Musik-musik yang Mengubah Indonesia
Ada masanya, musik di Tanah Air bukan sekadar "Ngak Ngik Ngok". Bukan semata bebunyian buat pengantar joget di Tiktok tetapi juga kekuatan budaya yang dampaknya signifikan bagi lanskap sosiopolitik Indonesia. Berikut kisah soal bagaimana rerupa genre dan karya musik jadi bagian penting perubahan di Tanah Air.
Soundtrack Perjuangan
Musik ini konon dipengaruhi kedatangan kolonial Portugis pada abad ke-16 dan kemudian berevolusi menjadi kesenian khas Tanah Air pada abad ke-19. Pada masa Hindia-Belanda, perannya murni sebagai hiburan.
Menjelang dan setelah kemerdekaan alias pada 1942-1946, meski masih diselimuti melankolisme percintaan, nuansa perang revolusi kental merasuki lagu-lagu keroncong. "Jembatan Merah" karya Gesang, "Selendang Sutra" dan "Sepasang Mata Bola" karya Ismail Marzuki, dan banyak lagi kala itu jadi semacam soundtrack perjuangan melawan penjajah.
Shalawat Antikomunisme
Pada awal hingga pertengahan 1960-an, kondisi Tanah Air sungguh tak tenang. Kala itu, umat Islam kian resah dengan kedekatan rezim Orde Lama dengan komunisme. Sementara PKI juga kian dalam memasuki wilayah-wilayah Tanah Air.
KH Ali Manshur Siddiq, salah satu tokoh NU di Jawa Timur, kemudian mendapat inspirasi mencipakan lirik dan lantunan "Shalawat Badar" untuk menyemangati perlawanan Nahdliyin terhadap ancaman PKI kala itu. Ulama senior Habib Ali bin Abdurahman Al Habsyi Kwitang yang kemudian mendengar gubahan itu kemudian memintanya disebarkan untuk menyaingi lagu "Genjer-Genjer" yang kerap dinyanyikan sebagai rangkaian propaganda PKI.
Panggung Islam Politk
Sejarawan dan wartawan seumur hidup Republika, almarhum Alwi Shahab, mencatat bahwa dangdut sempat jadi mesin perlawanan yang kuat terhadap cengkeraman Orde Baru sepanjang akhir 1970-an dan awal 1980-an.
Dengan penggawanya sang satria bergitar Rhoma Irama, dangdut jadi arena kritik sosial. "Yang miskin makin miskin, yang kaya makin kaya," nyanyi sang Raja Dangdut kala itu. Bang Rhoma, tutur Abah Alwi, bahkan ikut memasang sendiri baliho kampanye PPP pada Pemilu 1977.
Saluran satu-satunya Islam politik itu kemudian berhasil memenangkan suara mayoritas di DKI melawan arus propaganda Golkar. Kemenangan tersebut pada akhirnya memicu ketakutan rezim yang diikuti represi terhadap Islam politik.
Pengantar Reformasi
Pada akhir dekade 1980-an, dunia disapu gelombang westernisasi. Demam musik cadas dan budaya populer asal Amerika Serikat menyapu komunisme dari Moskow hingga Beijing.
Indonesia, utamanya Jakarta, tak lepas dari gelombang tersebut. Secara demografi, urbanisasi saat itu membuat lonjakan populasi pemuda di Ibu Kota. Pengusaha dan musisi Setiawan Djodi menangkap fenomena itu dan mendatangkan grup trash metal, Metallica ke Jakarta pada 1992.
Konser dua malam yang berujung kericuhan besar itu kemudian mencerminkan betapa anak-anak muda menginginkan perubahan dari status quo. Partai PDI, kenang Abah Alwi, menangkap sentimen itu dan mulai mempopulerkan "Salam Metal" tiga jari mereka guna mengkapitalisasi populernya metal di kalangan pemuda. Para pemuda tersebut jugalah yang nantinya jadi bahan bakar reformasi pada 1998.