Rumah Cinta Rasulullah dan Khadijah
Assalamualaikum, pembaca yang budiman. Bulan Maulid kembali tiba, terkait hal itu, kami punya ikhtiar meyampaikan secara berseri riwayat mulia Baginda Rasulullah (semoga kedamaian selalu untuknya). Selamat membaca!
Ummul Mukminin
Jika dicerabut dari konteksnya, tempat itu sekadar bangunan di antara berlaksa-laksa lainnya di Makkah. Berada sekira sepuluh meter dari pintu keluar Masjidil Haram dekat Bukit Marwah, ia semacam benteng dengan desain yang futuristik. Terlihat janggal dibandingkan kiri-kanannya yang didesain dengan ornamental lawas.
Ketika saya kunjungi, di depannya ada plasa dengan sebuah tiang lampu yang menjulang. Dasar tiang lampu itu dikelilingi pembatas-pembatas plastik hijau membentuk lingkaran. Bangunan dengan warna coklat pasir itu punya banyak tangga dan undakan.
Jamaah melintasi wilayah itu dengan biasa-biasa saja. Hanya sesekali nampak ada yang berhenti dan melihat-lihat. Kebanyakan lekas berjalan ke Babussalam menuju Masjidil Haram
Di salah satu anak tangga utama pada bagian dasar bangunan coklat itu, saya bertemu Faturrahman dan Aswiyah, sedang duduk berehat selepas melakukan tawaf perpisahan dengan Ka'bah.
“Yang bener, Mas, di sini tempatnya? Saya ndak tahu sama sekali,” Kata Faturrahman yang berasal dari Malang, Jawa Timur. Aswiyah membagi ketidakpercayaan suaminya soal lokasi tersebut. Keheranan itu wajar saja karena bangunan tempat mereka bersandar itu hari fungsinya saat ini adalah toilet umum.
Tapi Oman Abdurrahman, seorang jamaah dari Ciamis, tahu apa yang tak diketahui kebanyakan jamaah. Ini kali keempatnya pengasuh Pondok Pesantren Alhuda di Turalag, Baregbeg, Ciamis itu berangkat haji. “Iya, di sekitar sini rumah Siti Khadijah,” kata dia saat saya temui di bagian sayap barat pelataran bangunan tersebut.
Ini tentu bukan informasi yang ia dapatkan dari brosur-brosur perjalanan, bahkan buku-buku sejarah kontemporer. Bukan pula sekadar cerita yang diturunkan dari jamaah ke jamaah melintasi waktu.
Oman mengaku mendapatkan kisah soal lokasi kediaman Khadijah yang juga ditempati Rasulullah selepas keduanya menikah selama 25 tahun mereka menikah dari kiainya di pesantren. “Dan cerita itu divalidkan kitab-kitab lain yang saya baca,” kata dia.
Berabad-abad Makkah dikuasai berbagai kerajaan, sedianya tempat-tempat yang punya signifikansi historis maupun spiritual di Masjidil Haram dan sekitarnya biasa diberi tanda atau dipelihara. Namun sejak 1925, saat Bani Saud mulai melancarkan pemberontakan yang didukung puritanisme ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab di Hijaz, banyak tempat-tempat itu diratakan.
Seturut proyek perluasan Masjidil Haram sejak 2008, tanda-tanda yang menunjukkan lokasi-lokasi itu makin sukar ditemukan. Kenangan-kenangan dan konteks lokasi-lokasi itu hanya bertahan seturut kisah yang dituturkan dari mulut ke mulut. “Saya sedih juga, Mas. Ini rumah Umul Mukminin, ibunya orang-orang beriman,” kata Oman tercenung.
Tak hanya tempat tinggal, jika benar itu lokasinya, di tempat itu juga Rasulullah diselimuti dan ditenangkan Khadijah binti Khuwailid sembari diyakinkan bahwa ia benar-benar telah menerima wahyu di Gua Hira. Dalam satu dan lain hal, gestur itu menunjukkan bahwa Khadijah telah mengakui kenabian bahkan saat Muhammad SAW masih meragu.
Lokasi itu juga tempat tinggal orang-orang pertama yang menerima Islam seperti sahaya pengasuh Rasulullah, Umm Ayman; sepupunya Ali ibn Abi Thalib; dan tempat lahir putri terkasih Rasulullah, Fatimah Azzahra.
Nabi Muhammad SAW mulai pindah ke rumah Khadijah selepas keduanya menikah saat Rasulullah berusia sekitar 25 tahun. Khadijah yang saat itu berusia 40 tahun mewarisi kediaman itu dari suami terdahulunya.
Berasal dari Bani Asad, Khadijah bukan perempuan biasa saat itu. Ia diriwayatkan lahir pada tahun 556 Masehi dari pasangan Khuwaylid bin Asad dan Fatimah bin Zayd.
Khuwailid, seorang Quraish yang terpandang, juga merupakan saudagar yang sukses. Meski begitu ia terbunuh dalam salah satu perang Fijar antara suku-suku di Makkah dan sekitarnya saat Khadijah berusia muda.
Khadijah pada masa mudahnya sempat menikah dengan Malik bin Nabash. Dengan peninggalan warisan ayahnya, Khadijah membiayai usaha suami pertamanya tersebut hingga berhasil. Meski begitu, Malik bin Nabash wafat saat masih muda. Bersama Khadijah, mereka dikaruniai dua putri.
Khadijah kemudian menikahi Atiq bin A’id dari Bani Makhzum namun bercerai tak lama kemudian. Dari Atiq, Khadijah juga mendapatkan seorang putri.
Selepas itu, Khadijah memfokuskan dirinya menjalankan bisnis dengan modal kekayaan yang ditinggalkan ayahnya. Ia mempekerjakan orang-orang terpilih untuk menjalankan ekspedisi dagang ke berbagai tempat di Timur Tengah.
Ibn Sa’ad meriwayatkan, rombongan yang membawa barang-barang dagangan Khadijah saat itu setara dengan gabungan seluruh rombongan dagang lainnya di Makkah. Istimewanya lagi, ini terjadi di masa ketika perempuan masih dianggap warga kelas dua.
Sang Putri Quraish, julukan Khadijah kala itu, sudah terpelajar sejak kecil. Ia akrab dengan sepupunya dari Bani Asad, Waraqah bin Nawfal yang berusia jauh lebih tua. Lama berkelana sebagai pencari Tuhan, Waraqah menguasai Taurat dan Injil, dan kemudian memeluk agama Kristen. Sementara berbagai riwayat mencatat bahwa Khadijah juga tak pernah menyembah berhala-berhala di Makkah.
Satu ketika, saat hendak mengirimkan ekspedisi dagang ke Suriah, Khadijah mendengar tentang Muhammad SAW, pedagang lain yang terkenal dengan kejujurannya.
Khadijah kemudian meminta kesediaan Muhammad SAW memimpin ekspedisi dagangnya tersebut. Saat itu, Khadijah menyertakan Maisyarah, pelayannya untuk mengamati Muhammad. Dari keterangan Maisyarah soal kepribadian Muhammad SAW, Khadijah kemudian memutuskan melamar beliau.
Sepanjang 25 tahun pernikahan mereka, Rasulullah tak mengambil istri lain. Bahkan selepas kematian Khadijah dan menikahi sejumlah perempuan lainnya, seperti diriwayatkan penuh cemburu oleh Aisyah salah satu istrinya, Nabi Muhammad tak pernah menyintai perempuan lainnya sebesar cintanya pada Khadijah. Menurut Aisyah, Nabi selalu menyisakan bagian kambing yang ia potong untuk sahabat-sahabat Khadijah semasa hidup.
Titik presisi kediaman Khadijah, menurut Oman memang sukar dipastikan. Jika tidak masuk dalam lokasi gedung toilet, ia kemungkinan juga di tiang lampu yang dikelilingi pembatas di depan bangunan itu. “Tapi pasti di sini. Karena tempat ini lurus dengan Babussalam, tempat Kanjeng Nabi biasanya ke Ka'bah,” kata Oman menuturkan.
Keterangan ini dikuatkan dengan penuturan pengelana termashyur, Ibn Battutah dalam karyanya “Rihlah” pada abad ke-14. Ibn Battutah menceritakan, saat ia mengunjungi Makkah, di lokasi tak jauh dari lokasi lama Gerbang An-Nabi atau dalam perimeter lokasi di timur Masjidil Haram, dahulu berdiri Kubah Wahyu yang terdapat di dalam rumah Siti Khadijah. Di dalam rumah tersebut, terdapat juga sebuah kubah kecil untuk menandai lokasi Fatimah bint Muhammad dilahirkan.
Tak jauh dari lokasi itu, pada masa lalu, terdapat juga bangunan yang menandai rumah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Berhadapan dengan rumah itu, kata Ibn Battutah, terdapat dinding dengan sebuah batu di salah satu bagiannya. Dinding tersebut dahulu biasa didatangi para jamaah yang mengusapnya dan memanjatkan doa.
Ahmad Zaki Yamani seorang arkeolog yang sempat menggali dan meneliti lokasi rumah tersebut pada tahun 1990-an mengiyakan lokasi di dekat toilet umum tersebut. Ia menuliskan secara mendetail soal rumah tersebut dalam bukunya “The House of Khadijah”.
Ia menuturkan, rumah tersebut terbagi dalam beberapa ruangan. Di antaranya, ruangan untuk menjamu tamu, kemudian sebuah koridor yang memisahkan kamar kelahiran putri-putri Nabi dengan kamar Rasulullah dan Khadijah serta ruangan shalat Rasulullah.
Selain itu, ada sebuah ruangan yang lebih besar dari lainnya yang diperkirakan berfungsi sebagai gudang. Hal ini disimpulkan seturut profesi Khadijah sebagai saudagar yang harus menyimpan barang dagangan bawaan rombongan dagangnya dari Yaman untuk kemudian dijual di Makkah.
Saat Rasulullah berhijrah, sepupunya Aqil bin Abi Thalib mengambil alih rumah tersebut. Kemudian saat Muawwiyah menjabat sebagai khalifah, ia membeli rumah tersebut karena berdempetan dengan rumah ayahnya, Abu Sufyan, seharga 100.000 dirham.
Rumah itu kemudian dijadikan mushala dengan membangun mihrab di bagian tembok yang menghadap Ka’bah. Muawiyah juga membangun pintu dari rumah Abu Sufyan menuju rumah Khadijah.
Atthabari meriwayatkan, pada abad ke-9 di sebelah kiri dari pintu utama mushala itu terdapat batu sepanjang 50 sentimeter kali 30 sentimeter. Batu itu kerap jadi lokasi berlindung Rasulullah dari lemparan batu kafir Quraish pada masa-masa awal kenabian.
Selepas masa Muawiyah, rumah ini direnovasi pada masa Khalifah Abbasiyah Annasir Lidinillah pada abad ke-12. Saat itu, dibangun kubah di ruangan shalat Rasulullah dan dinamai “Kubat Alwahy”, alias kubah wahyu. Nama itu merujuk seringnya Malaikat jibril datang ke ruangan ini untuk mengantarkan wahyu bagi Rasulullah.
Kondisi tersebut bertahan hingga abad ke-14, kemudian ada renovasi lagi pada masa Sultan Mamluk, Nasirrudin Faraj. Renovasi kembali dilakukan pada masa Sultan Utsmaniyah Sulayman pada abad ke-16 dan Sultan Murad pada abad ke-17.
Kemudian pada masa Sultan Abdul Hamid II pada abad ke-19, dibangun kembali sebuah bangunan dengan atap kayu yang ditutupi kain untuk menandakan lokasi kelahiran Fatimah. Sebelumnya, hanya ada marmer putih di lantai untuk menandai sejarah lokasi tersebut.
Pada 27 Oktober 1923, pasukan Saudi yang memberontak terhadap kekuasaan di Makkah memasuki kota. Pada hari kedua mereka menghancurkan banyak lokasi bersejarah.
Wali Kota Makkah Abbas Qattan, pada 1990-an saat mendatangi Raja Abdulaziz dan meminta agar lokasi kelahiran Rasulullah dan rumah Khadijah tak diratakan. Rumah Khadjah kemudian dibangun menjadi lokasi mengajar Alquran, sementara rumah kelahiran Rasulullah dijadikan perpustakaan. Seiring waktu, signifikansi lokasi kediaman Khadijah tersebut kemudian pudar dan kian dilupakan warga Makkah dan para jamaah haji.
Pada 1989, tutur Ahmad Zaki Yamani, bangunan-bangunan di bagian luar jalur Sa’i diratakan sehubungan perluasan Masjidil Haram. Saat salah satu buldoser melakukan penghancuran, bagian pengeruknya menggali terlampau dalam dan menyingkap semacam mimbar di bawah tanah.
Mengetahui kabar tersebut, Ahmad Zaki bersama warga tempatan kemudian dengan tangan mengali lokasi itu dan sempat memunculkan bangunan asli kediaman Khadijah. Bagaimanapun, tak lama kemudian penggalian tersebut dikubur lagi dan dan jadilah seperti sekarang.
Tanpa pengakuan, apalagi dengan upaya pengaburan konteks dari Kerajaan Saudi, lokasi itu akan selamanya tersembunyi. Hanya kisah yang diturunkan dan perlahan-lahan memudar seiring waktu.
Bagi Siti Khadijah, hilangnya rumah itu tentunya tak menyusahkan. Karena dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim, Jibril pernah menjanjikan yang lebih megah buat Radiallahuanha saat melihat yang bersangkutan membawakan bekal buat Rasulullah. ”Apabila ia datang kepada engkau, maka sampaikanlah salam dari Allah dan dariku kepadanya. Selain itu, beritahukan pula kepadanya bahwa rumahnya di surga terbuat dari emas dan perak, tidak ada kebisingan dan kepayahan di dalamnya”. []