Akar Sosialis dari Gaya Main Timnas

Sejarah  

Perjalanan Garuda Muda di Piala Asia U-23 pungkas lah sudah. Dengan segala perimeter, aksi para pemuda-pemuda Indonesia beberapa pekan belakangan sudah jadi catatan sejarah. Permainan dan pola taktis yang dipertunjukkan Timnas U-23 juga sangat ciamik dan dinamis.

Melawan Korea Selatan di perempat final misalnya, Nathan Tjoe-A-Onyang posisi aslinya sebagai bek kiri, disulap menjadi gelandang oleh pelatih Shin Tae-yong. Saat berduel kontra Irak di perebutan tempat ketiga, ia ditempatkan sebagai bek tengah kiri.

Saat pertandingan berlangsung, formasinya jadi lebih dinamis lagi. Saling tukar posisi dan pengisian ruang jadi hal yang dipertunjukkan oleh para pemain timnas.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Sejak awal, pelatih Shin sudah menekankan etos tersebut, meminta para pemain siap bermain tidak di posisi aslinya. "Hal ini berarti setiap pemain nantinya bisa saja bermain dengan berbagai posisi sesuai kebutuhan dan skema tim," kata Shin pada 2020 silam.

Gaya permainan Timnas Sepak Bola saat ini, adalah juga tren yang menggejala di persepakbolaan modern. Ia punya akar sejarah yang tak lepas dari sosialisme. Begini ceritanya.

Pelatih Timnas Hongaria Gusztáv Sebes. (Public Domains)
Pelatih Timnas Hongaria Gusztáv Sebes. (Public Domains)

Alkisah, pada awal Perang Dunia II, sebuah negara bernama Hongaria bergabung dengan Pakta Tripartit kekuatan Poros pada bulan November 1940. Pemerintah kemudian mempertimbangkan untuk mengalihkan dukungannya, yang kemudian memicu kemarahan Adolf Hitler. Pada 1944, ia kemudian menunjuk pejabat Nazi ke posisi kekuasaan dalam sistem Hongaria.

Hal ini membuat Hongaria jadi sasaran serangan sekutu. Pada pertengahan Februari 1945, kekuasaan Jerman di Hongaria digulingkan oleh Uni Soviet setelah Pengepungan Budapest selama 50 hari yang merenggut nyawa 38.000 warga sipil. Pendudukan Soviet di negara tersebut terus berlanjut bahkan setelah pengusiran pasukan Jerman terakhir pada April. Pada akhir dekade 1940-an, Hongaria telah menjadi anggota penuh gerakan komunis.

Gelombang nasionalisasi dengan cepat menyebar ke seluruh negeri, termasuk sepak bola. Federasi sepak bola di bawah Kementerian Olahraga. Klub sepak bola Honvéd diambil alih oleh tentara, dan MTK dikendalikan oleh polisi rahasia. Ferencváros, salah satu klub terbesar dan terpopuler di Hongaria, dirugikan karena hubungannya dengan fasisme pada masa perang.

Pada masa-masa itu, hidup seorang pelatih sepak bola bernama Gusztáv Sebes. Ia pada masa mudanya adalah aktivis buruh. Pada 1920-an, ia mengorganisir pemogokan yang menyerukan upah yang lebih adil di sebuah pabrik tempat dia bekerja. Pada 1930-an, ia memimpin demonstrasi di pabrik mobil Renault di Paris. Terlibat dalam restrukturisasi FA, Sebes diangkat menjadi wakil menteri olahraga dan kemudian menjadi presiden Komite Olimpiade Hongaria.

Ia bukan pelatih “paling jago” saat itu. Ada dua kandidat yakni Béla Guttmann dan Márton Bukovi adalah dua kandidat utama untuk menggantikan bos tim nasional Tibor Gallowich pada 1948. Kelebihan Sebes kala itu, ia sangat kekiri-kirian.

Sebes tidak pernah berusaha menyembunyikan keyakinan politiknya. “Sebes sangat berkomitmen pada ideologi sosialis dan Anda bisa merasakannya dalam segala hal yang dia katakan,” kata Gyula Grosics, penjaga gawang berbakat yang mencatatkan 86 caps untuk Hongaria dilansir These Football Times.. “Dia menjadikan isu politik di setiap pertandingan atau kompetisi penting; dia sering mengatakan bahwa pertarungan sengit antara kapitalisme dan sosialisme terjadi baik di lapangan sepak bola maupun di tempat lain.”

Dipengaruhi pelatih berpikiran terbuka, Jimmy Hogan, Sebes kemudian melakukan sejumlah inovasi. Dia sering memperkenalkan sesi renang ke dalam program pelatihan Hongaria untuk meningkatkan kekuatan paru-paru pemain. Para ahli medis didatangkan untuk menjelaskan dampak negatif rokok dan alkohol. Alih-alih sesi minum-minum, pasukan tersebut mengunjungi museum dan galeri seni, sementara perjalanan ke pabrik-pabrik di seluruh negeri dipandang positif oleh penguasa. Ia membujuk pemerintah untuk membangun pusat kompleks olahraga untuk membantu persiapan Olimpiade 1952.

Pencarian bakatnya juga kemudian menemukan sejumlah talenta seperti kiper Grosics; serta pemain seperti Jenő Buzánszky, Gyula Lóránt, Mihály Lantos, József Bozsik, József Zakarias, László Budai, Hidegkuti, Zoltán Czibor, Sándor Kocsis dan Ferenc Puskás yang jadi inti Timnas Hungaria.

Timnas Hongaria pada dekade 1950-an. (Wikimedia Commons)
Timnas Hongaria pada dekade 1950-an. (Wikimedia Commons)

Di lapangan hijau, Sebes menerapkan taktik revolusioner. Saat itu, mayoritas sepak bola mengadopsi formasi WM, yang mana penyerang tengah memimpin lini serang yang terdiri dari 3 penyerang dan 2 pemain sayap. Taktik Sebes adalah menarik kembali penyerang tengah ke lini tengah, serta memindahkan pemain sayap kembali ke lini tengah bila diperlukan. Ini secara efektif menciptakan formasi 3–2–3–2 yang sangat fleksibel, memungkinkan tim untuk dengan cepat beralih antara menyerang dan bertahan. Taktik ini juga membuat bek keluar dari posisinya, karena bek tengah yang terbiasa menjaga penyerang tengah akan mengikuti ke lini tengah.

Praktiknya, Zakarias secara teratur kembali ke pertahanan, sementara Grosics didorong untuk meninggalkan area penalti dan menyapu lini belakang. Saat bola berada dalam penguasaannya, Puskás dan Hidegkuti bergerak ke arah gawang, bukannya menjauh dari kiper mereka. Ini kebalikan dari apa yang biasa terjadi pada saat itu.

Sebagai seorang sosialis garis keras, Sebes terus menekankan bahwa, dalam timnya, sistem selalu lebih penting dari individu. “Daripada bermain-main dengan para bek tengah dan penyerang dalam yang kelelahan, diputuskan bahwa pekerjaan harus dibagi di antara tim,” kata Puskás. “Serangan dan pertahanan harus bekerja secara harmonis sebagai satu kesatuan.”

Ketiga, Sebes mendorong para pemainnya untuk serba bisa. Idealnya, pemain mana pun bisa bermain di posisi apa pun. Ini adalah ide yang revolusioner karena saat itu sebagian besar pemain terbiasa bermain di satu posisi tertentu.

“Meskipun kami berenam [Bozsik, Czibor, Budai, Puskás, Kocsis dan dirinya sendiri] bisa menyerang, kami tidak pernah bermain dalam formasi segaris,” kata Hidegkuti. “Kalau saya maju, Puskás mundur. Jika Kocsis melebar, Bozsik pindah ke tengah. Selalu ada ruang untuk memainkan bola kami terus-menerus mengubah posisi, jadi posisi kami saat kick-off tidaklah relevan.”

Sebes tak malu-malu menyebut gaya bermainnya sebagai “Sepak Bola Sosialis”. Dengan kombinasi rezim kebugaran, pemain bertalenta, serta taktik barunya, Timnas Hongaria jadi monster menakutkan. The Mighty Magyars, mereka dijuluki saat itu.

Pada puncaknya, Hongaria mencatatkan 42 kemenangan, tujuh imbang dan satu kekalahan di antara tahun 1950 dan 1956. Ia dominasi yang sukar dilampaui sampai saat ini. Sayangnya, kekalahan satu-satunya generasi emas itu diderita di final Piala Dunia 1954 yang dimainkan melawan Jerman Barat di Bern, Swiss. Aliran bola Hongaria kandas akibat hujan deras yang mendera stadion, menyebabkan mereka kalah 2-3.

Inovasi Sebes kala itu, saat ini diakui sebagai bentuk awal dari Total Football. "Saat kami menyerang, semua orang menyerang, dan dalam bertahan pun sama. Kami adalah prototipe Total Football," kata Puskas.

Anehnya, taktik Mighty Magyars tersebut, meski terbukti kedigdayaan dan kesangkilannya tak lekas ditiru. Merujuk Dictate the Game, konsep-konsep inovatif yang diperkenalkan oleh Magyar membutuhkan waktu hampir dua dekade untuk menyusup ke dunia sepak bola secara luas.

Persoalannya, saat itu tidak ada tim yang mampu bermain dengan gaya teknis yang penuh tuntutan seperti yang dimainkan Mighty Magyars. Bahkan sampai bertahun-tahun kemudian, pesepak bola terkenal sebagai atlet-atlet flamboyan.

Hingga kemudian Rinus Michels dan Ajax mudanya pada 1960-70an. Tim tersebut yang akan memperkenalkan Johan Cruyff kepada dunia dan menjadi inti Tim Nasional Belanda terhebat yang pernah ada. Rinus Michels mengadopsi dinamika taktik yang mulanya diperkenalkan Sebes.

Saat ini, filosofi Total Football sudah jamak diterapkan di berbagai tim sepak bola. Pemain bola saat ini, dalam bahasa analis dan pelatih Antonio Gagliardi, “adalah yang bermain berdasarkan fungsi alih-alih posisi.”

Adalah kabar baik bahwa kebanyakan pemain keturunan yang kembali ke pangkuan Tanah Air belakangan adalah didikan Belanda, negara asal Total Football yang dibangun di atas pondasi Sepak Bola Sosialis Gusztáv Sebes.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Tentang sejarah Tanah Air, dunia, dan peradaban Islam.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

Kategori

× Image