meminjam uang, serta perdagangan dan pembuatan senjata dan perhiasan.
Pada abad ke-4, kemudian tiba pendatang Arab dari Bani Awz dan Khazraj. Mulanya, menurut Ibn Ishaq, mereka mengabdi pada suku-suku Yahudi. Meski begitu, pada abad ke-5 kedua suku tersebut memberontak dan akhirnya berhasil mendapatkan posisi yang lebih tinggi di Madinah.
Bagaimanapun, seluruh suku-suku di Madinah tersebut tak kunjung bisa berdamai. Wilayah subur di kota tersebut dan sekitarnya diperebutkan dan jadi pemicu masalah. Menurut at-Tabari, pada 617, kemudian pecah Perang But’ah di Madinah. Bani Qurayza dan Nadir bersekutu dengan Awz melawan Qaynuka yang bersekutu dengan Khazraj. Puluhan orang, kebanyakan dari kaum Yahudi, tewas dalam konflik tersebut.
Perang itu jugalah yang akhirnya memicu suku-suku di Madinah jengah dengan kekerasan dan mencari jalan damai. Jalan damai itu mewujud dalam sosok Rasulullah yang berhasil mendakwahi sebagaian warga Madinah yang sedang berkunjung ke Makkah pada 620 Masehi.
Salah satu yang mula-mula dilakukan Rasulullah di Madinah, selain membangun masjid, adalah mengupayakan perdamaian tersebut dengan menyusun semacam konstitusi.
Dalam dokumen yang dicatat Ibn Ishaq dalam sirahnya, seluruh warga Madinah baik kaum Muhajirin, Anshar, maupun suku-suku Yahudi disatukan dalam satu kelompok. Mereka dilarang menumpahkan darah satu sama lain. Hukuman pembunuhan antarsuku adalah tanggung jawab pelaku semata alih-alih suku asalnya.
Penduduk Madinah juga disyaratkan saling membela saat ada ancaman dari luar, dan ikut menyepakati perdamaian dengan pihak luar. Madinah juga dijadikan tanah haram, tak boleh ada pertumpahan darah di lokasi tersebut.
Yang tak kalah penting, dalam dokumen itu juga disepakati bahwa suku-suku Yahudi bebas menjalankan ajaran agama mereka serta mendapatkan hak-hak yang sama dengan pihak-pihak lain dalam pakta tersebut. Mereka bahkan boleh menghukum kejahatan di kalangan mereka sesuai kitab yang mereka anut. Suku-suku Yahudi tersebut boleh tak mengikuti perang yang dilakukan umat Islam, tetapi tak boleh berkhianat melawan musuh bersama.
Perihal itu nampak biasa-biasa saja saat ini. Namun harus diingat, pada masa Rasulullah, seluruh kerajaan memiliki agama resmi yang dipaksakan pada warga mereka. Baik itu Kristen di Kekaisaran Bizantium, maupun Majusi di Kekaisaran Sasaniah. Artinya, kebebasan menjalankan agama lain di Madinah saat itu adalah terobosan yang jauh melampaui zamannya.
Konstitusi Madinah tersebut, pada akhirnya berhasil menyudahi perseteruan Khazraj dan Awz. Kendati demikian, suku-suku Yahudi bukan sekali dua kali melakukan pengkhianatan dengan membantu pihak-pihak lain yang hendak menyerang Madinah dalam Perang Uhud, dan utamanya Perang Khandak. Mereka akhirnya terusir dari Madinah dan tak pernah datang lagi.
Selepas Nabi wafat dan pusat-pusat kekhalifahan Islam berpindah ke Persia, Turki, Mesir, atau Andalusia; Madinah terbilang sepi dari konflik. Ia meneguhkan diri sebagai oasis dunia Islam.Tempat tak ada yang menumpahkan darah, dan seluruh yang didalamnya adalah saudara seiman.
Sekali waktu ketika melaksanakan shalat Jumat di Masjid Nabawi, saya melihat hampir lengkap semuanya. Jamaah Saudi dan jazirah Arab lainnya yang punya akar Mahzab Hanbali, jamaah Asia Selatan dan Turki yang mayoritas mempraktikan mahzab Hanafi, jamaah Indonesia dan Malaysia yang kebanyakan Syafii, orang-orang berkulit hitam dari Afrika bermahzab Maliki, bahkan dari Iran yang menganut Syiah; tak risih shalat berjamaah saling bersisian kaki tempel kaki, bahu tempel bahu.
Ia membuat pesan yang disampaikan khatib shalat Jumat di Masjid Nabawi hari itu bukan sekadar kata-kata kosong. Bahwa semua Muslim seharusnya adalah ikhwan dan akhwat satu sama lain. Bahwa ukhuwah adalah sesuatu yang harus dijunjung tinggi, tentunya lebih baik lagi bila tak hanya di Tanah Suci.
Saat shalat, pada rakaat pertama, imam membaca surah setelah Al Fatihah yang sama sekali tak saya duga, Al Asr. Saya belum pernah mendengar imam di Tanah Air membaca surat sependek itu pada shalat Jumat. Tapi pesannya memang pas betul. Bahwa kaum beriman semestinya saling menasehati dalam kebenaran,saling menasehati untuk menjaga kesabaran.
Selepas shalat, jamaah Indonesia dan India nampak bersalaman dan menangkupkan tangan kanan ke dada seturut tradisi yang mereka praktikkan bersama, sementara jamaah Saudi di sebelah yang tak bersalaman seturut pemahaman mereka tak ambil pusing melihat kebiasaan itu. Alih-alih jadi penyebab ricuh, keberagaman di Masjid Nabawi itu menunjukkan salah satu sisi paling indah dari agama Islam, lestari lebih dari 1.400 tahun di Madinah Al Munawarrah, Kota Cahaya. []
Baca Juga:
Kelahiran Rasulullah yang Penuh Cahaya
Datang Bayi Muhammad, Suburlah Desa Bani Sa'd
Perawakan Mulia Rasulullah SAW
Kisah Baitullah dan Rasulullah
Muhammad SAW Sang Pedagang Ulung