Rasisme, Penyakit Masa Jahiliyyah dan Masa Kini

Sejarah  

Apakah Islam berhasil sepenuhnya menghapus rasisme di Arabia dan daerah taklukkannya setelah Rasulullah? Orang senang berfantasi begitu, tapi fakta menyedihkannya tak demikian. Apakah ratusan tahun peradaban Islam yang gemilang dan inklusif itu juga bebas dari rasisme? Tidak juga.

Ilustrasi interaksi rasial di masa Turki Utsmani. (Wikimedia Commons)
Ilustrasi interaksi rasial di masa Turki Utsmani. (Wikimedia Commons)

Jika demikian kasusnya, ulama ternama dari Baghdad, Ibn al Jawzi tak akan repot-repot menulis Tanwir al Ghabash jauh pada awal abad ke-13. Kitab itu mencerahkan sekaligus menyedihkan. "Buku ini untuk saudara-saudaraku dari Ethiopia yang merasa sedih dengan hitamnya kulit mereka " tulis Al Jawzi dalam pengantar buku itu.

Sepanjang kitab itu, Al Jawzi berargumen soal keutamaan ras kulit hitam dalam Islam. Bagaimana pandangan Alquran dan hadits soal itu, serta tokoh-tokoh besar dari ras tersebut. Agaknya ada suasana masyarakat yang dinilai Al Jawzi sedemikian keliru hingga ia merasa harus menulis kitab tersebut.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Sedihnya lagi, Al Jawzi bukan yang pertama. Pada pertengahan abad ke-9 ada Al Jahiz yang menuliskan kitab serupa. Kemudian Abdullah Al Nashi dan Muhammad bin Khalaf al-Marzuban pada awal abad ke-10, serta Ja'far bin Ahmad bin al-Sarraj al Muqri pada abad ke-12.

Belakangan para ulama kulit hitam di Amerika Serikat seperti Mustafa Briggs kembali menyoroti fenomena serupa dalam Beyond Bilal yang terbit Februari lalu. Kemudian Jonathan AC Brown, sendirinya seorang kaukasia, menuliskan soal hal ini dalam Islam and Blackness.

Di alam pikiran mayoritas umat Islam, bertahan juga sekutip rasisme ini. Dalam film the Message yang ternama itu, kemudian serial Omar yang populer belakangan, para sahabat Rasulullah digambarkan demikian berkulit cerah dan tak ada yang protes. Ini tentunya seturut imajinasi mayoritas yang membayangkan bahwa demikianlah memang para sahabat.

Di the Message, misalnya, Zaid bin Haritsah yang diasuh Rasulullah digambarkan berkulit putih. Ini tentu bertentangan dengan tradisi Islam yang mencatat bahwa Zaid adalah keturunan Habasyiah dengan kulit yang sangat gelap.

Fakta lainnya, Umar bin Khattab, misalnya, diriwayatkan Imam Suyuti adalah cucu dari seorang perempuan keturunan Ethiopia. Dalam hal itu, tak mengherankan bahwa riwayat-riwayat yang dinilai lebih shahih menggambarkan Umar berkulit "adam" alias coklat yang sangat gelap. Sementara yang bertahan di benak Muslim justru riwayat Al Waqdy yang dinilai lemah para ulama bahwa Umar berkulit putih yang akhirnya menghitam karena kebanyakan makan dengan minyak zaitun pada masa kelaparan saat ia menjabat khalifah.

Demikian juga dengan Ali bin Abi Thalib yang digambarkan dalam hagiografi kaum Syiah demikian mirip kaum "Arya". Sementara riwayat-riwayat yang shahih menggambarkan Ali sebagai seorang yang tambun dan berkulit gelap.

Yang orang-orang juga abai, pada masa Rasulullah, ketampanan atau kecantikan dan gelapnya kulit bukan hal yang selalu terpisah. Bilal bin Rabah, misalnya, disebut berkulit sangat gelap namun juga sangat tampan.

Tercatat dalam sejarah Islam, Abu Dzar Alghifari adalah salah seorang yang paling pertama menyambut wahyu Rasulullah SAW. Ia pula salah satu yang paling awal secara terbuka mewartakan Islam pada penduduk Makkah. Kesederhanan dan tekadnya terekam dan jadi inspirasi.

Tapi umat Islam juga mengenang Abu Dzar karena satu kekhilafannya. Dalam sebuah debat yang memanas, ia kelepasan menyebut Bilal ibn Rabah, seorang Muslim keturunan Afrika dengan panggilan "wahai orang hitam" dalam satu riwayat, atau "wahai putra seorang perempuan kulit hitam" pada riwayat lainnya.

Saat mendapat laporan itu, Rasulullah kemudian melontarkan salah satu kritik paling keras terhadap sahabat-sahabatnya. "Sesungguhnya dalam dirimu masih ada jahiliyyah", kata Rasulullah kepada Abu Dzar merujuk kebiasaan meninggikan suku sendiri pada masa sebelum datangnya Islam di Makkah.

Abu Dzar tentu amat sedih mendengar pendapat itu. Ia sambangi Bilal dan memintanya melakukan sesuatu yang kurang lebih sama dengan yang dilakukan Derek Cauvin, seorang polisi kulit putih, sehingga menyebabkan kematian George Floyd, seorang kulit hitam Amerika. Abu Dzar memohon Bilal menginjak wajahnya sebagai permohonan maaf. Bilal, seturut kebaikan hatinya, menolak permintaan itu dan justru memeluk Abu Dzar sebagai tanda maaf telah diberikan.

Pelajarannya, bukan sekadar bahwa Islam sedari awal sangat keras menentang rasisme. Tapi juga, jika rasisme adalah dosa yang sebegitu subtil sehingga bisa menyelinap ke hati seorang Muslim setaat Abu Dzar..

Seperti niat Al Jawzi pada abad ke-13, umat Islam agaknya perlu diingatkan lagi dan lagi soal ini. Karena seperti yang terjadi di Surabaya serta Manokwari beberapa waktu lalu, dan yang dialami para pemain PSM Makassar selepas pertandingan Liga 1 pekan lalu rasisme sampai sekarang pun bukan penyakit yang benar-benar sudah sembuh di kalangan umat Islam.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Tentang sejarah Tanah Air, dunia, dan peradaban Islam.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

Kategori

× Image