Kisah Biji yang Mengubah Dunia
Daging buah itu, di Indonesia bagian timur biasanya dibuat manisan. Ada yang dikeringkan dan dilumuri gula, ada yang didiamkan dalam air manis dan pedas. Bila dimakan terlalu banyak akan menimbulkan semacam rasa sepat di lidah.
Ada semacam selubung berwarna merah tua yang menyelimuti biji buah tersebut dengan aroma yang kuat betul menguar seperti memicu rasa manis tanpa harus dicecap. Sementara bijinya kerap dikeringkan dan dibuat bubuk rempah.
Kita orang Nusantara; bukan yang nama ibu kota, tapi kepulauan berserakan di Khatulistiwa ini; tentu mafhum dengan buah pala tersebut. Kabarnya, ia sudah lama jadi sejenis kemewahan dalam makanan-makanan di Tanah Air kuno.
Namun pebaca budiman barangkali perlu tahu juga bagaimana krusialnya itu jenis buah bagi peradaban manusia dan Indonesia pada khususnya.
Dalam Nathaniel’s Nutmeg, yang ditulis sejarawan Milton Giles, pada masa keemasannya di Eropa abad pertengahan, satu kantong kecil biji pala yang dikeringkan, saking mahalnya, bisa membuat orang tak perlu kerja lagi sampai ajal menjemput.
Biji pala, dengan segala khasiatnya, dinilai jauh lebih mahal dari emas. Orang-orang Eropa kemudian penasaran dari mana itu biji datang. Jika mereka bisa langsung petik dari pohon, pasti bisa dapat untung berlimpah.
Mereka tanya ke pedagang-pedagang di Venecia, Italia; mereka bilang dapat dari penjual di Konstantinopel, Turki. Orang-orang Turki kemudian bilang mereka dapat dari pedagang-pedagang di Timur Tengah dan India.
Sampai akhirnya, entah siapa yang membongkar itu rahasia, tahulah orang-orang Eropa bahwa pala hanya tumbuh di Run dan Kepulauan Banda, pulau-pulau kecil di Kepulauan Maluku di Nusantara.
Selain pala, di kepulauan itu juga asal cengkeh yang tak kalah populer di Eropa saat itu. Bayangkan terkejutnya para saudagar di Eropa saat mengetahui bahwa sumber kekayaan berlimpah itu bisa dikumpulkan hanya di sebuah noktah kecil saja.
Menir-menir Eropa yang kebelet ingin cari pala kemudian putar otak bagaimana cara mencapai Nusantara. Persoalannya, saat itu Turki Ottoman sedang jaya-jayanya. Merujuk Alan Mikhail dalam bukunya In God's Shadow, Sultan Selim I demikian sangkil dan mangkus meluaskan kekuasaan Ottoman serta membangun kedigdayaan angkatan laut mereka. Agar selamat sampai tujuan, tentu pelaut-pelaut Eropa harus mencari jalan yang tak dikuasai kapal-kapal Ottoman.
Semua bangsa-bangsa pelaut di Eropa berlomba mencapai Banda terlebih dahulu lewat jalur alternatif. Inggris, dalam percobaan pertamanya dengan konyol mencoba berlayar mencapai Hindia Timur lewat jalur utara. Tentu ekspedisi mereka akhirnya terdampar di Kutub Utara.
Spanyol mencoba memutar lewat barat untuk mencapai Banda. Bukannya sampai di pulau kecil macam Run dan Banda, mereka terdampar di benua yang orang Eropa saat itu tak tahu keberadaannya.
Cristhoper Colombus, pemimpin itu ekspedisi kemudian melapor soal temuan tersebut ke kerajaan dan misi penaklukkan Amerika dimulailah. Ia memicu senarai yang hampir memusnahkan suku-suku asli di Benua Amerika dan akhirnya pendirian negara adidaya Amerika Serikat.
Akhirnya Portugis yang sampai duluan di Kepulauan Banda pada awal abad ke-16. Tak lama kemudian Belanda mengambil alih monopoli. Mereka membentuk VOC yang secara brutal memaksakan monopoli.
Kemudian Inggris tiba pula pada awal abad ke-17 setelah mencoba jalur pelayaran lain. Dalam perebutan kekuasaan di sana, Inggris kemudian berhasil menguasai Pulau Run dan Pulau Ai.
Di kedua pulau tersebutlah dibentuk koloni pertama Inggris. Artinya, menurut sejarawan John Keay, perburuan atas pala di Pulau Run itulah cikal bakal imperialisme Inggris yang pada puncaknya menguasai hampir separuh muka bumi.
Mari berandai-andai. Kalau itu biji tidak tumbuh di Banda, apa jadinya ini kepulauan di Khatulistiwa? Mungkinkah kolonialisme tak pernah datang dan kita tak punya alasan untuk membentuk negara yang namanya Indonesia? Barangkali selain “The Founding Fathers,” kita harus mulai mempertimbangkan “The Founding Biji.”
Bagaimana kalau Colombus tidak nekat memutar lewat barat untuk mencari Pulau Banda. Mungkinkah kerajaan Aztec jadi negara terkemuka di dunia karena tak harus punah di tangan penjajah Spanyol? Mungkinkah suku Apache, Navajo, Mohikan, dan puluhan suku asli Amerika Utara masih punya kuasa atas mereka punya tanah? Tak harus mati dalam jumlah jutaan akibat sakit yang dibawa dari Eropa?
Mungkinkah Timur Tengah dan Afrika tak harus jadi kacau seperti saat ini sebab dibagi-bagi secara serampangan wilayahnya oleh kolonialis? Wallahu 'alam bisshawab.