Kongres Perempuan Indonesia, Cikal Bakal Hari Ibu

Sejarah  

Berawal dari tekad para pemuda lewat Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, kaum perempuan yang bergabung dalam beberapa organisasi atau perkumpulan mencoba untuk mengedepankan persoalan-persoalan mereka. Dua bulan sesudah pernyataan Sumpah Pemuda, pada 22 Desember mereka menyelenggarakan Kongres Perempuan Indonesia pertama di Yogyakarta.

Kongres ini diikuti aktivis dari perkumpulan perempuan seperti Puteri Mardiko, Aisyiyah, Putri Indonesia, Wanita Taman Siswa, Jong Islamisten Bond, dan beberapa ormas lainnya. Selama tiga hari (22-25 Desember) para wakil organisasi atau perkumpulan perempuan yang hadir mencoba untuk membahas dan memperjuangkan peningkatan kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat dan negara.

Hal yang menonjol dalam pembahasan tersebut adalah kedudukan kaum perempuan dalam hukum Islam, memperjuangkan hak pilih aktif bagi kaum perempuan, meningkatkan kedudukan kaum perempuan dalam perkawinan dengan membentuk suatu komisi untuk merancang peraturan perkawinan modern, dan menanamkan kesadaran pada perempuan Indonesia untuk kemudian menginsyafkan generasi muda akan tugas-tugas kebangsaannya.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Komite Kongres Perempuan Indonesia I. (wikimedia commons)

Salah satu keputusan kongres adalah mendirikan federasi organisasi perempuan yang diberi nama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). Kelak PPPI ini berubah menjadi PPII (istri). Beberapa kongres selanjutnya juga membahas hal-hal yang berkaitan dengan perjuangan hak kaum perempuan seperti Kongres II di Jakarta, 1935 yang memutuskan dibubarkannya PPII menjadi KPI (Kongres Perempuan Indonesia). Kongres III dilangsungkan di Bandung 1938 dan Kongres ke IV Juli 1941 berlangsung di Semarang).

Dalam periode ini kerja nyata yang bisa dilihat antara lain pemberian beasiswa kepada kaum perempuan yang kurang mampu untuk melanjutkan pendidikannya, memperjuangkan pensiun bagi janda dan anaknya, dan upaya perbaikan nasib perempuan terutama kaum buruh.

Meski demikian, perjuangan kaum perempuan dalam periode ini lebih tampak sebagai bentuk perlawanan dominasi kaum pria. Ryadi Gunawan dalam salah satu bagian buku Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia terbitan Tiara Wacana Yogyakarta, menyebut sifat yang muncul pada masa itu lebih menunjuk kepada sifat konfrontatif terhadap kaum laki-laki dan bukan untuk menuntut persamaan hak, derajat, dan martabatnya. Sifat ini berangsur-angsur menemukan bentuknya kelak sesudah kemerdekaan. Wujud kongres pun berubah menjadi semacam federasi ormas perempuan dalam wadah yang merupakan akronim dari Kongres Wanita Indonesia (Kowani).

Dalam kongres perempuan pertama ada hal yang menarik untuk dicatat. Pemuda Soekarno yang ketika itu sudah menjadi aktivis pergerakan nasionalisme, mendapat kesempatan untuk memberi sambutannya. Ia menyakinkan mereka bahwa persoalan krusial bangsa saat itu adalah memperjuangkan kemerdekaan dari penindasan kolonial Belanda. Hak dan emansipasi perempuan dengan serta merta akan terwujud ketika Indonesia merdeka.

Peserta Kongres Perempuan III.

Para peserta pun lewat persidangan yang terbilang cukup hangat menyetujui pandangan dari Soekarno yang kelak menjadi pemimpin bangsa ini. Mereka kemudian lebih menekankan kepada perjuangan pembebasan bangsa ketimbang mempersoalkan hak-hak kaum perempuan.

Namun, seperti yang ditulis Wardah Hafidz dalam satu bagian buku Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, ketika gerakan kaum perempuan mengesampingkan isu gender dan lebih menekankan kepada upaya pembebasan bangsa, hasil yang kemudian mereka inginkan tak terwujud di lapangan. Pandangan Soekarno tidak sepenuhnya tepat. Pengabaian masalah gender, katanya, ternyata tidak otomatis bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi kaum perempuan.

Dan kenyataan membuktikan itu. Wardah menyebut kesewenang-wenangan terhadap perempuan terutama dalam lembaga keluarga dan perkawinan tetap berlangsung. Puncaknya, kekecewaan kaum perempuan terhadap perilaku Soekarno yang melakukan poligami, satu hal yang sangat ditentang kala itu. Berbagai ormas perempuan melakukan protes dan demo turun ke jalan memboikot istri kedua Soekarno. Situasi ini yang dianggap sebagai salah satu pemicu diadakannya UU Perkawinan.

Catatan lain yang juga menarik menyangkut Kongres Perempuan adalah kelahiran Hari Ibu. Menurut Ibu S. Iman Soedijat, ketua wanita pejuang dalam buku yang sama menulis bahwa pencetus gagasan adanya Hari Ibu adalah Ibu Soetinah Soeparta yang juga dikenal sebagai Ibu Said Soerjadinata dari perkumpulan Istri Indonesia. Gagasan tersebut diusulkan Ibu Soenarjo Mangoenpoespita, utusan Istri Indonesia pada Kongres Perempuan Indonesia ke III di Bandung.

Alasan yang dipakai ketika itu adalah pada zaman penjajahan masyarakat memandang kaum perempuan lebih rendah dari kaum laki-laki. Perempuan mahluk nomor dua yang segala-galanya lebih rendah dari kaum laki-laki. Karena itu, kaum perempuan terpelajar berusaha menolak anggapan tersebut dengan mengadakan berbagai kegiatan yang mampu mengubah pandangan tersebut. Kegiatan yang mengarah kepada peningkatan kualitas perempuan itu akan dilaksanakan pada suatu hari tertentu dan diberi nama Hari Ibu.

Ternyata usulan ini diterima secara aklamasi. Muncul persoalan soal pilihan hari yang patut dijadikan rujukan. Kongres akhirnya memutuskan hari bersejarah yang bisa diterima oleh seluruh aliran dan golongan peserta kongres. Pilihan itu adalah hari pertama Kongres Perempuan Indonesia I, 22 Desember. Sejak itu, semua organisasi wanita peserta kongres menyelenggarakan Hari Ibu. Apalagi pemerintah melalui Keppres No 316 tertanggal 16 Desember 1959 mensahkan Hari Ibu sebagai hari besar nasional.

Disadur dari Harian Republika edisi 20 Desember 1996.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Tentang sejarah Tanah Air, dunia, dan peradaban Islam.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

Kategori

× Image