Sejarah

King the Land dan Islamofobia di Korsel

Film serial Korea Selatan, King the Land memicu kontroversi belakangan. Warganet meradang sehubungan penampilan seorang "Pangeran Arabia" yang minum-minum dan main perempuan. Kondisinya kian pelik saat pihak produsen K-Drama itu berdalih mereka tak menyebut negara tertentu asal pangeran yang diperankan aktor India tersebut. Namun penonton dengan awas memerhatikan bahwa sang pangeran disebut dari Arabia.

Para pembuat serial itu kemudian dituding melakukan tindakan pelecehan rasisme. Apakah mereka bisa ditangkap? Kecil kemungkinannya, sebab sampai saat ini, Korea Selatan adalah satu-satunya negara tergolong maju yang tak memiliki satupun undang-undang antidiskriminasi.

Karakter pangeran Arabia yang diperankan aktor India Anupam Tripathi dalam serial King the Land. (tangkapan layar)
Karakter pangeran Arabia yang diperankan aktor India Anupam Tripathi dalam serial King the Land. (tangkapan layar)

Perjumpaan intens Korea Selatan dengan Muslim mulai terjadi saat mereka menyertakan pasukan dalam operasi militer yang dipimpin Amerika Serikat di Afghanistan pada 2001 dan di Irak pada 2003. Ribuan tentara, tenaga medis dan insinyur dikirimkan kala itu.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Namun tak hanya militer, ikut serta juga pada misionaris Kristen dalam rombongan ke Afghanistan dan Irak tersebut. Pada April 2004, seperti dilaporkan the Sydney Morning Herald, sebanyak tujuh misionaris Kristen Evangelis yang menyamar sebagai dokter dan perawat ditangkap di tepian Baghdad. Setelah diberi peringatan, mereka kemudian dilepaskan.

Namun pada Juni 2004, satu lagi bernama Kim Sun-il tertangkap oleh militan di Fallujah. Para militan menyanderanya dengan tebusan pembatalan pengiriman ribuan pasukan Korea Selatan ke Irak. Saat syarat itu ditolak, Kim Sun-il kemudian dibunuh.

Pada Juli 2007, giliran sebanyak 23 misionaris dari Gereja Presbetarian Saemmul ditangkap Taliban di Afghanistan, dua diantaranya dibunuh. Taliban kala itu meminta tebusan ditepatinya janji penarikan 200 pasukan Korea Selatan dari Afghanistan. Setelah janji itu ditepati, sisa tawanan yang masih hidup dibebaskan.

Choe Sang-Hun menulis untuk the New York Times bahwa sejak itu diskriminasi terhadap Muslim di Korea Selatan menguat. Titik didih lainnya terjadi saat 550 pencari suaka dari Yaman terdampar di Pulau Jeju pada 2018. Aksi-aksi menolak imigran marak di Korea Selatan saat itu.

"Aturan jilbab semata sudah cukup jadi alasan mereka tak boleh menginjakkan kaki ke negara kami," kata Lee Hyung-oh, pimpinan kelompok penolak pengungsi Refugee Out. "Mereka teroris yang menyamar sebagai pengungsi," kata para penolak seperti dilansir Korea Times. Meski Korea adalah negara penandatangan Konvensi Pengungsi PBB 1951, sebanyak 700 ribu warga meneken petisi menolak para pengungsi.

Menurut profesor antropologi dari Universitas Hanyang, Lee Hee-soo, gambaran soal Muslim di media barat jadi salah satu sebab utama diskriminasi tersebut. "Dibandingkan negara-negara OECD lainnya, Korea memiliki level tinggi Islamofobia. Artinya, banyak orang Korea memendam sikap bermusuhan, ketakutan tak beralasan, dan syakwasangka terhadap Muslim," ujarnya dikutip Korea Times.

Namun di lain hal, dalam masyarakat Korea Selatan juga sudah mengakar sejenis kasta berdasarkan ras. Hyein Amber Kim, seorang profesor linguistik di State University of New York membaginya menjadi keturunan Korea pada tingkat paling atas. Kemudian "Korea Kehormatan" yang terdiri dari imigran dari Eropa Timur, warga Asia Tengah yang berkulit cerah, blasteran Korea-Kaukasia, dan warga non-Korea berkulit terang. Di paling bawah, dikelompokkan semua yang lebih gelap seperti orang Asia Tenggara, Asia Selatan, Timur Tengah, keturunan Afrika, bahkan warga Korea berkulit gelap.

Pada 2020, merujuk Korea Herald, sebesar 44,7 persen warga asing menyatakan bahwa ada diskriminasi berdasarkan ras di Korea. Sedangkan 47,7 persen lainnya menyatakan ada diskriminasi berdasarkan etnis di Korea.

Kim Seok-ho, profesor sosiologi dari Universitas Nasional Seoul dalam laporannya pada 2019 lalu menemukan bahwa sikap rasisme dan diskriminasi itu belum berubah sepanjang 10 tahun terakhir. Warga Korea cenderung hanya menyambut hangat pendatang dari Jepang, Eropa, dan Eropa sementara bersikap negatif terhadap pendatang dari wilayah dunia lainnya.

Sebagian berdalih, sikap itu juga dipicu konsep keutuhan dan kelangsungan keturunan Korea sehubungan kerapnya wilayah itu didatangi penjajah dari wilayah Asia Timur lainnya di masa lalu.

Pada akhirnya, polemik King the Land membuka kembali tendensi tersebut. Saat para idols dipuja-puji oleh segala suku bangsa, sebagian anasir di Korea Selatan nyatanya masih memandang rendah orang dari kebudayaan lain.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Tentang sejarah Tanah Air, dunia, dan peradaban Islam.