Layakkah Ragam Bahasa jadi Tanda Kekuasaan Allah?
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui." (QS. Ar-Ruum: 22)
Dalam mitologi alkitabiah Yahudi-Nasrani, berbedanya bahasa manusia disebut karena kemarahan ilahiah saat Raja Namrud di Babilonia hendak membangun menara untuk bertemu Tuhan. Belum selesai menara itu dibangun, Tuhan menghancurkannya dan membuat para pekerjanya bicara dalam bahasa yang berbeda dan akhirnya terpencar ke seantero Bumi.
Sedangkan dalam Alquran, ragam bahasa tak pernah disebut sebagai hukuman. Sebaliknya, ia adalah tanda kekuasaan Allah dan bagian dari perbedaan-perbedaan manusia yang diciptakan agar mereka “saling mengenal” (QS. Al Hujurat: 13).
Kerapkali, yang kita sebut sebagai "bahasa" ini disempitkan maknanya hanya suara-suara dengan makna tertentu yang keluar dari mulut saja. Tak pernah demikian.
Jika kita belajar satu dua bahasa selain bahasa ibu kita, gampang merasakan bahwa berbicara dengan bahasa lain adalah juga berpindah ke cara berpikir yang sama sekali berbeda dengan yang biasa kita jalankan di kepala. Ia seperti merobohkan struktur bawaan di otak kita kemudian membangun struktur baru.
Bahasa Arab, misalnya, adalah bangunan yang pondasi dasarnya terdiri dari tiga huruf. K-t-b, misalnya, bisa menjadi kitab (buku), maktab (tempat belajar), katib (juru tulis), maktaba (perpustakaan), kuttab (sekolah dasar), dan sebagainya. Dalam hal ini, belajar Bahasa Arab adalah proses yang radikal. Jangan sewot dulu, radikal di sini maksudnya melacak akar dari hal-hal.
Sementara jika kita beralih dari Bahasa Melayu ke Bahasa Inggris, kita harus mengubah alur pikiran kita soal urutan awam dan khusus. "Balon merah", misalnya, jadi "red balloon". Sementara ke Bahasa Jepang, perubahan struktur umum-khusus dari Melayu tak kalah ekstremnya.
Dalam hal ini, dengan berat hati bisa kita akui bahwa Bahasa Inggris lebih cocok sebagai bahasa sains karena runutan pikirannya sesuai dengan proses saintifik, yakni meneliti yang partikular untuk mencapai kesimpulan generalnya. Sementara Melayu mungkin lebih baik sebagai bahasa sosial.
Berbahasa Jawa dan Sunda juga bukan sekadar bicara dan menyampaikan maksud. Ianya adalah juga kegiatan menempatkan dan mengingat status seseorang. Siapa saya? Siapa yang saya ajak bicara? Ini situasinya bagaimana? Pada akhirnya saya harus bicara ngoko atau kromo?
Saat kita beralih ke Bahasa Prancis atau Jerman atau Spanyol, Arab juga sebenarnya, kita melakukan proses genderisasi dunia dan isinya. "Arbre" alias pohon dalam bahasa Prancis, misalnya, apakah maskulin apa feminin?. Sementara nama Qomariyah bagi perempuan sebenarnya anakronisme karena bulan adalah kata benda golongan muzakkar alias maskulin. Hal serupa buat laki-laki yang bernama Ardi, karena bumi (ard) adalah kata benda muannats alias feminin.
Bahasa adalah juga sejarah manusia-manusia penggunanya dan tempat mereka menggunakannya. Tak perlu baca buku sejarah untuk mengetahui bahwa bangsa-bangsa Nusantara dulunya Hindu karena beberapa kata yang mereka pakai sekarang seperti "bayu, sakti, danau, mitra, surya" semuanya nama dewa Hindu-Arya. Bayu adalah dewa angin, Chakti adalah dewa kekuatan, Danu adalah dewa sungai, Mithra adalah dewa kontrak dan perdagangan, serta Surya silakan tebak sendiri dewa apa.
Sejarah saling pengaruh pemikiran dan kebudayaan juga bisa dilacak dari bahasa. Novelis RF Kuang merunut, di Yunani Kuno, Typhoon adalah raksasa penghancur berkepala seratus, anaknya para titan. Orang Persia, dan Arab yang dulu getol belajar pemikiran Yunani menyadurnya jadi "tufaan" untuk angin badai. Orang Arab kemudian ke Iberia, dan kata itu jadi "tufan" dalam Bahasa Portugis. Orang Portugis ke Cina, kata itu berevolusi jadi "taifeng". Pintarnya orang Cina, kata itu secara literal juga pas karena "tai" artinya besar dan "feng" artinya angin. Di Indonesia, kata itu kita adopsi jadi "topan", saya ndak tahu kita ambil dari Portugis atau langsung dari Arab. Orang Eropa yang kembali belajar Yunani dari orang Arab juga akhirnya menggunakan kembali "typhoon" untuk angin badai.
Secara konseptual, perbedaan bahasa-bahasa ini juga kemudian bersirobok. Dalam bahasa Inggris, ada kata "peace" misalnya. Konsepnya berasal dari Bahasa Romawi "pax" yang bicara soal kesepakatan, diantaranya untuk tak berperang. "Damai" bisa jadi bukan terjemahan Indonesia yang paling pas untuk situasi tertentu saat "peace" ini digunakan. Kadangkala kita harus menggunakan "rukun", kata yang datang dari bahasa Arab yang akarnya adalah "arkan" alias sudut tempat bertemunya pondasi bangunan agar kokoh. Nah, orang Arab, dalam konteks apapun tak akan menggunakan "arkan" untuk "peace". Mereka akan menggunakan "salam" yang akar konsepnya adalah penyerahan diri, atau "ishlah" yang akar katanya adalah jembatan, yang juga bermutasi jadi "shalat", ibadah yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya.
"Perbedaan bahasa" manusia memang dalam hal ini sedemikian kompleks dan amat sangat layak jadi tanda kekuasaan Sang Pencipta Semua Bahasa. Menghargai "perbedaan bahasamu" dalam ayat ini bukan sekadar memaklumi bagaimana orang-orang berbeda saat berbicara. Ia menghargai dan menilai sebagai kekuasaan Allah juga beragamnya cara pikir manusia, memaklumi sejarahnya, memaklumi apa-apa yang dianggap berharga oleh orang lain, menghargai pandangan mereka soal mana yang tabu, menghargai kemanusiaan kita dan semua orang.