Bahasa Melayu, Bahasa Islam
Mengapa, kita orang Nusantara yang terdiri dari banyak puak dengan bahasanya sendiri ini memilih menggunakan Bahasa Melayu sebagai lingua franca? Di sekolah, kita lebih kerap diajarkan bahwa penyebaran Bahasa Melayu ini terkait dengan transaksi dagang antarpulau dan antarkerajaan di Nusantara. Ianya adalah fakta yang tak keliru, namun juga bukan gambaran seutuhnya.
Yang jarang dikasih tahu, jauh sebelum jadi bahasa perdagangan, Bahasa Melayu adalah bahasa utama untuk menyebarkan Islam di Tanah Air. Sejak abad ke-13, para ulama Nusantara yang belajar agama di Tanah Suci memilih Bahasa Melayu, bukan Bahasa Jawa misalnya, untuk menuliskan kitab-kitab mereka dan menerjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab karya ulama Timur Tengah.
Michael Laffan dalam karya doktoralnya "Islamic Nationhood and Colonial Indonesia: The Umma Below the Winds (2001)", meneliti bahwa Bahasa Jawa saat itu hingga abad-abad seterusnya lebih sering digunakan untuk menuliskan persoalan teologi. Sementara Bahasa Melayu utamanya dipilih sebagai pengantar fiqh yang lebih praktis.
Sementara Bahasa Melayu modern, baru jadi bahasa perdagangan setelah berdirinya Kerajaan Melaka yang menyebarkan penggunaannya seturut peran sebagai pusat perdagangan pada abad ke-14. Bahkan jauh setelah Melaka berdiri, Bahasa Melayu belum jadi "bahasa pasar".
Jean Baptiste-Tavernier menuliskan pada abad ke-17 bahwa saat itu pun Bahasa Melayu adalah bahasa "orang-orang berpendidikan". Artinya, ia menyebar dari ulama ke ulama, dari madrasah ke madrasah, dari pesantren ke pesantren. Lebih teperinci lagi, Bahasa Melayu ini banyak jadi bahasa terjemahan untuk fiqh mazhab Syafii, teologi Asy'ariyah, tasawuf Naqsabandiyah, dan karya-karya Alghazali. Bukan kebetulan, semua wilayah yang berbahasa Melayu saat ini mayoritas adalah penganut seluruh garis Islam tersebut.
Artinya, Bahasa Melayu tertanam kuat di Nusantara bukan sekadar karena ia adalah bahasa jual beli. Justru perannya sebagai bahasa utama pendidikan Islam yang memantapkan keberadaannya melalui berbagai ulama yang menyebar di Nusantara dari selatan Thailand dan Filipina hingga Ternate-Tidore. Hingga saat ini, semua wilayah yang ter-Islamkan di Nusantara dalam tingkatan dan dialek tertentu adalah pembicara Melayu, bahkan sejauh Champa di Vietnam.
Barangkali, bukti paling kuat soal Bahasa Melayu sebagai lingua franca penyebaran Islam ini adalah kosa kata dalam bahasa itu sendiri. Begitu banyaknya serapan bahasa Arab dalam lema Bahasa Melayu dan kemudian Bahasa Indonesia menunjukkan secara jelas bahwa ini bahasa adalah semacam pengantar untuk pelajaran agama. Tak ada urgensinya kata-kata seperti "warisan", "keadilan", "peradaban", "musyawarah", "hukum", "ilmu", masuk dalam perbendaharaan kata Melayu jika mulanya bukan untuk mengajarkan konsep-konsep dalam agama Islam.
Di Malaysia, bahwa Bahasa Melayu adalah "bahasa Islam" jamak diyakini dan diketahui akademisi dan masyarakatnya. Sayangnya, yang terjadi di Indonesia adalah semacam de-Islamisasi Bahasa Melayu. Terlebih saat para penggagas pada masa awal kebangkitan nasionalisme memisahkan Bahasa Indonesia dengan akarnya, yakni Bahasa Melayu tersebut. Dalam perjalanannya, Bahasa Melayu memang kemudian merakyat, salah satu alasan Sukarno mendukungnya sebagai bahasa nasional.
Tapi agaknya tak adil melupakan bahwa pada awalnya, bahasa ini adalah bahasa para ulama, bahasa para pujangga, bahasa para santri, bahasa Islam di Nusantara.