Sejarah

Bahasa Indonesia Disebut Miskin Kosakata, Haruskah Malu?

Ramai jadi perbincangan di media sosial belakangan, polemik apakah Bahasa Indonesia benar bahasa yang miskin kosa kata. Untuk memeriksa klaim ini, ada baiknya kita lihat juga dari mana datangnya bahasa tersebut.

Jamak diyakini bahwa Bahasa Indonesia datang dari lingua franca yang marak dipakai para pedagang di Nusantara sejak lama. Ia disebut berakar dari bahasa Melayu yang dicakapkan di wilayah Riau-Lingga dan Johor.

Awalnya, menurut kritikus sastra sekaligus Indonesianis Andries Teeuw, bahasa Melayu Kuno muncul selambatnya pada abad ke-7 Masehi. Bahkan saat itu, bentuk kuno Melayu sudah mulai meminjam kata dan istilah dari bahasa Jawa Kuno dan Batak Kuno. Ini nantinya akan jadi dasar fleksibilitas bahasa yang kini digunakan di Nusantara.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Bahasa Sansekerta yang datang bersamaan masuknya agama Hindu-Buddha juga mulai menyumbangkan kosakata untuk bahasa Melayu Kuno tersebut. Dalam prasasti yang dibuat untuk Raja Adityawarman kira-kira pada 1356 dan ditemukan di Sumatra Barat, Bahasa Melayu kala itu sudah dipenuhi kosakata pinjaman dari Bahasa Sansekerta.

Suasana Museum Sumpah Pemuda, Kramat Raya, Jakarta Pusat. (Prayogi/Republika)
Suasana Museum Sumpah Pemuda, Kramat Raya, Jakarta Pusat. (Prayogi/Republika)

Gambaran paling gamblang dari pengaruh ini bisa dilihat dari bagaimana orang-orang Nusantara menyebut benda besar di langit yang bersinar pada siang hari. Tak ada kata Melayu Kuno yang bertahan untuk menyebut benda itu. Yang dipakai adalah kata “matahari” (dari matanya “Hari” yang merupakan nama lain Dewa Wisnu); kemudian “Surya” dan “Baskara”, keduanya juga nama dewa Hindu.

Evolusi besar selanjutnya pada bahasa Melayu Kuno tersebut kemudian terjadi bersamaan dengan kedatangan Islam ke Nusantara pada abad ke-13 sampai abad ke-14. Dalam puisi yang bertanggal pada 1390 dari Samudera Pasai di Aceh, meski masih menggunakan aksara Sansekerta, kata-kata Arab dan ide-ide dari agama Islam sudah ditemukan. Pada akhir abad yang sama, Kesultanan Trengganu sudah menggunakan aksara Arab untuk menulis. Keduanya adalah kesultanan Islam dan menggunakan Bahasa Melayu sebagai bahasa sastrawi.

Sejak itulah kira-kira Bahasa Melayu mulai diperkaya dengan ribuan lema dari Bahasa Arab. Tambahan kosakata dari Bahasa Arab ini nantinya menyamai, bahkan melampaui pinjaman dari Sansekerta.

Ada sejumlah teori soal bagaimana Bahasa Arab kemudian menyesap dalam Bahasa Melayu. Diplomat cum sarjana Nikolaos van Dam merangkum bahwa teori yang lebih jamak adalah bahwa Bahasa Arab masuk bersama para pedagang, baik dari Hadramaut maupun dari India. Namun, kata dia, pengaruh yang lebih besar adalah dari para ulama. Hal ini karena hanya sedikit saja Bahasa Arab cakapan yang disadur dalam Bahasa Melayu ketimbang Bahasa Arab Klasik alias bahasa kitab. Kata-kata seperti “perlu” yang asalnya dari “fard”, kemudian “adil”, lalu “musyawarah”, “ikhlas”, “akhlak”, “adab”, seluruhnya adalah istilah keagamaan.

Bahasa Melayu yang sudah diperkaya dengan Bahasa Arab ini jugalah kemudian yang jadi “lingua franca” dari para ulama Nusantara. Indonesianis Michael Laffan menuliskan bahwa jaringan ulama Nusantara yang dipukul rata dengan istilah “Jawi”, juga menulis dan mengajar dengan Bahasa Melayu, dan membantu penyebarannya sampai ke selatan Thailand.

Penggunaan Bahasa Melayu untuk menerjemahkan kitab-kitab Arab pada abad ke-16 dan abad ke-17, kata Andries Teeuw, kemudian mempercabangkan Bahasa Melayu sastrawi alias Melayu Tinggi dan bahasa pasar alias Melayu Rendah atau Melayu Pasar. Bahasa Melayu sastrawi tersebut yang kemudian marak di wilayah Riau-Lingga dan Johor, yang diklaim jadi dasar Bahasa Indonesia. Percabangan tersebut punya dampak panjang pada Bahasa Indonesia. Saat ini, kebanyakan orang Indonesia berbicara sehari-hari agak berbeda dengan bahasa baku yang “baik dan benar” yang dipakai dalam tulisan (seperti artikel ini) atau acara kenegaraan.

Sejak awal abad ke-16, datang juga sejumlah negara Eropa yang kemudian menjajah Nusantara. Mulai dari Portugis, Belanda, Inggris. Ini juga pada akhirnya menyumbang lagi kosakata pada lingua franca yang dicakapkan orang-orang Nusantara. Kata “boneka”, “meja”, “kemeja”, “sepatu”, “kantor”, “pabrik”; misalnya, semuanya aslinya dibawa kolonial.

Sejarah kemudian mencatat, pada 1928 pemuda-pemuda nasionalis memutuskan lingua franca yang akarnya dari Melayu Riau itu kemudian akan jadi bahasa negara yang mereka bayangkan akan bernama Indonesia. Kata “Bahasa Indonesia” itu sendiri digagas M Tabrani pada Kongres Pemuda I pada 1926.

Koran-koran nasionalis bertekad menggunakan bahasa itu ketimbang Bahasa Belanda. Persoalannya, bahasa tersebut kekurangan kata-kata untuk menjelaskan ide-ide kompleks. Menurut James Neill Sneddon yang menuliskan sejarah Bahasa Indonesia, para jurnalis kemudian secara mandiri membawa lema-lema baru, kebanyakan saduran dari bahasa asing.

Menjelang kemerdekaan, kekurangan kosakata “orisinil” itu coba ditangani. Pada 1942 Jepang merestui didirikannya Komisi Bahasa untuk menambah lema bahasa baru tersebut. Soewandi, Sutan Takdir Alisjahbana, juga Sukarno-Hatta masuk komisi itu.

Sekitar 7.000 lema baru bergasil digali dari khazanah bahasa-bahasa Nusantara untuk menambal kekurangan kosa-kata. Namun, hanya sedikit saja yang berhasil jadi jamak digunakan. “Mesin” dari kata Yunani “machina” tak berhasil digantikan dengan “jantera”, yang aslinya juga dari India. Kata “ketua negara” untuk menggantikan “presiden” juga hilang entah kemana.

Dari sejarah panjang itu, bisa dilihat bahwa Bahasa Indonesia adalah barang yang unik di antara bahasa-bahasa dunia. Ianya bukan entitas yang ajeg, yang sudah relatif pungkas saat dijadikan bahasa resmi negara. Jika bahasa yang lain sudah “jadi” baru ditetapkan sebagai bahasa resmi pemerintahan, Bahasa Indonesia lahir bersamaan dengan nasionalisme. Ia masih terus dibentuk seiring berdirinya negara-bangsa.

Dalam lema-lemanya, ia adalah amalgam dari banyak bahasa. Mulai dari Melayu Kuno yang dipengaruhi bahasa Jawa dan Batak, kemudian diperkaya Sansekerta, Arab, Eropa, bahkan Cina. Ia bukan hanya sejarah kata-kata, tapi juga gambaran presisi soal bagaimana arkipelago ini adalah tempat peradaban-peradaban singgah dan bersinggungan.

Meski kosakata aslinya tak banyak, ia tak perlu jadi memalukan. Ia adalah bagian integral dari perjalanan ini bangsa. Bahasa itu berkisah soal sejarah panjang Nusantara, dari mulai dipengaruhi Hindu-Buddha; lalu dalam damai merengkuh Islam; brutalnya penjajahan; sampai janji untuk jadi satu negara.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Tentang sejarah Tanah Air, dunia, dan peradaban Islam.