Kolonialisme dan Ironi Maroko vs Prancis
Apakah tepat menyebut Prancis sebagai tim Eropa? Mari cek daftar pemain-pemain mereka saat menaklukkan Inggris pada perempat final lalu.
Kylian Mbappe, sang gelandang tukang gedor andalan tim Ayam Jago adalah putra dari seorang ayah keturunan Kamerun dan ibunda dari Aljazair. Di sayap kanan, ada Ousmane Dembele yang ibundanya campuran Senegal-Mauritania dan ayahnya dari Mali.
Aurélien Tchouaméni, jangkar di tengah formasi adalah keturunan Kamerun. Di lini belakang ada Dayot Upamecano (Guinea-Bissau) dan Jules Koundé (Benin). Artinya, tak lebih dari separuh pemain Eropa pada tim inti itu sebab bek Raphael Varane sedianya berasal dari Martinique di lepas pantai Amerika Selatan.
Di antara 13 pemain pengganti Timnas Prancis, hanya dua yang asli Eropa. Sisanya merupakan keturunan Afrika dan satu keturunan Filipina. Secara total, dari 24 pemain yang dibawa dalam pertandingan melawan Inggris, hanya 29 persen keturunan Eropa.
Secara keseluruhan, Prancis lebih mirip African All Stars alias kumpulan pemain-pemain terbaik keturunan Afrika. Negara asalnya merentang dari Mali, Senegal, Benin, Maroko, Guinea-Bissau, Kongo, Kamerun, Aljazair, dan Angola. Komposisi ini mirip dengan saat Prancis menjuarai Piala Dunia 2018 di Rusia.
Demografi pemain Prancis itu tak lepas dari sejarah kolonialisme negara tersebut. Prancis memulai proyek kolonisasi sejak abad ke-17 di Benua Amerika dan wilayah Karibia. Kemudian sejak 1850, mereka mulai mencaplok satu per satu wilayah Afrika. Hingga awal abad ke-20, hampir seluruh Afrika Barat dan Afrika Utara dikuasai Prancis.
Perampasan kekayaan dari negara-negara jajahan itu kerap dibumbui dengan alasan agama dan rasialis. Para penjajah Prancis kala itu berdalih, mereka perlu menyebarkan budaya Eropa dan agama Kristen ke wilayah-wilayah jajahan sebagai kewajiban "ras yang lebih beradab" untuk mendidik "ras-ras inferior".
Tak hanya Prancis; Inggris, Belanda, Spanyol, Portugal, Belgia, Italia, Jerman, juga melakukan praktik serupa pada periode tersebut. Tak terbilang korban jiwa dan kerugian negara jajahan terkait praktik tersebut.
Sejak 1945, gerakan dekolonisasi mulai muncul di wilayah-wilayah jajahan Prancis. Di Aljazair, gerakan menuntut kemerdekaan dibalas Prancis dengan penindasan yang mengakibatkan banyak korban jiwa. Bagaimanapun, pada akhirnya gerakan-gerakan itu berjaya. Pada 1960-an, wilayah kekuasaan Prancis jauh berkurang.
Persoalannya, kolonialisme dan gerakan kemerdekaan juga menimbulkan batas-batas negara yang baru. Hal ini berujung pada banyak konflik bersenjata di Timur Tengah dan Afrika. Aneka perang tersebut akhirnya memicu banyak imigran ke Eropa, termasuk Prancis. Arus pergerakan manusia dibalik, saat dulu orang Eropa ke bagian lain dunia, kini dunia yang menyambangi Eropa.
Dampak dari kolonialisme dan poskolonialisme tersebut sangat berpengaruh pada helatan Piala Dunia 2022 kali ini. Quartz mencatat, ada 136 pemain di Piala Dunia 2022 yang membela negara leluhur mereka alih-alih negara tempat mereka dilahirkan. Dari jumlah itu, 130 bermain untuk tim-tim Afrika. Dari 59 pemain kelahiran Prancis, lebih dari separuh membela tim nasional negara-negara Afrika.
Maroko adalah negara paling banyak dihuni pemain-pemain yang lahir di luar negeri ini. Masing-masing empat lahir di Belanda dan Belgia, masing-masing dua di Spanyol dan Prancis, dan satu masing-masing di Italia dan Kanada.
Walhasil, pada pertandingan antara Prancis melawan Maroko di semifinal pada Kamis (15/12/2022) nanti batas-batas wilayah kemudian semacam tak relevan. Di satu sisi, ada tim Eropa yang diisi oleh mayoritas pemain-pemain keturunan Afrika, di sisi lain ada tim Afrika yang diisi mayoritas pemain yang lahir di Eropa. Meski begitu, siapapun yang menang akan jadi catatan sejarah yang menarik.
Jika Prancis menang, para pemain keturunan Afrika di tim itu ironisnya akan menghentikan laju tim Afrika terbaik sementara ini. Bayangkan bagaimana prospek itu berenang di benak para pemain Prancis keturunan Afrika. Sementara jika Maroko menang, senanglah di alam sana para pelopor dekolonisasi semacam Frantz Fanon dan Sukarno. Dekolonisasi genaplah sudah.