Soal Label Halal, Mengapa Jawanisasi Bikin Sensi?
Dilansirnya label halal Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal oleh Kementerian Agama ramai jadi perbincangan warganet belakangan. Salah satu yang mengemuka, seperti diutarakan Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, ada kesan Jawanisasi pada bentuk gunungan logo tersebut.
Sebelum label halal ini, sedianya ada juga logo presidensi Indonesia di G20 yang serupa berbentuk gunungan. Sementara penamaan Nusantara bagi ibu kota negara yang baru serta ritual pengumpulan tanah dan air dari seantero negeri juga menimbulkan kritik serupa. Mengapa sebenarnya isu Jawanisasi ini demikian sensitif?
Bukan rahasia, pembaca yang budiman, sejarah bangsa Indonesia bukannya tanpa riak. Salah satu yang tergolong krusial adalah pendirian Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Gerakan yang dideklarasikan pada 1958 itu utamanya menuntut otonomi daerah dan desentralisasi. Saat tuntutan itu tak dipenuhi pusat, PRRI sebagai negara tandingan dideklarasikan di Sumatra Barat dan kemudian dilibas pasukan dari pusat dengan operasi militer.
Rekahan pada republik kala itu sedianya sudah tercium oleh ulama besar Buya Hamka. Pada 1957, seperti ditulis James R Rush dalam "Adicerita Hamka", beliau telah menulis untuk pembaca di Minangkabau soal berbahayanya penonjolan budaya Jawa dalam buku-buku pelajaran resmi.
Salah satu contoh yang ia sampaikan adalah soal penggunaan ilustrasi Candi Borobudur guna menggambarkan sila "Ketuhanan Yang Maha Esa". Ia juga menyinggung soal para birokrat dari Jawa yang menyebar ke seantero republik dan berperilaku kolonialis dengan mengabaikan adat setempat. "Saya pun takut persatuan bangsa kita ini pecah," tulis Buya Hamka. Ia menyatakan, jika hal itu terjadi, penonjolan budaya tertentu itu adalah salah satu sebabnya.
Yusuf Maulana, penulis buku "Buya Hamka: Ulama Umat Teladan Rakyat" menegaskan, tak ada jejak kebencian terhadap etnis dan kebudayaan Jawa pada diri Buya Hamka. Konteksnya saat itu, kata Yusuf Maulana, adalah kekhawatiran Buya soal marjinalisasi Islam.
"Ia khawatir pada politik kebudayan yang coba mengunggulkan kebudayaan tertentu yang kurang lebih seperti pada periode-periode sekarang saat ada yang coba menutupi kebesaran Islam baik langsung secara terbuka maupun tertutup," kata Yusuf Maulana saat diwawancarai Senin (14/3/2022).
Terlebih, saat itu salah satu yang getol melakukan marjinalisasi tersebut adalah Partai Komunis Indonesia. "Beliau melawan karena pada 1954 ada upaya kalangan komunis berupaya memasukkan narasi-narasi tentang kebudayaan yang tidak memberikan ruang pada wahyu dalam hal ini agama. Jadi yang ada kebudayaan hanya produk mekanistik, tidak ada peran Ketuhanan. Ini yang dilawan beliau. Beliau melihat upaya mengunggulkan budaya Jawa sebagai upaya meminggirkan budaya Islam," tutur Yusuf Maulana.
Tak hanya pada Orde Lama, ketika pada Orde Baru ada upaya "penjawaan" oleh sebagian kalangan Kementerian Pendidikan, Buya juga melakukan upaya pengingatan kembali bahwa banyak budaya Jawa juga dipengaruhi Islam. Selebihnya, Buya Hamka sangat mengapresiasi budaya-budaya di Indonesia.
Kisah Buya Hamka ini sedikit banyak menggarisbawahi sensitivitas soal Jawanisasi, utamanya pada kalangan Islam non-Jawa. Belum lagi, sentimen itu kemudian dipanas-panasi asumsi soal adanya ketidakadilan pada sektor perekonomian.
Sepanjang Orde Baru, Jawanisasi di bidang ekonomi ini kentara, selain tentunya upaya peneguhan budaya. Yang paling menyolok adalah program Transmigrasi yang memindahkan secara besar-besaran masyarakat dari Pulau Jawa ke penjuru negeri untuk mengerjakan utamanya bidang pertanian. Aris Ananta dalam artikelnya untuk Institute of Southeast Asian Studies menilai bahwa hal itu sedikit banyak menguatkan semangat kedaerahan non-Jawa, bahkan memicu separatisme.
Bom waktu kesan kuat sentralisasi dan Jawanisasi pada masa Orde Baru tersebut pada akhirnya ikut meledak menjelang Reformasi pada 1998 dan setelahnya. Yang dicermati Buya Hamka lagi-lagi terbukti, bahwa kesatuan nasional terancam oleh dominasi satu suku tersebut. Kala itu, kesatuan akhirnya diselamatkan oleh desentralisasi yang mewujud dalam Undang-Undang Otonomi daerah.
Upaya-upaya desentralisasi sejak itu terus berjalan, termasuk pada masa Presiden Joko Widodo. Namun faktanya, ketimpangan masih terjadi. Badan Pusat Statistik melansir pada 2015, struktur ekonomi Indonesia secara spasial Tahun 2015 didominasi oleh kelompok provinsi di Pulau Jawa. Kelompok provinsi di Pulau Jawa memberikan kontribusi terbesar terhadap Produk Domestik Bruto sebesar 58,29 persen, diikuti oleh Pulau Sumatra sebesar 22,21 persen, dan Pulau Kalimantan 8,15 persen.
Angka itu belum bergeser jauh enam tahun kemudian. BPS melansir, sepanjang 2021 "ekonomi masih terkonsentrasi di Jawa dengan sumbangan pada pertumbuhan ekonomi mencapai 57,89 persen". Soal dominasi populasi tentu jadi salah satu faktor kontribusi pada PDB ini. Meski begitu, sentimen di luar Jawa melihat juga soal aliran kekayaan dari berbagai daerah, lewat pertambangan misalnya, ke pusat di Jawa.
Pada akhirnya, faktor-faktor ini yang kemudian memengaruhi sensitivitas soal asumsi adanya Jawanisasi dan Sentralisasi Jawa (Jawa Sentris). Ada faktor asumsi soal upaya marjinalisasi Islam di sejarah nasional, serta faktor anggapan soal sentralisasi ekonomi yang masih berjalan terlepas janji-janji pemerintah.
Mengabaikan sensitivitas tersebut, seperti dipesankan Buya Hamka 65 tahun lalu, adalah hal yang sangat berbahaya bagi persatuan bangsa.