Hijrah Perdana Umat Islam
Assalamualaikum, pembaca yang budiman. Bulan Maulid kembali tiba, terkait hal itu, kami punya ikhtiar meyampaikan secara berseri riwayat mulia Baginda Rasulullah (semoga kedamaian selalu untuknya). Selamat membaca!
Tak jauh dari Masjid Nabawi di Madinah, letaknya sekira 300 meter ke arah Barat Laut, ada sebuah masjid yang tak megah. Ia adalah sebuah bangunan dengan bata-bata kasar yang kini berwarna hitam kehijauan dan kubah-kubah putih serta satu menara. Pintunya dari kayu yang dicat warna hijau dan diimbuhi ornamen keemasan.
Para penjaga di bagian depan masjid itu, pada musim haji seperti ini, rajin mengusir jamaah yang berdoa terlampau lama di bagian depannya. Memasuki masjid itu juga tak boleh. Tak sedikit jamaah, utamanya dari Pakistan dan India mengusap-usap pintu masjid tersebut sebelum diusir. “Tak ada syafaatnya! Di Masjid Nabawi kalau mau berdoa,” begitu kira-kira kata mereka.
Namun, di antara para penjaga masjid itu, ada Syekh Ahmad. Ia pria tinggi besar dengan kulit hitam mengkilat. Kontras dengan gamis putih bersih yang ia kenakan itu hari. Tak seperti rekan-rekannya, Syekh Ahmad ini ramahnya minta ampun.
Lahir di Sierra Leone, Bahasa Inggrisnya fasih meski dengan logat khas Afrika yang kental betul. “Welcome, my brother, I will tell you the story,” kata dia saat saya tanyai perihal masjid yang ia jaga.
Seperti yang awam diketahui di Madinah, masjid itu dulunya tanah lapang. Kata Ahmad, ia mula-mula dibangun Khalifah Umar bin Abdulaziz pada masa Dinasti Umayyah menjelang ujung abad pertama Hijriyah. Pada pertangahan abad ke-19, Turki Utsmani yang kala itu menguasai wilayah Tanah Suci memberi bentuk masjid itu seperti saat ini.
Sebagian memanggil masjid itu Masjid Ghamamah, lainnya Masjid Id. Asal-usulnya, di tanah lapang masjid itu dahulu Nabi Muhammad SAW pernah melaksanakan shalat meminta hujan. Tak lama setelah melaksanakan ritual itu, awan, yang dalam bahasa Arabnya “ghamamah” kemudian muncul membawa hujan.
Sementara ia disebut Masjid Id, karena Rasulullah suka melaksanakan Shalat Id di tanah lapang. Pada masa-masa akhir hidupnya, di lokasi Masjid Ghamamah itulah Nabi kerap melaksanakan Shalat Id. Itulah kisah yang mulanya disampaikan Syekh Ahmad, tapi saya tahu ia belum menceritakan satu kisah lagi “Bagaimana dengan cerita Najashi dari Ethiopia,?”
Alkisah, merujuk Ibn Ishaq, pada sekitar 613 atau 615 Masehi, persekusi dan penganiayaan yang dialami komunitas Muslim di Makkah saat itu kian parah. Kekerasan fisik dan verbal, bahkan ancaman pembunuhan jadi hal yang jamak. Sehubungan kondisi tersebut, sebagian sahabat Rasulullah menyampaikan niatan melakukan migrasi ke luar kota. Mereka khawatir tak kuat jika terus menerus dipaksa meninggalkan agama baru mereka jika tetap tinggal di Makkah.
Menanggapi kemauan para sahabat tersebut, Rasulullah menyampaikan saran agar mereka menyeberangi Laut Merah dan menuju Habasyah di wilayah Etiopia saat ini. “Karena di sana rajanya adil dan kerajaannya bersahabat,” kata Rasulullah seperti disampaikan Ibn Ishaq. Menurutnya, para sahabat berangkat dalam dua gelombang ke Etiopia saat itu.
Ummu Salamah yang nantinya jadi istri Nabi selepas menjanda juga ikut berhijrah ke Habasyah. Seperti dikutip dalam kitab Fathul Bari oleh Ibn Hajjar al-Asqolani, Ummu Salamah menuturkan pada malam hari bersama belasan lelaki dan perempuan meninggalkan Makkah menuju Shuaibah dan menaiki perahu di pelabuhan kota itu. Para sahabat menyewa sebuah kapal seharga setengah dinar.
Perjalanan pertama para sahabat ke Habasyah itu dipimpin Usman bin Maz’un. Setelah mengarungi ganasnya gelombang Laut Merah, mereka diterima raja di negara tersebut yang bernama Ashama ibnu Abjar. Seturut kebiasaan kerajaan, ia digelari Najashi atau Negus.
Hingga gelombang hijrah selanjutnya, total yang berangkat adalah 83 laki-laki dan 18 perempuan. Di antara mereka adalah sahabat-sahabat terpercaya Rasulullah seperti saudagar kaya Utsman bin Affan dan istrinya Rukayah yang merupakan putri Rasulullah; juga sepupu Nabi, Ja’far bin Abi Thalib. Ini adalah hijrah pertama dalam Islam.
Di Etiopia, Najashi menerima para imigran tersebut dengan tangan terbuka. Sejumlah kafir Quraish dikabarkan sempat mencoba merayu sang raja mengusir umat Islam dengan alasan ajaran Islam menghujat Isa Almasih. Atas fitnah tersebut, para sahabat membacakan ayat-ayat Alquran tentang Mariam, ibunda Isa Almasih Alaihissalam.
Najashi dikisahkan sedemikian terharu mendengar ayat-ayat yang dibacakan Ja’far bin Abi Thalib, sehingga tak bersedia menyerahkan para Muslim ke tangan utusan Quraysh yang meminta mereka diserahkan. Najashi melindungi para pencari suaka dari Makkah tersebut sampai mereka akhirnya pulang ke kampung halaman begitu keadaan sudah lebih baik.
Kembali ke Masjid Ghamamah di Madinah, menanggapi pertanyaan saya soal Najashi, mata Syekh Ahmad berbinar. Ia menuturkan kisah, pada suatu waktu di masa Rasulullah telah di Madinah, beliau mendengar kabar soal meninggalnya sang Najashi dari Ethiopia yang melindungi para imigran Muslim.
“Seorang saudara kalian meninggal,” kata Rasulullah pada para sahabat terkait kematian Najashi seperti dikutip dalam hadist yang dishahihkan Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Tirmidhi . Beliau kemudian memimpin para sahabat bershalat jenazah gaib. “Doakanlah pengampunan untuk saudara kaliant itu,” Rasulullah melanjutkan.
Diriwayatkan Ibn Hurairah, para Rasulullah dan para sahabat membentuk saf-saf dan mengangkat empat kali takbir. Lokasi shalat jenazah itu, oleh sebagian periwayat disebut berada di dikisaran Masjid Ghamamah. Meski Sebagian riwayat lainnya menuturkan lokasinya dekat Pemakaman Baqi.
Saya ingin mendengar kisah itu dari Syekh Ahmad langsung karena akarnya di Benua Afrika, lokasi hijrah pertama Muslim dan Muslimah tersebut. Riwayat itu bikin saya kerap jatuh sayang saat melihat para jamaah dari Afrika yang kerap mencolok karena gagahnya postur mereka ditingkahi warna kulit yang jauh lebih gelap dari kebanyakan jamaah lain di Madinah, mirip dengan warna tembok Masjid Ghamamah.
Mereka mengingatkan terhadap para mustadafin yang menyambut datangnya pesan Muhammad bin Abdullah. Mengingatkan terhadap Umm Ayman yang mengasuh Rasulullah selepas ditinggal ibundanya. Mengingatkan kepada Sumayyah sang syahidah pertama dalam Islam, serta Bilal bin Rabah dan Mihja bin Salih, yang dijuluki Rasulullah sebagai mereka yang terbaik di antara yang berkulit hitam. Mengingatkan pesan kesetaraan umat manusia yang terus ditekankan Rasulullah sejak mula membawa risalah hingga khutbah terakhirnya. []
Baca Juga:
Kelahiran Rasulullah yang Penuh Cahaya
Datang Bayi Muhammad, Suburlah Desa Bani Sa'd
Perawakan Mulia Rasulullah SAW
Kisah Baitullah dan Rasulullah
Muhammad SAW Sang Pedagang Ulung