Agama

Karena Islam, Mata Wayang Hanya Satu

Pembaca budiman tentu paham dengan istilah "semata wayang". Ia digunakan misal untuk menyebut anak semata wayang atau gol semata wayang dalam pertandingan sepak bola. Artinya tentu "satu-satunya".

Asal ini frasa, tak lain dan tak bukan adalah dari mata di wayang kulit klasik Jawa yang memang hanya satu biji itu. Pertanyaannya kemudian, mengapa pula hanya sebiji matanya wayang? Nah, hal ini bisa cerita banyak soal bagaimana Islam sedemikian memengaruhi tradisi kuno masyarakat Jawa tersebut.

Perajin Ahmad Maiyo Satriatama menunjukan wayang buatannya di Surabaya, Jawa Timur, Senin (10/1/2022). (ANTARA FOTO/Rizal Hanafi)
Perajin Ahmad Maiyo Satriatama menunjukan wayang buatannya di Surabaya, Jawa Timur, Senin (10/1/2022). (ANTARA FOTO/Rizal Hanafi)

Sejarawan R Poedjosoebroto dalam bukunya Wayang: Lambang Ajaran Islam (1978) menjelaskan, kala para Walisongo menyiarkan agama Islam di Tanah Jawa pada abad ke-15 hingga 16, tradisi wayang sudah berakar di masyarakat. Para ulama tersebut kemudian berdebat soal bagaimana kedudukan tradisi itu dalam agama Islam.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Kalangan yang lebih puritan, dibawah naungan Sunan Giri menolaknya. Sementara Sunan Kalijaga melihat potensi penyebaran Islam melalui tradisi tersebut. Jadilah kedua golongan itu berembuk, bukan macam sekarang saling tuding lewat medsos.

Jalan tengahnya, unsur-unsur non-Islami pada wayang harus dikikis jika hendak digunakan menyebarkan Islam. Salah satu yang paling krusial tentu bentuk wayang pada masa itu yang menyerupai manusia. Sementara para wali sepakat soal tabu menggambar dan membentuk patung manusia secara utuh dalam Islam.

Dalang memainkan wayang kulit pada pagelaran wayang di Kepatihan Ngawi, Jawa Timur, Sabtu (5/2/2022). (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)
Dalang memainkan wayang kulit pada pagelaran wayang di Kepatihan Ngawi, Jawa Timur, Sabtu (5/2/2022). (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)

Semua kemiripan dengan manusia dari wayang kala itu langsung dilucuti. Dari itu, bentuk wayang kulit purwa dari Jawa Tengah saat ini seperti demikian, amat sangat tak manusiawi. Dua dimensional dengan satu mata saja, misalnya.

Poedjosoebroto juga mencatat bahwa semacam kode-kode kaligrafis tertentu disematkan pada masing-masing tokoh. Hal ini kemudian membuat ciri khas perwajahan tokoh antagonis dan protagonis dalam wayang.

Yang kemudian dilucuti adalah dewa-dewa dalam kisah wayang. Ini tak ada ampunnya. Salah satu contohnya, Dewa Siwa yang demikian ditinggikan dalam agam Hindu Jawa, langsung dilengserkan statusnya menjadi manusia biasa.

Alhasil, kisah-kisah dalam perwayangan juga mengalami rerupa penyesuaian agar tak menabrak ajaran Islam. Sebagian bahkan diubah sedemikian rupa guna mengandung ajaran Islam seperti kisah Kalimasada guna menancapkan kalimat syahadat.

Dalang cilik memainkan tokoh Semar. (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)
Dalang cilik memainkan tokoh Semar. (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

Tokoh-tokoh baru kemudian diperkenalkan. Di antara yang paling ternama adalah Semar dan punakawan. Seantero desain tampilan semar ini, menurut Poedjosoebroto, isinya perlambang Islam. Mulai dari tauhid, sampai lima rukun Islam, ada semua.

Nur Amin Fattah dalam bukunya Metode Dakwah Walisongo (1985) juga menjelaskan bahwa penetrasi Islam ini bukan hanya pada tampilan wayang. Di Demak, misalnya, gelaran wayang dahulu kerap dilaksanakan di masjid. Penonton yang hendak masuk harus melalui gapura dan mengambil wudhu. Tiket masuknya kala itu adalah ucapan dua kalimat syahadat. Artinya, jika hendak menonton wayang, masyarakat harus Islam dulu.

Adalah hak siapa juga mengomentari cara yang ditempuh para ulama Jawa masa lalu tersebut. Tapi sejarah mencatat, lewat cara itu berbondong-bondong orang Jawa masuk Islam. Lewat gagasan tersebut, Indonesia pada akhirnya bisa jadi wilayah dengan pemeluk Islam paling banyak di dunia.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Tentang sejarah Tanah Air, dunia, dan peradaban Islam.