Sejarah

Pendidik Muslimah di Masa Kolonial

Sejak awal mula Islam, sejumlah perempuan sedianya telah memelopori penguasaan ilmu pengetahuan di berbagai bidang. Tak seperti klaim profesor tertentu belakangan, "perempuan-perempuan gurun" ini sama sekali tak tertutup pikirannya.

Selepas masa keemasan Islam, berbagai konflik politik dan rezim brutal penaklukkan Mongolia menahan laju kemajuan umat Islam, termasuk kaum wanitanya. Sementara kolonialisme Eropa merombak struktur pendidikan di berbagai wilayah Muslim dan mengesampingkan para perempuan.

Tak heran, pada masa kolonialisme sosok-sosok Muslimah terpelajar berjuang untuk akses pendidikan terhadap perempuan. Upaya luar biasa para aktivis pendidikan ini membuka jalan bagi perempuan-perempuan modern. Berikut diantara para pejuang tersebut.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Nana Asma'u (1793-1864)

Nama aslinya Asmaʾu bint Shehu Usman dan Fodiyo. Ia adalah seorang putri Kekhalifahan Sokoto di Nigeria, Afrika. Sejak kecil, Nana Asma'u telah menguasai tafsir Alquran dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Berdasarkan pemahamannya atas Islam tersebut, ia kemudian mengkampanyekan pendidikan bagi perempuan.

Anak perempuan sedang belajar Alquran di Kano Nigeria. (AP Photo/Sunday Alamba)
Anak perempuan sedang belajar Alquran di Kano Nigeria. (AP Photo/Sunday Alamba)

Aisha R Masterton dalam One Woman's Jihad: Nana Asma'u, Scholar and Scribe (2001) mencatat sedikitnya ada 60 buku puisi dalam Bahasa Arab serta Bahasa Fula dan Hausa karya Nana Asma'u.

Pada 1830, ia membentuk sekelompok pengajar perempuan yang kemudian ia sebar ke seantero wilayah kekhalifahan untuk mengajari perempuan berbagai ilmu pengetahuan. Hingga saat ini Nana Asma'u abadi pada nama berbagai sekolah di Afrika.

Atiya Fyzee-Rahamin (1877-1967)

Dari anak benua India, hadir Atiya Fyzee-Rahamin. Siobhan Lambert-Hurley dan Sunil Sharma dalam buku Atiya's Journeys mencatatnya sebagai perempuan pertama dari Asia Selatan yang berkuliah di Universitas Cambridge. Ia bertolak ke Inggris menggunakan kapal uap pada ujung awal ke-19 dan awal abad ke-20 untuk belajar menjadi guru.

Dalam perjalanan, ia menulis diari yang menunjukkan pemikiran dan intelektualismenya. Sepulang dari Inggris, ia kerap mengkampanyekan pendidikan bagi perempuan di wilayah Pakistan saat ini.

RA Kartini (1879-1904)

Kartini, seorang putri bupati di Jepara terkenal karena surat-suratnya dengan aktivis dari Belanda, JH Abendanon yang dirangkum dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Kala itu, Belanda sedang mencoba menerapkan politik etis di wilayah jajahan mereka di Indonesia.

Surat-surat Kartini, menunjukkan keteguhan sikapnya soal pentingnya pendidikan bagi perempuan. Ia kemudian menjalankan proyek sekolah putri itu setelah menikah.

Peran Kartini yang tak kalah penting terkait dengan penerjemahan Alquran dalam Bahasa Jawa. Kartini diyakini yang pertama kali meminta penerjemahan itu pada Kiai Sholeh Darat dari Semarang.

Rahmah El Yunusiyah (1900-1969)

Perempuan Minangkabau ini juga salah satu pelopor pendidikan perempuan di Indonesia. Berbekal pendidikan agama yang ia dapat dari kecil, ia mendirikan sekolah keagamaan perempuan di Padang Panjang. Selain soal pendidikan, ia juga aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Rahmah El Yunusiyah saat berkunjung ke Universitas Al-Azhar di Mesir. (Youtube/Istimewa)
Rahmah El Yunusiyah saat berkunjung ke Universitas Al-Azhar di Mesir. (Youtube/Istimewa)

Menurut Khairul Jasmi dalam novel biografis Perempuan yang Mendahului Zaman (2020), pendirian sekolah yang dilakukan Rahmah El Yunusiyah kemudian menginspirasi Universitas al-Azhar di Mesir menerima mahasiswa perempuan. Pada 1957, Rahmah El Yunusiyah mendapatkan gelar "syaikhah" alias profesor dari universitas tersebut. Ia perempuan pertama di dunia yang mendapatkan gelar dari al-Azhar itu.

Suhayr al-Qalamawi (1911–1997)

Suhayr adalah satu-satunya perempuan yang belajar di Universitas Kairo pada 1929. Terlepas itu, ia berhasil mengungguli seluruh rekan-rekan lelakinya. Ia kemudian meneruskan pendidikan hingga menjadi perempuan pertama yang memeroleh gelar PhD di Mesir melalui penelitian tentang kisah Seribu Satu Malam.

Merujuk Dalya Cohen-Mor dalam Arab Women Writers: An Anthology of Short Stories (2005), ia kemudian menjadi salah satu tokoh utama pendorong literasi di Mesir. Pameran Buku Kairo adalah peninggalannya yang masih bertahan hingga kini.

Samira Moussa, (1917–1952)

Samira Moussa juga memulai pendidikan di salah satu sekolah perempuan perdana di Kairo, Mesir. Tak berhenti di sana, ia kemudian melanjutkan sekolah hingga lulus dengan nilai terbaik dan menjadi lulusan kehormatan di Universitas Kairo.

Mengenang ibundanya yang wafat karena penyakit kanker, Samira kemudian memfokuskan studi pada ilmu nuklir. American Institute of Physics (AIP) melansir, ia kemudian berhasil menjadi perempuan ahli nuklir pertama di Mesir dengan menempuh pendidikan di Amerika Serikat.

Artikel terkait:

Para Pelopor Ilmuwan Muslimah

Ilmuwan Muslimah Abad Keemasan

Era Keemasan Baru Ilmuwan Muslimah

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Tentang sejarah Tanah Air, dunia, dan peradaban Islam.