Agama

Penistaan Agama dalam Sejarah Islam

Untuk kesekian kalinya, umat Islam Indonesia diresahkan oleh tingkah laku oknum yang dinilai meninstakan agama mereka. Setelah sebelumnya ada Joseph Paul Zhang dan M Kace melalui konten Youtube, serta mantan politikus Ferdinand Hutahaean lewat Twitter dan Joseph Suryadi melalui Whatsapp, kini muncul kasus Saifuddin Ibrahim yang dengan berani meminta penghapusan 300 ayat Alquran.

Bagaimana sedianya pemerintahan Islam sepanjang sejarah menindak oknum-oknum semacam itu, utamanya seperti Kace dan Saifuddin yang mengaku sebelumnya beragama Islam?

Direktur Sejarah dan Pemikiran Islam dari Yaqeen Institute di AS, Dr Jonathan Brown menuturkan dalam artikelnya bahwa Rasulullah sedianya tak pernah tercatat menghukum mereka yang meninggalkan Islam. Merujuk ulama Kordoba abad ke-12 Ibn al-Talla, ada sejumlah kasus di masa Rasulullah soal Muslim yang berpindah agama dan tak dihukum. Diantaranya Ubaidallah bin Jash yang memeluk Kristen saat berhijrah ke Ethiopia, kemudian seorang anggota suku Baduy yang membatalkan baiatnya. Rasulullah juga tercatat menyepakati Perjanjian Hudaibiyyah yang salah satu syaratnya membiarkan jika ada Muslim Madinah menyeberang ke sisi kafir Quraisy di Makkah.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Ilustrasi perang melawan Musailamah. (wikimedia commons)
Ilustrasi perang melawan Musailamah. (wikimedia commons)

Pada masa khalifah Umar bin Khattab, ada enam anggota bani Bakr bin Wa'il yang dibunuh karena berpindah agama saat mengikuti kampanye penaklukkan Persia. Namun Umar tercatat keberatan dengan hukuman tersebut karena para murtadin tak diberikan kesempatan bertobat. Khalifah Dinasti Umayyah Umar bin Abdul Aziz yang terkenal itu juga terekam memberikan status dzimmi alias non-Muslim yang dilindungi pada sekelompok warga yang berpindah agama keluar dari Islam di Persia. Saat pasukan Muslim menaklukkan Bukhara pada abad ke-7, sejumlah warga tempatan juga tercatat kembali memeluk Zoroaster namun tak ada yang dihukum.

Nah, persoalannya jadi lain saat perpindahan agama itu diikuti aksi-aksi publik. Pada masa Khalifah Abu Bakr misalnya, terjadi Perang Ridda guna menumpas gerakan pemurtadan oleh nabi-nabi palsu yang diikuti perlawanan terhadap kekhalifahan. Salah satu pemberontakan ini dipimpin Musailamah yang mengaku sebagai nabi dan berhasil menghimpun 40 ribu tentara untuk memerangi komunitas Muslim. Khalifah Abu Bakr akhirnya berhasil memadamkan pemberontakan ini meski banyak korban timbul juga di kalangan umat Islam. Salah satu perang melawan para pemberontak ini di Yamama, menggugurkan banyak penghafal Alquran dan akhirnya memicu penulisan secara lengkap kitab suci tersebut.

Demikian juga yang terjadi di periode Mamluk yang berkuasa pada abd ke-13 hingga abad ke-16. Tercatat 60 kasus hukuman bagi mereka-mereka yang meninggalkan Islam. Seluruh hukuman ini secara detail merekam tindakan para terpidana secara terbuka mengumumkan perpindahan dan menghina Islam di muka umum. Kejadian serupa tercatat saat umat Islam menguasai Semenanjung Iberia dan oleh Dinasti Utsmaniyah Turki.

Ilustrasi saat umat Islam menguasai Semenanjung Iberia.
Ilustrasi saat umat Islam menguasai Semenanjung Iberia.

Dalam konteks ini, menurut Jonathan Brown, perpindahan agama dikenai hukuman mati merujuk empat imam madzhab yang diikuti Ahlussunah wal Jamaah. Bahwa inti dari hukuman itu adalah untuk mencegah pemberontakan dan keresahan masyarakat. Catatan pentingnya juga, hanya pemerintah yang berhak mengadili dan menjalankan hal tersebut, bukan aksi main hakim sendiri masyarakat.

Para ulama Islam menekankan bahwa negara tak bisa menghakimi apa-apa "yang berada dalam hati" para murtadun ini. Hal ini merujuk Alquran dan Sunnah yang menekankan bahwa "yang berada di dalam hati" adalah urusan manusia dengan Allah. Dengan alasan ini pula empat imam madzhab mewajibkan pemberian kesempatan bertobat bagi para pelaku.

Yang bisa dikenai hukuman adalah aksi-aksi mereka yang ditunjukkan secara terbuka dan memunculkan gejolak di masyarakat. Banyak terekam dalam sejarah, khalifah-khalifah menahan diri mereka dari memberikan hukuman sebelum kelakukan para murtadun ini keterlaluan benar.

Pada masa modern, ulama-ulama Mesir seperti rektor Universitas Al-Azhar, Mahmoud Syaltut; dan Yusuf al-Qaradawi menekankan juga hal ini. Bahwa mereka-mereka yang meninggalkan Islam secara pribadi tak bisa dihukum. Adalah perkara lain jika mereka kemudian secara aktif melakukan ajakan, apalagi merongrong stabilitas negara. Wallahu a'lam bisshawab

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Tentang sejarah Tanah Air, dunia, dan peradaban Islam.