Pirang dan Bermata Biru, Standar Ganda Barat di Ukraina
Semakin kemari, dukungan "dunia barat" terhadap Ukraina terus mengalir. Mulai dari media arus utama yang membela ukraina, sanksi-sanksi yang terus dijatuhkan ke Rusia, persenjataan yang dikirimkan untuk perlawanan Ukraina, pintu dibuka untuk para pengungsi, hingga boikot di bidang olah raga untuk Rusia.
Di tengah gelombang dukungan tersebut, sebagian pihak mulai memerhatikan standar ganda yang diberlakukan barat terhadap perang Rusia-Ukraina dengan serangan-serangan yang bertahun-tahun mendera negara-negara di Timur Tengah seperti Irak, Suriah, Yaman, dan tentunya Palestina.
Di Turki, kapten tim Erzurumspor, Aykut Demir, menolak ikut menggunakan kaus bertuliskan "No War" untuk mengecam serangan Rusia saat bertanding melawan Ankaragucu beberapa waktu lalu. Kepada media, ia menyampaikan bahwa hal itu karena ia mengingat tak ada perlakuan serupa terhadap perang-perang di Timur Tengah yang menimbulkan ribuan korban jiwa. "Tak ada kaos yang dibuat untuk negara-negara itu," ujarnya.
Dunia sepak bola saat ini jadi salah satu arena paling terkemuka terkait kecaman atas Rusia. Berbagai pemain di klub-klub Eropa mengenakan bendera Ukraina, sementara FIFA mendepak Rusia dari kesertaan di Piala Dunia. Rerupa poster-poster mengecam Rusia dan mendukung Ukraina juga berkibar bebas.
Sejumlah warganet menyinggung betapa berbedanya hal ini dibandingkan saat Israel menyerang Palestina. Pada 2014, misalnya, klub Glasgow Celtic di Skotlandia mendapat denda ribuan euro karena sekelompok penggemar mengibarkan bendera Palestina untuk mengecam pendudukan Israel. Hal serupa kembali terjadi pada 2016, saat penggemar Glasgow Celtic kemudian mengumpulkan 130 ribu euro untuk membayar denda.
Sementara sejumlah media arus utama menampilkan pertunjukkan yang disebut Asosiasi Wartawan Timur Tengah sebagai "rasisme terang-terangan" terkait perang Rusia. Koresponden senior CBS News, Charlie D'Agata misalnya terekam menyatakan bahwa perang kali ini mengejutkan karena terjadi di Eropa, "Bukan tempat seperti Irak atau Afghanistan. Ini tempat di Eropa yang relatif beradab," ujarnya sembari mengundang kemarahan banyak pihak.
Sedangkan akhir pekan lalu, BBC menampilkan mantan wakil jaksa agung Ukraina, David Sakvarelidze yang menyatakan bahwa 'Perang ini sangat emosional bagi saya karena saya lihat orang Eropa dengan rambut pirang dan mata biru dibunuh tiap hari". Warganet kemudian menyinggung bahwa komentar itu mengindikasikan bahwa tak apa bila yang tewas mereka-mereka yang berkulit coklat di Timur Tengah.
Sky News juga menampilkan video warga Ukraina di Dnipro membuat bom molotov sembari menerangkan penggunaan gabus styrofoam agar bom menempel di kendaraan. Sebagian warganet menyoroti bahwa jika yang merakit bom tersebut adalah umat Islam yang juga melawan pendudukan negara mereka, mereka akan segera dicap teroris.
Standar ganda terang-terangan juga terjadi di perbatasan. Media-media seperti the Guardian dan the New York Times melaporkan bahwa pelajar dari Afrika di Ukraina tak bisa menyeberang. Hanya pengungsi berkulit putih saja yang diterima masuk ke negara-negara yang berbatasan dengan Ukraina.
"Jujur saja, mereka bukan pengungsi dari Suriah, mereka dari Ukraina... Mereka Kristen, mereka berkulit putih, dan mereka sangat mirip dengan kita," kata koresponden NBC News Kelly Cobiella. Eropa diketahui kerap menolak pengungsi dari Timur Tengah dan Afrika. Penolakan yang menyebabkan tak sedikit meninggal tenggelam di laut.