Menengok 'Madrasah' Pertama dalam Islam
Assalamualaikum, pembaca yang budiman. Bulan Maulid kembali tiba, terkait hal itu, kami punya ikhtiar meyampaikan secara berseri riwayat mulia Baginda Rasulullah (semoga kedamaian selalu untuknya). Selamat membaca!
Jamaah sudah mafhum, Sa’i adalah salah satu ritual paling berat dari rangkaian haji dan umrah. Sekira 3,5 kilometer harus ditempuh jamaah sepanjang tujuh kali bolak-balik di antara Bukit Shafa dan Bukit Marwa.
Dahulu, jalur Sa’i adalah ruang terbuka dengan panas yang menyengat dari atas dan batu-batu berpasir di bawah kaki jamaah. Kesukaran itu di kemudian hari dikurangi dengan pembuatan koridor beratap guna melindungi jamaah dari terik matahari.
Kini, jalur Sa’i tersebut sudah menjadi bagian terpadu dengan Masjidil Haram. Llantai dan dinding marmernya tak begitu berbeda dinginnya dari balok-balok es. Sedangkan Bukit Shafa nyaris tak ada lagi wujudnya saat ini. Kaki bukit tersebut telah ditutupi dengan keramik, jadi bagian lantai yang menanjak di lantai dasar jalur Sa’i. Demikian juga paruh terbawah bukit tersebut yang tak nampak sama sekali.
Hanya sekutip puncak bukit tersebut yang tersembul secara janggal dari lantai keramik. Ia berupa bebatuan yang sebagian dilapisi semacam material pengawet agar tak rusak atau tercukil. Sebagian besar wilayah bukit itu dikitari pagar besi dan kaca pembatas.
Alkisah, pada masa-masa awal kerasulan, Muhammad SAW, mula-mula menyampaikan risalahnya pada golongan keluarga dekat dan puaknya sendiri, Bani Hasyim. Dari kediamannya, Khadijah; sepupunya yang baru berusia 13 tahun, Ali bin Abi Thalib; serta budak yang kemudian jadi anak angkatnya, Zaid bin Harits. Bani Hasyim yang sempat dikumpulkan Rasulullah, kebanyakan menolak ajaran Islam saat itu.
Pada tahun ke-3 selepas menerima wahyu, Rasulullah memanjat Bukit Shafa tersebut. Sembari menghadap pemukiman di bawahnya, ia kemudian berteriak keras “Wa sahabah!”. Seruan adalah sejenis peringatan kuno di Makkah menjelang serbuan musuh.
Warga Quraish kemudian berkumpul di kaki bukit mendengarkan. “Jika kukabarkan bahwa di lembah ini ada sepasukan berkuda mengepung kalian, akankah kalian percaya kepadaku?”
Mengingat kejujuran dan keluhuran budi Muhammad SAW, seluruh yang hadir mengiyakan secara serentak. Ia kemudian memanggil satu per satu nama puak-puak Quraish di Makkah saat itu. “Jika begitu, aku peringatkan, kalian sedang menuju adzab yang pedih!”
Beliau kemudian menyampaikan risalah soal Tuhan Yang Esa dan hari akhir, mengoreksi kepecayaan masyarakat Makkah saat itu. Yang beliau kabarkan kemudian membuat sebagian meradang, merasa warisan leluhur dan cara hidup mereka terancam.
Mulanya, dakwah Rasulullah sepanjang awal kenabian tak sebegitu dinilai mengancam. Yang beliau sampaikan soal tauhid, merujuk mayoritas sejarawan ke-Islaman, bukan hal langka bagi masyarakat Makkah saat itu yang sudah terbiasa mendengar hal yang sama dari kaum Yahudi dan Nasrani.
Meski begitu, seturut perintah dalam Alquran, Rasulullah kemudian menyampaikan secara terang-terangan bahwa berhala-berhala bangsa Arab saat itu tak layak disembah, mereka tak punya faedah apapun. Selain itu, Rasulullah juga mengajarkan kesetaraan semua manusia dan kewajiban mereka yang berpunya membantu yang tak mampu.
Pesan-pesan inilah yang kemudian dinilai jadi acanaman bagi suku-suku yang saat itu berkedudukan tinggi dan kaya raya di Makkah seperti Bani Makhzum dan Bani Umayyah. Suku-suku itu menggantungkan kekayaan mereka dari ziarah suku-suku Arab ke Ka’bah dan perdagangan yang menyertainya. Sementara nasab mereka juga menentukan kedukan tinggi secara politis di Makkah.
Tak hanya dari luar suku, sebagian petinggi Bani Hasyim, klan Rasulullah sendiri, juga merasa terancam dengan ajaran Rasulullah. Hal ini sebab mereka secara garis keturunan adalah pengelola ziarah ke Ka’bah dan sumur Zamzam.
Di antara tokoh Makkah yang paling memusuhi Rasulullah saat itu adalah Amr bin Hisham dari Bani Makhzum yang nantinya dijuluki Abu Jahal alias “Bapak Kejahilan”. Kediamannya dahulu sempat ditandai dan terletak di arah barat Babussalam. Saat ini, lokasi itu bisa dikira-kira dengan tiang lampu di depan tembok depan Basussalam.
Selain itu ada paman Rasulullah sendiri, Abdul Uzzay bin Abdul Muthallib dari Bani Hasyim yang saat itu dijuluki Abu Lahab alias Bapak Api karena wajahnya yang kemerahan. Abu Lahab yang mula-mula mengancam Rasulullah untuk tak meneruskan syiarnya di Bukit Shafa.
Satu-satunya pelindung Rasulullah yang diperhitungkan kala itu, adalah Abu Thalib, pamannya. Ia mengambil alih pengasuhan saat Muhammad SAW berusia delapan tahun ke rumahnya selepas Abdul Mutallib, kakek Rasulullah yang mengasuhnya sejak usia enam tahun mangkat.
Sebagai salah satu tetua Bani Hasyim, Abu Thalib dihormati warga Makkah meski bukan orang yang sedemikian berharta. Abu Thalib yang mengajarkan Rasulullah berdagang dan berbagai keahlian lainnya.
Saat wahyu diturunkan, paman Rasulullah tersebut tak ikut memeluk Islam. Meski begitu, ia tak pernah mencabut perlindungannya untuk Rasulullah. Berbagai tawaran harta dan kekayaan dari kafir Quraish tak bisa menggoyang pembelaan Abu Thalib terhadap Rasulullah. Saat Rasulullah sudah berumah tangga dan berpenghasilan, giliran ia yang mengasuh Ali bin Abi Thalib mengingat kondisi perekonomian Abu Thalib.
Pesan-pesan yang dibawa Rasulullah saat itu, soal kesetaraan manusia dan tak berartinya keutamaan suku, salah satunya yang menyebabkan pemeluk-pemeluk awal Islam kebanyakan datang dari golongan mereka-mereka yang terpinggirkan. Abdullah bin Mas’ud yang sendirinya merupakan pemeluk awal Islam meriwayatkan dan dikutip dalam Sunan ibn Majjah perihal mereka-meraka di luar keluarga inti Rasulullah yang mula-mula menyatakan secara terbuka ke-Islaman mereka.
Di antaranya, Abu Bakar Siddiq, seorang saudagar muda yang sukses dari Bani Taim. Berusia tiga tahun dibawah Rasulullah, Abu Bakar yang terkenal cerdas sejak kecil tak pernah sudi menyembah berhala. Memiliki kemampuan baca-tulis seperti anak-anak keluarga kaya pada masanya, Abu Bakar adalah bagian dari kalangan hanif, segolongan di Arabia yang hanya menyembah satu Tuhan seturut ajaran Ibrahim meski enggan beralih ke agama Yahudi maupun Nasrani.
Saat Rasulullah mulai menyiarkan Islam, Abu Bakar sedang menjalani ekspedisi dagang. Sepulangnya ke Makkah, begitu mendengar soal kabar pesan yang dibawa Rasulullah, ia langsung memeluk Islam.
Pemeluk Islam paling awal selanjutnya, menurut Abdullah bin Mas’ud adalah Sumayyah bint Khabbat, seorang budak perempuan dari Ethiopia milik Bani Makhzum. Ia masuk Islam bersama Yasir bin Amir suaminya yang merupakan imigran dari Yaman, dan putra mereka Amar.
Selanjutnya, ada juga Suhaib dari Romawi. Dikisahkan berkulit putih kemerahan dan berambut pirang, bekas budak kerajaan Bizantium yang melarikan diri ke Makkah dan berhasil memperkaya dirinya tersebut juga langsung masuk Islam begitu mendengar ajaran Rasulullah.
Bilal bin Rabah, seorang budak blasteran Arab-Ethiopia milik Umayyah bin Khalaf juga memeluk Islam. Ia digambarkan dalam berbagai riwayat sebagai seorang pria berkulit hitam yang tampan dan tinggi serta memiliki suara yang dalam dan bergetar saat berbicara. Selanjutnya, Miqdad bin Amr, seorang imigran dari Yaman yang diangkat anak oleh seorang tokoh Quraish.
Pada tahun ke-4 kenabian, tekanan dari kafir Quraysh mulai menguat. Persekusi, bahkan ancaman pembunuhan menghantui komunitas Muslim yang belum begitu banyak jumlahnya.
Menurut Ibn Mas’ud, Rasulullah dan keluarganya serta Abu Bakar bisa lolos dari penyiksaan-penyiksaan tersebut karena dilindungi klan mereka. “Sedangkan yang lainnya (dari nama-nama yang ia sebutkan di atas), ditangkap dan dipaksa mengenakan baju rantai besi di tengah panasnya matahari,” ia menuturkan.
Rasulullah, yang saat itu masih sangat lemah posisinya tak kuasa memberikan pertolongan. Meski begitu, ia kerap mendatangi keluarga Yasir yang sedang disiksa. “Bersabarlah keluarga Yasir, tempat kalian di surga,” ujarnya.
Satu petang, Abu Jahal mendatangi keluarga Yasir yang sedang disiksa anggota Bani Makhzum. Ibn Ishaq dalam sirahnya menuturkan, Abu Jahal kemudian mengejek Sumayyah, lalu menusuknya dengan keji menggunakan tombak hingga meninggal. Sumayyah, seorang perempuan berkulit hitam, adalah syahid pertama dalam Islam. Yasir juga meninggal tak lama kemudian.
Sementara Bilal bin Rabbah mengalami siksaan yang tak kalah keji. Ia kerap dibawa Umayyah bin Khalaf ke pinggiran Makkah, kemudian ditelentangkan dan ditimpa dengan batu di terik siang hari. Pemiliknya juga kerap membuat Bilal dirantai dan diarak anak-anak di jalan-jalan di Makkah. Sepanjang siksaan-siksaan tersebut, ia terus berkata “Ahad, Ahad!” menegaskan Keesaan Allah. Ia akhirnya dibeli dan dibebaskan Abu Bakar, kemudian nantinya jadi muazzin pertama dalam Islam.
Syekh Mubarakpury menuturkan, ada juga Abu Fakihah, budak milik Bani Abdid-Dar. Saat ia diketahui masuk Islam, pemiliknya mengikat kedua kakinya dan menyeretnya di tanah.
Khabbab bin al-Arrat, budak milik Ummu Ammar bint Siba’, dicengkeram rambutnya dan ditarik dengan keras. Mereka juga membelitkan tali ke tubuhnya dan menyisanya serupa Bilal.
Zinnirah dan Nahdiyah serta kedua putri mereka, juga Ummu Ubais, seluruhnya hamba sahaya, juga mendapatkan penyiksaan saat diketahui menyatakan ke-Islaman.
Sejarahwan abad ke-8 Ibn Sa’ad dalam Kitab Tabaqat Alqubra, menuturkan, berbagai persekusi dan siksaan itu memaksa para pemeluk awal Islam belajar secara sembunyi-sembunyi. Mereka memilih rumah Al-Arqam bin Abil Arqam untuk menggelar “pengajian-pengajian” dan mendengarkan Nabi Muhammad SAW menyampaikan ajaran Islam. Pengikut Rasulullah, menurut mulai mempelajari Islam dan mengadakan pertemuan di Darul Arqam di antara tahun ke-4 dan tahun ke-5 kenabian.
Kediaman Al-Arqam dipilih karena ia terletak di gang-gang sempit di antara permukiman-permukiman lain di Makkah. Dengan begitu, para pemeluk Islam bisa keluar masuk rumah tersebut tanpa terlalu mencuri perhatian warga Makkah lainnya.
Ia juga bukan rumah yang luas. Penulis Mesir abad ke-20 Khalid Muhammad Khalid dalam “Rijal Hawla al-Rasul’ menuliskan, daun pintunya terbuat dari kayu sederhana. Daun pintu itu lebarnya tak sampai satu meter.
Meski begitu, memasuki rumah itu, pada masa awal syiar Islam adalah laku yang berbahaya. “Apalagi bagi fakir miskin, budak belian, dan orang perantau, memasuki rumah Arqam itu artinya tak lain dari suatu pengorbanan yang melampaui kemampuan yang lazim dari manusia,” tulis Khalid Muhammad Khalid.
Bukan sekadar tempat belajar, lokasi itu jadi penting bagi perkembangan awal Islam karena sejumlah kejadian di dalamnya. Ibn Sa’ad mengisahkan, pada 615 atau 616 Masehi, paman Rasulullah, Hamzah bin Abdul Mutallib, mendengar bahwa Abu Jahal mengolok-ngolok keponakannya. Ia kemudian mendatangi Abu Jahal, memukulinya dan menyatakan diri sebagai seorang pengikut Rasulullah. Hari itu juga, Hamzah menuju Darul Arqam, mengetuk pintunya, masuk bergabung dengan para pengikut Rasulullah dan menyatakan keislamannya.
Pada suatu hari di tahun yang sama, Umar bin Khattab yang saat itu belum ber-Islam juga menuju Darul Arqam untuk membunuh Rasulullah. Seperti tokoh-tokoh Quraish lainnya, ia jengah dengan pesan-pesan Rasulullah yang dinilai mengancam nilai-nilai leluhur di Makkah. Ibn Ishaq kemudian menuturkan, di tengah jalan menuju Arqam, Umar diberitahu bahwa adik perempuannya sendiri telah memeluk Islam.
Singkat cerita, Umar berbalik arah bermaksud memaksa adiknya beralih keyakinan, tetapi kemudian tergerak hatinya saat menemukan bacaan Surat Taha yang tertulis dalam potongan lembaran Alquran milik adik perempuannya. Umar luruh oleh keindahan pesan dan gaya bahasa surat itu dan akhirnya menuju Darul Arqam dengan tujuan berbeda. Ia langsung menyatakan keislamannya di pintu rumah itu.
Hamzah dan Umar adalah dua sosok yang dibutuhkan betul oleh komunitas kecil pengikut Rasulullah saat itu. Mereka berdua kuat secara fisik dan terpandang dari segi nasab. Kesertaan keduanya pada akhirnya membuka kemungkinan Islam disyiarkan secara terang-terangan dan dapat lebih banyak pengikut.
Rumah Arqam yang awalnya dibangun oleh seorang pria bernama Al-Khayzran itu sempat dibangun ulang oleh Khalifah Abbasiyah, Mansur ibn Muhammad pada abad ke-8. Sementara pada akhir abad ke-16, Sultan Uthmaniyah, Murad III, mengubahnya jadi masjid.
Pada 1920-an, Kerajaan Bani Saud mengubah lagi masjid itu menjadi bangunan madrasah dengan nama Darul Hadits. Di bawah Raja Abdullah bin Abdulaziz, madrasah itu dihancurkan seturut perluasan Masjidil Haram pada 1955.
Lantas, di mana lokasi berdirinya kediaman tersebut saat ini? Saya mulanya mendapat informasi dari para petugas haji senior bahwa ia berada di tepian jalur Sa’I. Informasi yang hanya sekilas ini terlampau luas jangkauannya.
Begini, lokasi Sa’I dahulu juga tanah yang berliku, curam, dengan tanjakan dan turunan. Sebelum Kerajaan Saud berkuasa, Masjidil Haram dan jalur Sa’I dipisahkan oleh bangunan-bangunan. Warung dan toko-toko dahulu tersebar di kiri-kanan jalur.
Saat kemudian disatukan dalam satu kompleks Masjidil Haram, tempat Sa’I dibangun menjadi jalur dua tingkat, masing-masing sepanjang sekitar 400 meter dari ujung dinding di atas bukit Shafa hingga ujung dinding yang ada di bukit Marwah. Lebar jalurnya sekitar 20 meter.
Di jalur lantai bawah terdapat banyak pintu masuk di antara Shafa dan Marwah. Sedangkan di lantai atas terdapat dua tangga keluar masuk dari arah dalam. Satu berada di Shafa dan satu lagi berada di Babussalam.
Selain itu, di Shafa terdapat dua tangga menuju lantai atas, dan eskalator. Di antara Shafa dan Marwah juga tujuh jembatan penyeberangan orang-orang yang ingin keluar-masuk Masjidil Haram agar tak mengganggu jamaah yang tengah melaksanakan Sa’I.
Jalur di lantai bawah memiliki tiga bagian. SAtu adalah jalur menuju Marwah, kemudian jalur menuju Shafa, dan ditengahnya jalur kursi roda bagi lanjut usia, jamaah yang sakit, atau mereka-mereka yang lemah.
Di tengah kerumitan bangunan jalur Sa’I tersebut, adalah perkara yang hampir mustahil menentukan secara presisi lokasi Darul Arqam terdahulu. Namun, Ibn Sa’ad dalam kitabnya memberi petunjuk, rumah Al-Arqam terletak persis di bagian timur kaki Bukit Shafa. Bisa ditarik garis lurus dari pintu Ka’bah ke rumah tersebut.
Saat ini, lokasi tersebut kira-kira di dinding bagian timur jalur Sa’i, beberapa meter sebelum jalur hijau tempat jamaah pria disyaratkan berlari-lari kecil. Pada level dasar jalur Sa’i, dahulu ada dinding yang bisa dijadikan perkiraan lokasi tersebut. Saat ini, dinding tersebut dihancurkan untuk perluasan jalur Sa’i. Ke arah timur ia menuju gerbang yang langsung menuju tangga keluar dari Masjidil Haram.
Satu-satunya indikasi bahwa di lokasi itu pernah berdiri madrasah pertama umat Islam adalah nama gerbang yang terletak pada level atas jalur Sa’i, “Babul Arqam”. Ia bukan gerbang utama Masjidil Haram, namun saat saya kunjungi, lima petugas berjaga di depannya.
Salah satunya kemudian memberikan jawaban khas petugas-petugas yang ditempatkan Kerajaan Saudi pada lokasi yang diangap bersejarah lainnya di Masjidil Haram. “Nama gerbang ini hanya kebetulan saja. Dia tak punya arti apa-apa”.
Bagaimanapun, pembelajaran di Darul Arqam kemudian akan jadi model sepanjang peradaban awal Islam. Saat itu, di berbagai wilayah dunia, pengetahuan kerap jadi monopoli pendeta-pendeta dan rahib-rahib dan segelintir elite yang memiliki kemampuan baca tulis. Sementara di Darul Arqam, warga biasa duduk setara dengan pengajar mereka. Siapapun bebas datang mencari ilmu, lelaki-perempuan, tua-muda, orang kaya maupun hamba sahaya. Majelis-majelis serupa nantinya bermunculan di masjid-masjid di berbagai tempat. Memicu munculnya para fakir ilmu yang berkelana dalam tholabul ilmi, pengelanaan mencari hikmah.
Model pembelajaran yang jadi embrio tradisi keilmuan Islam yang nantinya merentang dari yang paling sederhana seperti belajar membaca Alquran; hingga ke bidang-bidang ilmu yang lebih kompleks seperti periwayatan hadits, kodifikasi fiqh, kalam, filShafat, kedokteran, kimia, matematika, astronomi, fisika, ilmu hayat, dan lainnya.
Tradisi keilmuan tersebut nantinya berevolusi jadi lembaga-lembaga pendidikan tinggi dan melahirkan pemikir-pemikir cemerlang semacam al-Khwarizmi, Jabir al-Hayyan, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Alghazali, Ibn Haytham, Banu Musa, Albiruni, dan berlaksa-laksa lainnya. Tradisi keilmuan yang akhirnya menular ke Eropa dan mengakhiri masa kegelapan serta memulai revolusi saintifik dan membentuk dunia penuh teknologi seperti yang kita tinggali sekarang.
Artinya, dalam satu dan lain hal, kemajuan umat manusia punya hutang pada sebuah rumah yang tak sedemikian besar di kaki Bukit Shafa yang kini wujudnya sudah tak nampak itu. []
Baca Juga:
Kelahiran Rasulullah yang Penuh Cahaya
Datang Bayi Muhammad, Suburlah Desa Bani Sa'd
Perawakan Mulia Rasulullah SAW
Kisah Baitullah dan Rasulullah
Muhammad SAW Sang Pedagang Ulung