Kisah Rasulullah di Bukit Cahaya

Sejarah  

Assalamualaikum, pembaca yang budiman. Bulan Maulid kembali tiba, terkait hal itu, kami punya ikhtiar meyampaikan secara berseri riwayat mulia Baginda Rasulullah (semoga kedamaian selalu untuknya). Selamat membaca!

Di Bukit Cahaya

Mendung menggantung rendah di langit Makkah sore itu. Selepas adzan Ashar dan shalat berjamaah ditunaikan, langit kian pekat. Lazuardi tanpa cela yang biasanya mewarnai langit musim panas di Saudi kala itu nyaris tak nampak.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Dari kejauhan, Jabal Nur alias Bukit Cahaya yang terletak sekitar tiga kilometer ke arah timur laut Masjidil Haram, nampak mendominasi cakrawala ditingkahi latar langit kelabu tersebut. Puncaknya serupa punuk unta, seperti gunung di atas gunung.

Saat saya tiba di kaki gunung, dari arah Ring Road Makkah, rinai hujan mulai turun. Bahkan sejak dari area terakhir yang bisa dilalui kendaraan, ia bukan pendakian yang mudah. Jalan beraspal sudah menanjak tajam, ditingkahi anak-anak kecil tempatan yang bersikeras menawarkan air kemasan. “Sepuluh riyal, sepuluh riyal,” kata mereka dalam Bahasa Indonesia, mengumumkan harga yang semua orang tahu terlampau mahal tapi dibeli juga karena ini di Tanah Suci.

Penampakan Jabal Nur di Makkah. (Fitriyan Zamzami/Republika)
Penampakan Jabal Nur di Makkah. (Fitriyan Zamzami/Republika)

Sampai ke ujung jalan aspal sendirinya merupakan perjuangan meski cuaca tak sebegitu panas. Dan begitu sampai di kaki gunung, nampak itu keagungan Jabal Nur. Ia menjulang tanpa vegetasi, hanya batu-batu besar dan kerikil. Berdiri sekitar 650 meter di atas permukaan. Ia tak setinggi kebanyakan gunung di Indonesia, tapi kecuramannya membuat pendakian bukan perkara mudah.

Bahkan dengan undakan-undakan yang sudah dibuat bagi para pendaki, perlu sekitar dua jam untuk sampai di puncak. Terlebih, seantero postur gunung itu rawan. Selip langkah bisa berujung maut.

Berulang kali di hati muncul seruan untuk menyudahi perjalanan dan kembali ke kaki bukit. Namun para lansia, biasanya dari Turki dan Asia Selatan bikin malu hati. Mereka pelan-pelan betul tetap berupaya naik, terengah-engah namun penuh tekad.

Halangan dan rintangan menuju puncak juga tak menghalangi Muhammad SAW mendakinya 14 abad lalu. Terutama saat menjelang usia 40 tahun, ketika ia makin sering menghabiskan waktu sendirian merenung di Gua Hira, sebenarnya hanya sebuah ceruk kecil selebar 1,5 meter dan sedalam tiga meter, di puncak Jabal Nur.

Para periwayat menggambarkan, saat itu penduduk Makkah, terutama di kalangan suku-suku terkemuka, telah menjadi masyarakat yang sedemikian pragmatis dan transaksional. Keuntungan-keuntungan duniawi dari berdagang perlahan mengikis nilai-nilai luhur seperti keberpihakan pada mereka-mereka yang miskin dan kesetaraan manusia.

Jalan masuk menuju Gua Hira. (Wikimedia Commons)
Jalan masuk menuju Gua Hira. (Wikimedia Commons)

Membuat jamak praktik-praktik ekonomi yang culas seperti riba. Bahkan mendorong sebagian orang menguburkan hidup-hidup bayi perempuan mereka yang dinilai tak menguntungkan secara nasab dan perekonomian.

Meski mendaku sebagai keturunan Ibrahim dan Ismail, mereka tak lagi menyembah Tuhan Yang Satu. Mereka menyembah Hubal, dewa bulan yang diimpor dari Yaman, kemudian tiga dewi Latta, Manat, dan Uzza yang mereka anggap sebagai puteri-puteri Allah.

Rasulullah agaknya gusar melihat kondisi tersebut. Semakin tua usianya, ia kian kerap menghabiskan waktu sendirian di Gua Hira tersebut, berlama-lama jauh dari pemukiman di Makkah.

Saat ini gua tersebut hanya bisa sekitar dua atau tiga pria dewasa duduk bersisian. Di bagian atas pintu gua, dituliskan dengan cat dalam Bahasa Arab keterangan soal gua tersebut. Pelataran gua itu hanya bisa menampung belasan orang. Pada musim-musim haji, ratusan nampak mengular mengantri di jalur puncak gunung untuk bisa sejenak berada di lokasi tersebut.

Saat melihat perempuan-perempuan yang tak lagi muda dari berbagai negara terengah-engah kepayahan mendaki Jabal Nur, saya juga terkenang Siti Khadijah. Ia sudah jauh meninggalkan masa mudanya saat berjalan kaki dari kediamannya tak jauh dari Ka'bah kemudian mendaki dan mengantarkan bekal untuk suaminya terkasih di puncak gunung.

Dan tibalah satu malam pada Ramadhan 610 Masehi. Ibn Katsir dalam tafsirnya atas menyimpulkan bahwa Alquran mengabarkan kejadian itu dalam Surah An-Najm ayat 4-10.

Tidak lain (Alquran itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)

Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat

Yang mempunyai keteguhan; maka (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli (rupa yang bagus dan perkasa).

Sedang dia berada di ufuk yang tinggi

Kemudian dia mendekat (pada Muhammad), lalu bertambah dekat

Sehingga jaraknya (sekitar) dua busur panah atau lebih dekat (lagi)

Lalu disampaikannya wahyu kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah diwahyukan Allah.

Aisyah, istri Nabi yang belakangan dikutip dalam Shahih Bukhari dan Muslim menuturkan lebih terperinci. Saat tengah berada dalam gua tersebut, Muhammad SAW mendengar suara yang memerintahkannya mendaras. “Bacalah!”. “Aku tak bisa membaca,” jawab Muhammad atas perintah itu.

Jamaah haji mengunjungi Jabal Nur. (Fitriyan Zamzami/Republika)
Jamaah haji mengunjungi Jabal Nur. (Fitriyan Zamzami/Republika)

Aisyah menuturkan bahwa Rasulullah menceritakan ia kemudian didekap sedemikian erat oleh Jibril hingga batas kemampuannya. Tiga kali sebelum akhirnya sang malaikat menyampaikan ayat-ayat pertama Alquran yang nantinya ditempatkan pada awal Surat Al-Alaq.

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,

Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah

Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia

Yang mengajar (manusia) dengan pena

Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya

Selepas itu, Muhammad SAW tak turun gunung dengan jemawa karena baru menerima wahyu. Beliau juga tak langsung menyadari kenabiannya. Alih-alih, kata Aisyah, jantung Rasulullah berdetak kencang, tubuhnya gemetar, dan ia berkeringat hebat. Ia ketakutan, takut bahwa saat itu tengah dirasuki atau kehilangan akal. Langsung berlari menuruni terjalnya gunung menuju kediamannya dan menemui Khadijah. “Selimuti aku, Khadijah. Selimuti aku!”

Khadijah kemudian menyelimuti Rasulullah hingga perlahan ketakutan meninggalkan hati Rasulullah. “Wahai Khadijah, apa yang sedang terjadi padaku?” tanya Rasulullah. “Aku mengkhawatirkan keadaanku,” beliau melanjutkan. Khadijah kemudian menenangkan dengan meyakinkan Rasulullah soal budi pekertinya, kemurahan hatinya, kejujurannya, kesediaannya menolong mereka yang membutuhkan pertolongan, dan penghormatannya pada tamu. “Berbahagialah,” kata Khadijah. “Allah tak mungkin mempermalukanmu,” ia berkata melanjutkan.

Salinan naskah Alquran di Museum Birmingham yang berasal dari masa Khalifah Utsman bin Affan pada kulit hewan yang diperkirakan hidup pada Masa Rasulullah. (Wikimedia Commons)
Salinan naskah Alquran di Museum Birmingham yang berasal dari masa Khalifah Utsman bin Affan pada kulit hewan yang diperkirakan hidup pada Masa Rasulullah. (Wikimedia Commons)

Khadijah lalu membawa Rasulullah menemui Waraqah bin Naufal. Pria tua yang merupakan sepupu Khadijah tersebut kala itu pemeluk agama Kristen dan tahu banyak soal kisah-kisah dalam Injil dan Taurat. “Itu adalah namus, seperti yang telah diturunkan Allah untuk Musa,” kata Waraqah soal wahyu yang diterima Rasulullah. Waraqah kemudian memperingatkan bahwa Muhammad SAW akan mendapat tentangan dari masyarakat Makkah atas kenabiannya, dan menjanjikan perlindungan jika masih hidup saat Rasulullah menyampaikan risalahnya.

Rasulullah sempat mengalami jeda penyampaian wahyu dalam waktu yang cukup lama. Kemudian, seperti dicatat Imam Bukhari merujuk keterangan Abu Salama bin Abdurrahman, Rasulullah mendengar panggilan saat sedang berada di kaki Jabal Nur. Ia menengok ke kiri-kanan dan tak melihat siapa-siapa. Namun saat beliau menengok ke atas, Jibril menampakkan dirinya memenuhi cakrawala.

Ketakutan kembali memenuhi hati Rasulullah dan ia kembali meminta diselimuti. Dan turunlah ayat-ayat selanjutnya yang dirangkum dalam Surah Al-Muddassir ayat 1-5.

Wahai orang yang berkemul (berselimut)!

Bangunlah, lalu berilah peringatan!

dan agungkanlah Tuhanmu

dan bersihkanlah pakaianmu

dan tinggalkanlah segala (perbuatan) yang keji

Selepas itu, wahyu turun secara rutin hingga 23 tahun mendatang. Wahyu-wahyu yang datang satu per satu itu kemudian dikumpulkan dan jadilah Alquran yang isinya tak dirusak waktu hingga saat ini.

Tak hanya kata-kata indah, Alquran juga penuh dengan panduan moral yang mendobrak kejahilan zaman itu. Berlaksa-laksa ayat dengan argumen tak terbantahkan soal ke-Esa-an Allah.

Dengan segala keajaiban sastrawi tersebut, tak heran Alquran dipandang sebagai mukzizat yang dianugerahkan Allah kepada Muhammad. Setara atau bahkan lebih dari tongkat Nabi Musa atau kerajaan Sulayman. Alquran nantinya jadi pegangan miliaran manusia yang dihormati dengan takzim, dihafal hingga titik-titik terakhirnya.

Imam Ahmad bin Hanbal mencatat dalam musnadnya, ada beberapa sahabat yang pernah mendengar Rasulullah menggambarkan Jibril dalam rupa sebenarnya saat menampakkan diri di Jabal Nur. Wujudnya disebut memenuhi cakrawala, nampak kemanapun Rasulullah menengok. Enam ratus sayapnya, mencakup segala warna, menutupi seluruh sisi kaki langit. Mutiara dan batu-batu indah berjatuhan dari masing-masing sayap.

Saat tiba kembali di kaki Jabal Rahmah, dengan terengah-engah saya mengambil istirahat, duduk di salah satu batu besar dekat undakan. Hanya Jabal Nur yang menutupi kaki langit, sisanya nampak jelas. Membentang luas melingkupi Makkah, ditingkahi menara-menara dan bangunan-bangunan modern. Saya bayangkan, betapa menakjubkan dan menggetarkan yang disaksikan Rasulullah dari titik ini 14 abad lalu. []

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Tentang sejarah Tanah Air, dunia, dan peradaban Islam.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

Kategori

× Image