Apa Bedanya Penaklukkan Islam dan Kolonialisme Barat?

Sejarah  

Ada yang unik dengan penaklukkan Arab/Islam. Tak seperti penjajahan sebelum dan setelahnya, ia semacam desentralisasi akbar. Kekuasaan, pengetahuan, dan kesejahteraan tak pernah ditimbun di Madinah, misalnya.

Penaklukan bangsa Arab yang dimulai pada abad ke-7 langsung diikuti pendirian pusat-pusat peradaban baru. Bahkan pada zaman khulafaur rasyidin, sudah berdiri poros baru di luar Madinah. Pada masa Utsman, Jeddah jadi pusat perdagangan internasional baru, kemudian Damaskus di Suriah dibangun oleh Muawiyah, dan Kufah di Irak jadi semarak pada masa Umar serta jadi ibu kota kekhalifahan Ali.

Kota Baghdad, pusat peradaban Islam yang dibangun di dekat Sungai Tigris. (public domains)
Kota Baghdad, pusat peradaban Islam yang dibangun di dekat Sungai Tigris. (public domains)

Ada cerita, Madinah saat masih jadi pusat pemerintahan pada masa Khalifah Umar bahkan pernah didera kekurangan pangan hebat. Bayangkan, pusat imperium yang wilayahnya saat itu sudah merentang dari Mediterania sampai mendekati India sempat kekurangan. Bencana itu baru teratasi dengan bantuan dari Kufah yang konon dibawa 2.000 unta.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Selanjutnya pusat-pusat peradaban ini menjamur. Kairo dan Alexandria di Mesir dikembalikan kejayaannya seperti pada masa Yunani; Baitul Hikmah yang ternama itu berdiri di Baghdad; Semenanjung Iberia penuh dengan perpustakaan dan ilmuwan; Samarkand, Bukhara, Khawarizmi, di Asia Tengah, semuanya jadi pusat ilmu. Anatolia, Konya, İstanbul, di Turki jadi pusat pemerintahan dan mistisme Islam. Bengal dan Mumbai juga jadi pusat kerajaan baru. Samudera Pasai, Melaka, Demak, dan kota-kota Nusantara melahirkan ulama-ulama mumpuni. Universitas-universitas kelas dunia berdiri dari Qairawan di Tunisia, Tangier di Maroko, sampai Timbuktu di Mali.

Tak seperti orang-orang Eropa yang masih jadi penguasa kapital lama setelah kolonialisme, Bangsa Arab hanya sebentar saja jadi pemain utama peradaban Islam ini. Orang-orang Persia seperti Ibnu Sina dan al Haytham serta orang Asia Tengah seperti Al Khawarizmi dan Al Biruni jadi pemicu revolusi saintifik. Mansa Musa, seorang Afrika dari sub-Sahara jadi raja paling kaya di dunia. Ibn Battuta, seorang Berber, dan Cheng Ho, seorang Tionghoa, jadi pengelana yang jejaknya tertinggal dimana-mana. Salahuddin, seorang Kurdi, jadi panglima legendaris. Muhammad al Fatih, seorang Turki, menaklukkan Konstantinopel sementara rekan sebangsanya, Jalaluddin Rumi menaklukkan hati para pecinta dengan puisi-puisinya. Malahayati, seorang Aceh, jadi laksamana perempuan perdana. Ini bukan berarti sumbangsih bangsa Arab berhenti karena mereka juga menyumbangkan Ibn Khaldun yang menegakkan tonggak ilmu sosial serta Fatima al Fihri, seorang keturunan Quraisy yang mendirikan universitas pertama di dunia.

Peradaban Islam, selama ratusan tahun adalah dinamika ruang dan keilmuan yang sangat cair. Ia sebuah entitas yang mudah sekali merengkuh banyak budaya, tak punya takut dengan pembauran karena punya pilar yang demikian ajeg. Ide bahwa peradaban tersebut monolitik, adalah gagasan modern.

Prof Hamid Dabashi, penulis Theology of Discontent, menerangkan bahwa tak lama setelah menyebar dari Arabia, peradaban Islam adalah entitas yang polivokal (berbicara dalam banyak bahasa), polilokal (mendiami banyak pusat lokasi), dan polifokal (punya banyak titik fokus seperti yurisprudensi, filosofis dan susastra).

Narasi yang terbangun juga kompleks, meliputi logosentris yang mendefinisikan Islam berdasarkan nalar, nomosentris yang mendefinisikan Islam melalui hukum-hukumnya, dan homosentris yang mendefinisikan Islam dari kemanusiaanya seperti dalam tasawuf.

Semua kompleksitas yang demikian indah itu kemudian luruh dan dan berkarat saat wilayah-wilayah Islam bersirobok dengan brutalnya kolonialisme. Islam bermutasi zemata jadi landasan ideologis untuk melawan penjajahan.

Bahasa Islam di Afrika Utara, Afrika Barat, Nusantara, Asia Selatan, jadi bahasa perlawanan. Gerakan khilafah yang muncul belakangan dan membayangkan Islam sebagai (dan pernah jadi) kesatuan untuk melawan "Barat", adalah anak kandung dari elan zaman tersebut.

Bukan pemerintahan terpadu, justru titik lokal yang terserak di seantero bumi itu yang membuat peradabannya lestari sebegitu lama. Barat mengerti hal ini. Itu mengapa, menurut Prof Azyumardi Azra, mereka membuat dikotomi Islam Pusat di Arabia dan Islam Periferi di belahan dunia lain. Seturut semangat memecah belah, Orientalis menganggap kedua wilayah Islam itu berbeda secara fundamental. Islam Pusat dinilai sebagai tempat di mana Islam yang lebih radikal dijalankan, sementar Islam Periferi disebut sebagai "Quasi Islam" alias bukan Islam yang sebenarnya. Dikotomi ini melupakan sejarah panjang tersebut.

Sementara kolonialisme Eropa tak menjalankan desentralisasi tersebut. Itu mengapa sekarang Eropa kerepotan dengan imigran dari negara-negara yang dulu mereka jajah. Mereka melakukan ekspansi sedemikian luas dan tanpa membangun pusat peradaban baru. Koloni-koloni hanya dikuras habis-habisan sumberdayanya, ditindas masyarakatnya, ditarik seenaknya garis-garis batasnya, dan setelah merdeka pun masih terus dicawe-cawe politiknya.

Kekayaan, kesejahteraan, kebudayaan, dan pengetahuan dijaga rapat-rapat hanya di Eropa. Misalpun mereka membuka pusat peradaban baru, penguasaan tetap dijaga dari warga "pribumi". Suku-suku asli di Amerika Utara dan Australia misalnya, tetap tak dapat mengakses kekuasaan, kesejahteraan, dan pendidikan bahkan setelah kolonialisme diklaim sudah selesai. Bagaimana jika warga bekas jajahan hendak merebut kembali yang dirampas dari mereka, ya terpaksa harus ambil di tempat rampasan-rampasan itu disimpan dan diakumulasikan.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Tentang sejarah Tanah Air, dunia, dan peradaban Islam.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

Kategori

× Image