Musik dan Peradaban Islam, Riwayatmu Dulu
Belakangan, marak perdebatan soal kebolehan bermusik dalam Islam. Sudah awam sejak seribu tahun lalu, para ulama punya pandangan berbeda-beda soal tersebut. Faktanya, musik jarang sekali absen dari peradaban Islam.
Menurut Philip K Hitti dalam History of The Arabs, lantunan hymne keagamaan primitif telah memberikan pengaruh saat Islam datang. Hal tersebut nampak dalam talbiyyah ritual haji, yakni ucapan "Labbaika" para jamaah haji. Selain itu, tampak juga dalam lantunan tajwid saat membaca Alquran.
Dalam hal alat musik, kata Hitti, masyarakat Arab pra-Islam di Hijaz telah menggunakan duff yakni tambur segi empat, qashabah atau seruling, zamr yakni suling rumput, serta mizhar atau gambus yang terbuat dari kulit.
Para penyair juga menggubah syair mereka ke dalam sebuah lagu. Ketika Rasulullah diutus mendakwahkan Islam, sebagian besar musisi justru menyeru pada berhala. Bahkan ada seorang seniman yang ingin menandingi wahyu Allah yang disampaikan Rasulullah.
"Kecaman Muhammad terhadap para penyair muncul bukan karena mereka penyair, tapi karena mereka menjadi corong para penyembah berhala. Nabi mendiskreditkan musik, juga karena musik diasosiasikan dengan ritual ibadah kaum pagan," kata sejarawan ternama itu.
Dalam beberapa hadis, Rasulullah hanya memperbolehkan musik didendangkan pada dua momen saja, yakni pernikahan dan hari raya. Saat Aisyah binti Abu Bakar menikahkah seorang wanita dengan laki-laki Ansar, Rasulullah bersabda, ‘’Wahai Aisyah, tidak adakah kalian mempunyai hiburan (nyanyian). Sesungguhnya orang-orang Ansar menyukai hiburan (nyanyian).’’ (HR Bukhari dan Muslim).
Hal serupa juga terjadi saat hari raya. Berdasarkan Hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Aisyah mendengarkan permainan rebana (duff) anak perempuan kecil saat Idul Adha. Melihat hal itu, Rasulullah membiarkannya karena saat itu hari raya.
Selain pada dua momen itu, Rasulullah diriwayatkan sangat mencegah musik dimainkan. Hal itu karena bangsa Arab menggunakannya sebagai ajakan untuk melakukan ritual berhala. Pada awal perkembangannya, jenis musik dalam Islam bisa dibedakan menurut alat musik yang digunakan.
Kala itu, musik Islam hanya mengenal alat sederhana seperti rebana, rebab, seruling dan bedug. Nah, jenis musik yang berkembang pada masa ini adalah kasidah. Karena itu, kasidah bisa disebut sebagai salah satu jenis musik tertua dalam Islam. Selain itu ada gazal yang biasanya dimainkan hanya dengan menggunakan qanun dan rebab. Tema gazal adalah cinta dan kerinduan.
Di kawasan Hijaz, berkembang luas musik qabus atau qanbus. Di Indonesia, musik yang melibatkan banyak alat ini dikenal dengan sebutan gambus. Di awal perkembangan musik Islam, dikenal pula nasyid, yakni jenis musik yang lebih menonjolkan lirik daripada musik. Lawannya adalah naubah, yang lebih menonjolkan unsur instrumen daripada lirik.
Pada abad ke-7, hadir seorang musikus handal dari Baghdad yang kemudian hijrah ke Andalusia. Namanya Abul-Hasan Ali bin Nafi. Hitam kulitnya, merdu suaranya sehingga ia dijuluki Ziryab alias Burung Hitam.
Dalam teori musik, Ziryab banyak melakukan revolusi besar. Dia, misalnya, mengatur ulang parameter dalam musik dan irama musik. Dia juga menciptakan cara-cara baru terkait ekspresi di dalam bermusik.
Ziryab pernah menyusun repertoar dengan 24 nabaat. Setiap nabaat terdiri dari potongan berbagai vokal dan instrumental yang dilakukan pada sembilan gerakan. Setiap gerakan tersebut memiliki ritme tersendiri.
Selain dikenal sebagai musisi andal, Ziryab pun tercatat sebagai orang pertama yang memperkenalkan oud, semacam alat musik bersenar ke Eropa. Ia juga berinovasi menempatkan senar tambahan pada oud. Dari Andalusia, alat musik sejenis kecapi itu kemudian dikenal luas ke berbagai negara di benua itu dan kini kita kenal sebagai gitar.
Pada abad ke-9, hadir seorang filsuf bernama Abu Nasr Muhammad al-Farabi di Baghdad. Bukan hanya seorang filsuf ia juga terkenal sebagai musikus andal. Ia bahkan disebut sebagai penemu not musik. Penemuan not musik tersebut dijabarkan Al Farabi dalam karyanya Al Musiqa Al Kabir (Kitab Besar Musik). Buku itu lama menjadi rujukan utama para musisi klasik Barat. Ilmu dasar musik tercantum dalam karya fenomenalnya tersebut.
Musik dalam pandangan Al Farabi dapat menciptakan ketenangan dan mampu mengendalikan emosi. Ia pun meneliti musik sebagai terapi penyakit psikologis. Al Farabi kemudian menciptakan prinsip-prinsip filosofis tentang musik, baik kualitas kosmik dan pengaruhnya. Ia kemudian menangani akal dengan terapi musik dan mendapati adanya efek terapi musik di jiwa. Konon, susunan musik Al Farabi sedemikian canggih hingga bisa membuat pendengarnya menangis tertawa.
Pada abad ke-11, musik sudah mulai digunakan sebagai sarana oleh kaum Sufi untuk mendekatkan diri pada Allah. Imam Al-Ghazali menerangkan fenomena ini dalam kitabnya berjudul Kimia-i Sa'adah. Ia menjelaskan, para sufi memanfaatkan musik untuk membangkitkan cinta yang lebih besar kepada Allah dalam diri mereka. Dan dengan bermusik, para sufi kerap mendapatkan penglihatan dan kegairahan rohani.
“Maka dalam hal ini, hati para sufi menjadi sebersih perak yang dibakar di dalam tungku. Mencapai suatu tingkat kesucian yang tak akan pernah bisa dicapai oleh sekadar hidup prihatin walau seberat apapun.”
Puncak capaian musik sufi ini mengambil tempat di anak benua India dalam bentuk qawwali. Dari wilayah itu, muncul maestro-maestro musik sufi, mendayu-dayu dan sangat piawai memainkan nada-nada setengah bahkan seperempat. Mendiang Nusrat Fateh Ali Khan, kemudian Abida Parveen sampai AR Rahman sang pemenang penghargaan Oscar kini jadi penggawa musik sufi tersebut.
Sejak abad ke-17 hingga medio 19 Masehi, banyak penduduk kulit hitam dari Afrika barat yang dibawa paksa ke Amerika dan dijadikan budak. Menurut para sejarawan, sekitar 30 persen dari mereka adalah orang Islam. Sejumlah ilmuwan, termasuk Sylviane Diouf dari Pusat Kajian Budaya Kulit Hitam Schomburg New York, menunjukkan bahwa para budak Muslim itulah yang menancapkan akar musik blues di Amerika Serikat.
Untuk membuktikan keterkaitan antara musik blues Amerika dengan tradisi kaum Muslim, penulis buku In Motion: The African-American Migration Experience (2005) itu menunjukkan dua rekaman kepada hadirin di sebuah seminar di Harvard University. Yang pertama adalah lantunan azan, sesuatu yang akrab di telinga orang Islam. Kemudian, Diouf memutar "Levee Camp Holler", yakni lagu blues lawas yang pertama kali muncul di Delta Mississippi sekitar 100 tahun silam.
Lirik "Levee Camp Holler" itu terdengar seperti azan karena berisi tentang keagungan Tuhan. Seperti halnya lantunan panggilan shalat, lagu tersebut menekankan kata-kata yang terdengar bergetar. Menurut Diouf, langgam yang sengau dalam lagu genre blues itu dan kemiripan liriknya dengan azan adalah bukti pertautan antara blues dan umat Islam, khususnya dari Afrika barat.
Jadi, orang boleh saja berdebat soal halal-haram musik dalam Islam. Yang tak bisa disangkal, seni suara tersebut sudah sekian lama jadi latar suara jalan panjang peradaban Islam.