Demen Swafoto, Kenanglah Ibn al-Haytham
SainsBagaimana sebenarnya penglihatan manusia bekerja? Barangkali, pembaca yang budiman, mata manusia sebenarnya bisa mengeluarkan pancaran sinar seperti adiwira di film-film. Pancaran itu kemudian mengenai bebendaan seperti lampu sorot dan membuatnya tampak.
Mudah saja kita manusia modern bilang ide ini konyol. Tapi ribuan tahun, orang-orang percaya demikianlah adanya. Cerdik-cendekia di Yunani kuno dulu juga mengira demikianlah mata bekerja. Hingga kemudian pada awal ke-11 seseorang di Kairo bernama Abu Ali al-Hasan ibn al-Hasan ibn al-Haytham menjelaskan betapa omong kosongnya teori tersebut.
Merujuk sejarawan terkemuka George Sarton dalam bukunya Introduction to the History of Science, Ibn al-Haytham bukan asal bicara. Ia mencapai kesimpulan itu dengan sejumlah percobaan. Salah satunya, dengan membangun sebuah kamar gelap yang dilubangi salah satu sisinya. Dari lubang itu, citra dari luar merangsek masuk dan tercermin pada dinding di dalam kamar di seberang lubang. Ia sebut kamar itu dengan nama Baitul Muthlim alias Kamar Gelap.
Ibn al-Haytham menyimpulkan, demikianlah mata bekerja. Sebagai lensa dengan bukaan (aperture) yang memungkinkan pantulan cahaya dari citra di luar masuk dan kemudian diproses menjadikan penglihatan. Lewat percobaan itu juga, untuk pertama kalinya dalam sejarah, ada manusia yang berhasil menjelaskan bagaimana menangkap citra dengan instrumen selain mata.
Tak hanya soal penglihatan, percobaan yang dilakukan Ibn al-Haytham saat berpura-pura gila dan ditahan akibat gagal membangun sistem kendali banjir Sungai Nil itu juga menjelaskan banyak hal. Misalnya bahwa cahaya bergerak dalam garis lurus, bahwa cahaya bergerak dengan kecepatan melintasi waktu, bahwa penelitian empiris sangat diperlukan guna menyangkal atau menguatkan teori tertentu. Seluruhnya adalah pondasi yang amat kuat tempat sains modern kini berdiri.
Pada 2015, badan PBB untuk kebudayaan dan pendidikan, UNESCO, merayakan Tahun Cahaya Internasional. Tonggak yang dijadikan patokan adalah tepat seribu tahun sejak terbitnya Kitab al-Manazir karya Ibn al-Haytham tersebut.
Ratusan tahun setelah hidupnya, penjelasan Ibn al-Haytham dalam Kitab al-Manazir diterjemahkan dalam bahasa Latin dan mencapai Eropa. Ia ditelaah lagi dan disempurnakan oleh pemikir-pemikir hebat selanjutnya seperti Roger Bacon, Johannes Kepler, dan Isaac Newton. Percobaan Ibn al-Haytham, kemudian dinamai Kepler dengan terjemahan latinnya, Camera Obscura.
Seniman ternama Leonardo Da Vinci juga sempat kedapatan menggunakan Camera Obscura guna menghasilkan lukisan realistik dengan menjiplak. Dan pada akhirnya, hal itu memicu gagasan mengabadikan tangkapan citra secara permanen melalui fotografi.
Seiring kemajuan teknologi, mesin fotografi yang dahulu demikian merepotkan itu berhasil dipadatkan dalam telepon genggam di tangan pembaca yang budiman. Saat kita orang mengambil swafoto di tempat-tempat instagramable kemudian memamerkannya di media sosial dan dapat banyak like serta komentar, ingatlah, hal itu dimulai seseorang di Kairo seribu tahun lalu.