Bu Mega, Ini Mengapa Indonesia Suka Menggoreng
Di tengah harga mahal dan kelangkaan minyak goreng, profesor honoris causa sekaligus ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional Megawati Soekarnoputri memunculkan pertanyaan. Beliau penasaran, mengapa para emak-emak demikian merebutkan minyak goreng. "Apakah tidak ada cara untuk merebus, mengukus, atau seperti rujak, apa tidak ada? Itu menu Indonesia loh,” kata Megawati dalam webinar pada Kamis (17/3/2022).
Sebagian warganet kecut muka dan berat hati dengan komentar yang dinilai kurang sensitif tersebut. Tapi menengok sejarah, ternyata Bu Megawati tak meleset sebegitu jauh.
Peneliti Badan Arkeologi Medan, Churmiatin Nasoichah dalam Jejak Pangan dalam Arkeologi (2009) menuliskan bahwa aneka prasasti sepanjang abad ke-7 hingga abad ke-14 mencatat masyarakat Jawa Kuno sedianya lebih akrab dengan teknik pengawetan masakan.
Prasasti Taji (901 M) misalnya, sudah mencatat jenis makanan yang diasinkan dan dikeringkan. Sementara Prasasti Panggumulan I (902 M) juga mencatat berbagai jenis makanan yang diasinkan seperti daging sapi, berbagai jenis ikan, dan telur. Hal serupa dicatat prasasti-prasasti lain sepanjang abad ke-10.
Selain itu, telah ada juga teknik pengasapan yang tercatat dalam prasasti. Kelembaban cuaca di Indonesia bisa dikaitkan dengan upaya pengawetan agar pangan tak lekas membusuk tersebut.
Sedangkan Eny Christyawaty dalam buku yang sama menuliskan bahwa jejak arkeologis di Mentawai juga menunjukkan teknik menumbuk, membakar, dan merebus untuk mengolah makanan pada masa lalu di Indonesia. Kapan kemudian teknik menggoreng datang di kepulauan Nusantara?
Sejak masa Mesir dan Yunani kuno, mencelupkan bahan makanan dalam minyak panas sudah mulai dikenal umat manusia. Kendati demikian, bukan dari jalur itu teknik menggoreng masuk ke Nusantara. Seperti banyak hal lainnya dalam kuliner Nusantara, teknik menggoreng datang dari Cina.
Endymon Wilkinson dari Universitas Harvard dalam bukunya Chinese History: A New Manual menuliskan bahwa teknik mengoseng (stir fry) muncul pada catatan Dinasti Tang (618-904 M) sebagai teknik mengeringkan daun teh. Baru pada masa Dinasti Song (960–1279 M), teknik yang disebut "chao" itu mulai digunakan dalam memasak makanan. Pada masa Dinasti Ming (1368-1644 M), mengoseng makin populer.
Hampir bersamaan dengan kemunculan teknik mengoseng itu, muncul juga teknik memasak makanan dalam minyak panas dalam kuali yang disebut "zha" di Cina. Kedua teknik menggoreng ini kemudian jadi salah satu senjata utama kuliner Cina.
Nah, pembaca yang budiman, ketika teknik menggoreng muncul di Cina, hubungan awal dengan Nusantara dari wilayah itu sudah hampir mapan. Penjelajah Fa Hien sudah menulis tentang kerajaan di Nusantara pada abad ke-4, sementara I Ching menuliskannya pada abad ke-7. Prasasti-prasasti dari abad ke-9 juga sudah menunjukkan keberadaan etnis Tionghoa di Jawa. Saat teknik mengoseng populer pada masa Dinasti Ming, Ma Huan yang merupakan juru tulis Laksamana Ceng Ho telah merekam keberadaan komunitas Tiong Hoa di Jawa.
Namun pada masa itu, teknik menggoreng di wilayah Asia belum menggunakan minyak kelapa sawit. Jika di Eropa yang digunakan adalah minyak zaitun, di Cina lemak hewani dan minyak kelapa jadi pilihan buat menggoreng.
Mengapa bangsa Indonesia menggoreng dengan minyak sawit, punya kaitan erat dengan kolonialisme.
Dr Pauline Von Hellerman dari Goldsmith University dan penulis Red Gold: A Global Environmental Anthropology of Palm Oil mencatat bahwa minyak kelapa sawit sudah digunakan di daerah asal tumbuhan itu di Afrika Barat sejak 5.000 tahun lalu.
Penggunaan minyak sawit itu kemudian diketahui para kolonialis Eropa yang tiba di pantai Guinea pada abd ke-15. Pada 1807, saat Inggris menghapuskan praktik perbudakan yang jadi sumber penghasilan kolonialis di Afrika Barat, produksi minyak sawit mulai jadi industri alternatif. Produksinya diekspor ke Eropa sebagai pelumas mesin-mesin Revolusi Industri.
Pada 1848, botanis Belanda mencoba menanam empat bibit kelapa sawit di Kebun Raya Buitenzorg (Bogor). Hasilnya ternyata luar biasa. Buah yang dihasilkan pohon kelapa sawit di Indonesia lebih banyak dari buah dari pohon di tanah asalnya.
Adrien Hallet, seorang cukong dari Belgia kemudian melihat kesempatan dan mendirikan kebun sawit pertama di Pulau Raja di Sumatra pada 1911. Berbagai perusahaan perkebunan lainnya seperti Guthrie dan Barlow kemudian ikut serta. Pada 1939, perkebunan sawit telah meluas mencapai 100 ribu hektare.
Sementara 50 persen pasokan minyak sawit dunia kala itu didominasi Guthrie dan Socfin milik Adrien Hallet yang beroperasi di Indonesia dan Malaysia. Pada akhirnya, minyak sawit yang mulanya sebagai pelumas mesin ini akhirnya sampai di wajan-wajan di Nusantara dan jadi cara memasak yang dikeluhkan Bu Megawati .