Sejarah Pemangkasan Durasi Speaker Masjid

Sejarah  

Datang lagi tahun baru, muncul lagi polemik pengeras suara di masjid. Seperti yang pernah dilakukan sebelumnya, Kementerian Agama kali ini mengeluarkan surat edaran terbaru soal jangka waktu masjid boleh melantangkan suara ke luar, dan sebagainya.

Polemik begini sedianya bukan barang baru, ia sudah mulai muncul saat pelantang elektronik mula-mula digunakan di masjid-masjid di Tanah Air. Bryan Williams mencatat dalam bukunya The Bishop, the Mullah, and the Smartphone (2015), masjid pertama yang menggunakan pelantang elektronik adalah Masjid Sultan di Singapura pada 1936. Saat itu, hanya berselang dua tahun dari berdirinya perusahaan elektronik Jepang, TOA yang nantinya banyak digunakan produknya di masjid-masjid.

Pada masa yang sama, menurut Kees van Dijk dalam bab "Perubahan Kontur Masjid" pada buku Masa Lalu dan Masa Kini Arsitektur di Indonesia seperti dilansir Historia, Masjid Agung Surakarta jadi masjid pertama yang dilengkapi pengeras suara. Saat itu pula mula-mula muncul ketaksukaan terhadap suara adzan yang menguar dari masjid-masjid.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Petugas membersihkan sistem suara di Masjid Agung Surakarta. (Antara/Maulana Surya)
Petugas membersihkan sistem suara di Masjid Agung Surakarta. (Antara/Maulana Surya)

Nah, jika mulanya hanya adzan yang dilantangkan dari masjid, sejak kapan lantunan ayat Alquran dan tarhim yang ternama itu ikut menemani?

Wartawan Republika Andrian Saputra menelusuri, piringan hitam berisi shalawat tarhim yang jamak diputar di masjid-masjid Tanah Air sebelum adzan tercatat keberadaannya di RRI Solo pada 1959. Tarhim tersebut dilantunkan Syekh Mahmoud Khalil Al-Husary, seorang qari ternama dari Mesir.

Petugas Divisi Pemberitaan RRI Solo, Bahruddin, mengenang, saat itu RRI Solo selalu menyiarkan tarhim sebelum adzan Maghrib dan Subuh. Siaran itu kemudian digaungkan masjid-masjid di Solo Raya.

Sedangkan wartawan Republika Dadang Kurnia menelusuri bahwa di wilayah Jawa Timur, penyiaran shalawat tarhim dan surat-surat pendek sebelum adzan dipelopori Masjid Agung Rahmat di Surabaya.

Tujuannya kala itu, menandai kian dekatnya waktu adzan sebab masjid yang disebut dibangun Sunan Ampel itu jadi rujukan seantero Surabaya. Tarhim dan surat-surat pendek itu juga disiarkan Radio Yayasan Masjid Rahmat dan kemudian di-relay dan dilantangkan masjid-masjid lain.

Seturut kian maraknya kebiasaan yang bisa dimulai sekitar setengah jam sebelum adzan itu, muncullah suara-suara keberatan. Hingga pada 1973, dilakukan Musyawarah Alim Ulama Terbatas di DKI Jakarta.

Musyawarah itu berujung keluarnya peraturan Gubernur Ali Sadikin pada 1976. Aturannya, shalawat dan pembacaan ayat suci Alquran hanya boleh dilantangkan 15 menit sebelum waktu subuh pada hari-hari biasa, dan 30 menit sebelum waktu subuh pada Bulan Ramadhan.

Peraturan itu kemudian diluaskan oleh Dirjen Bimas Islam Departemen Agama RI secara nasional pada 1978. Selain aturan waktu, diatur juga soal penggunaan pengeras suara luar dan speaker dalam.

Nah, pada Surat Edaran Menteri Agama Nomor 5/2022 yang terbaru, toleransi waktu bagi suara sebelum adzan dari masjid-masjid ini dipangkas lagi. Dari 15 menit, kini tinggal 10 menit paling lama waktu pembacaan Alquran atau tarhim sebelum adzan Subuh.

Sedangkan waktu serupa dipangkas lebih banyak lagi menjadi paling lama lima menit sebelum adzan Dzuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya. Waktu pembacaan sebelum adzan dzuhur menjelang Shalat Jumat juga dipangkas dari semula 15 menit menjadi 10 menit saja.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Tentang sejarah Tanah Air, dunia, dan peradaban Islam.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

Kategori

× Image