Sejarah Tersembunyi Bhinneka Tunggal Ika

Umum  

Di sekolah, kita diajari bahwa kalimat Bhinneka Tunggal Ika muncul dalam Kakawin Sutasoma, kumpulan puisi keagamaan tentang Pangeran Hastinapura yang dikarang Empu Tantular pada abad ke-14. Penggagas bangsa Mohammad Yamin, dalam buku “Enam Ribu Tahun Sang Merah Putih (1951)”, memertahankan pandangannya bahwa kitab yang dibuat pada masa kejayaan Majapahit tersebut mengandung juga ajakan toleransi antar agama, terutama Buddha dan Hindu yang jadi dua agama resmi kerajaan. Ajaran toleransi itu kemudian diluaskan ke semua agama, etnis, dan aliran politik di Indonesia.

Perajin menyelesaikan pajangan burung Garuda Pancasila. (Maulana Surya/ANTARA FOTO)
Perajin menyelesaikan pajangan burung Garuda Pancasila. (Maulana Surya/ANTARA FOTO)

Tapi yang namanya sejarah tak pernah dan tak bisa sesederhana itu. Penelitian-penelitian belakangan mengindikasikan bahwa tafsir soal ajaran toleransi tersebut adalah sejenis oversimplifikasi.

Pertama-tama, menyatakan bahwa toleransi antara agama Hindu (Shiva) dan Buddha perlu dikampanyekan pada masa Jawa kuno adalah indikasi bahwa kedua agama sempat bersitegang, setidaknya pada masa kakawin bersangkutan ditulis. Kenyataannya, tak demikian.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Sejak masa Kerajaan Shingasari yang dipimpin Raja Kertanagara pada abad ke-13, kedua agama dari India itu bukan hanya hidup rukun, tapi sedikit banyak juga melebur. Rekaman sejarah mencatat bahwa singgungan kedua agama memunculkan aliran khas Jawa yang disebut Shiva-Buddha. Menurut pakar candi-candi Jawa, Lydia Kieven, Kertanagara bahkan mengklaim diri sebagai inkarnasi Dewa Shiva dan Buddha sekaligus.

Candi Jawi di Desa Candi Wates, Pasuruan. Candi Hindu-Buddha itu dibangun untuk menghormati sinkretisme Kertanegara. (ANTARA FOTO/Adhitya Hendra)
Candi Jawi di Desa Candi Wates, Pasuruan. Candi Hindu-Buddha itu dibangun untuk menghormati sinkretisme Kertanegara. (ANTARA FOTO/Adhitya Hendra)

Kertanagara yang berjaya menaklukkan kerajaan-kerajaan lain di Sumatra dan membentuk embrio imperium Majapahit juga jadi semacam pujaan para pandita dan sastrawan Jawa kuno macam Prapanca yang kemudian memengaruhi Tantular. Dalam konteks itu, mari baca bait lengkap yang mengandung kata Bhinneka Tunggal Ika dalam Kakawin Sutasoma.

Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,

Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,

Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,

Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Terjemahan lepas oleh Soewito Santoso dalam bukunya “Sutasoma (1975)” yang menelaah bahasa Jawa kuno:

Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.

Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?

Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal

Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tak ada kerancuan dalam kebenaran.

Dengan latar sejarah kecenderungan beragama Kertanagara, mudah membayangkan bahwa bait itu mencoba menegaskan kesatuan agama Shiva-Buddha dan membela sinkretisme kerajaan, alih-alih meminta pemeluk kedua agama saling rukun.

Bagaimanapun latarnya, kebanyakan orang bakal sepakat bahwa niat Yamin dan Sukarno menggunakan bait itu pada dasarnya baik. Mereka mencoba mengeratkan persatuan berbagai entitas di negara muda bernama Indonesia.

Tapi ada cerita lain dari Sultan Hamid II, putra mahkota Kesultanan Pontianak, yang merancang lambang negara. Hamid II diketahui sebagai pendukung bentuk negara federal. Ia bahkan sempat menjabat sebagai wakil daerah federal Kalimantan Barat.

Ketika diminta ikut merancang lambang negara pada 1950, Hamid II sedianya menggambar burung garuda tengah mencengkeram pita merah putih. Sukarno kemudian meminta pita itu dihilangkan merahnya dan diimbuhi kalimat “Bhinneka Tunggal Ika”. Alasan Sukarno, warna merah putih sudah ada di perisai. Tapi menurut Hamid II, ada alasan lain. Sukarno yang seratus sepuluh persen pro negara kesatuan menginginkan kalimat itu jadi penetralisir semangat-semangat federalisme.

Perkembangan lambang negara Garuda Pancasila hasil rancangan Sultan Hamid II.
Perkembangan lambang negara Garuda Pancasila hasil rancangan Sultan Hamid II.

“Alasan ini berkaitan dengan prinsip "djatidiri" bangsa Indonesia, karena merupakan perpaduan antara pandangan "federalis" dan pandangan "kesatuan" dalam negara RIS, mengertilah saja pesan filosofis Paduka Jang Mulia itu, djadi djika "bhinneka" jang ditondjolkan itu maknanja perbedaan jang menondjol dan djika "keikaan" jang ditondjolkan itulah kesatuan republik jang menondjol, djadi keduanja harus disatukan, karena ini lambang negara RIS jang didalamnja merupakan perpaduan antara pandangan "federalis" dan pandangan "kesatuan" haruslah dipegang teguh sebagai "djatidiri" dan prinsip berbeda-beda pandangan tapi satu djua, "e pluribus unum,” tulis Sultan Hamid II dalam dokumen yang diperoleh Arsip Nasional pada 2008 lalu.

Seiring waktu, Bhinneka Tunggal Ika jadi semboyan yang tak tergoyahkan. Ia dipakai saat ada anasir-anasir dalam Indonesia bikin upaya-upaya subversif. Artinya, semboyan itu bukan sekadar lahir dari naluri altruistik bapak bangsa. Ia dirancang juga dengan sejumlah pertimbangan politik.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Tentang sejarah Tanah Air, dunia, dan peradaban Islam.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

Kategori

× Image