Mengapa Bendera Palestina Berkibar di Menit ke-48 Piala Dunia?
Barangkali tak ada bendera nonpeserta yang lebih banyak berkibar di Qatar selain bendera merah, hitam, putih, hijau Palestina sepanjang helatan Piala Dunia kali ini. Ketika aksi serupa kerap berujung sanksi denda untuk klub dan pemain di Eropa, tak demikian di Qatar.
Demikian juga dalam pertandingan antara Tunisia melawan Australia pada babak grup pada Sabtu (26/11/2022) lalu. Bendera perlawanan tersebut sudah nampak di Stadion Al-Janoub dibawa para pendukung Tunisia. Kendati demikian, sepanjang babak pertama, bendera-bendera tersebut belum dikibarkan.
Tepat pada menit ke-48 pertandingan, baru bendera tersebut dengan ukuran raksasa diangkat tinggi, lengkap dengan tulisan "Free Palestine" alias "Bebaskan Palestina"., diarak melintasi para suporter. Teriakan "Falastin! Falastin!" menggema di stadion. Keesokan harinya, dalam pertandingan Maroko melawan Belgia, hal serupa kembali terjadi. Persis pada menit ke-48, naik itu bendera.
Mengapa harus pada menit itu? Hal itu tak lepas dari tragedi yang kini dikenang di seantero dunia Arab dengan nama Nakba, alias Bencana.
Alkisah, pada 1948, pasukan Israel yang kebanyakan berisi milisi Zionis seperti Haganah, Lehi, dan Irgun melancarkan serangan ke wilayah Mandatori Palestina. Dengan bantuan persenjataan dari Amerika Serikat, mereka menyapu desa-desa Palestina di Galilea dari utara, dan kemudian sejumlah desa lainnya dari selatan. Tujuannya hanya satu, mengusir warga Arab dari wilayah-wilayah itu untuk kemudian mendirikan negara Israel.
Dokumen yang dilansir Haaretz tahun lalu mengkonfirmasi, terjadi aneka pembantaian massal dalam aksi pendudukan tersebut. Pada September 1948 misalnya, 14 warga ditembak mati di Galilea. Lelaki dan perempuan tersebut dibunuh di desa Reineh tak jauh dari Nazareth.
Di Pegunungan Meron, 35 orang Palestina ditembak mati teroris Irgun hanya karena mengibarkan bendera. Seorang perempuan dan anaknya dipaksa menggali kubur sendiri kemudian ditembaki. Sebanyak 13 anak-anak juga ditembak mati.
Sepanjang operasi Zionis tersebut, sebanyak 500 desa diserbu dan dihancurkan. Sebanyak 78 persen wilayah Palestina kemudian diduduki. Sedikitnya 700 ribu warga Palestina diusir dari rumah-rumah mereka dan terpaksa mengungsi ke berbagai wilayah sekitar, tanpa boleh kembali lagi. Jumlah itu sekitar 80 persen populasi Arab di Palestina. Yang meninggal sepanjang Nakba berkisar antara 2.500 hingga 7.000 warga Palestina. Kebanyakan warga sipil yang tak bersenjata.
Saat ini, akibat kejadian itu sekitar 13,7 juta keturunan Palestina hidup di luar wilayah Mandatori Palestina. Sementara dari 6,2 juta yang dilabeli pengungsi Palestina oleh PBB, 60 persennya di luar wilayah Palestina dan hanya 40 persen di Gaza dan Tepi Barat. Nakba, adalah salah satu pengusiran massal paling akbar dalam sejarah modern yang masih berjalan.
Di wilayah pengungsian, para warga Palestina ini juga masih terancam. Pada 1982, misalnya, pasukan Israel yang menyerang PLO di Lebanon membiarkan Phalangists melakukan pembantaian di pengungsian Palestina di Sabra-Shatila. Wartawan Inggris Robert Fisk bersaksi, pembantaian yang dibarengi pemerkosaan itu menyebabkan sedikitnya 1.700 pengungsi Palestina meninggal dunia. Sedangkan jurnalis Israel Amnon Kapeliouk menghitung jumlah korban sebanyak 3.000-3.500 orang.
Pada November lalu, PBB akhirnya mengakui secara resmi terjadinya pengusiran besar-besaran dalam peristiwa Nakba tersebut. Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi berjudul “Division for Palestinian Rights of the Secretariat”. “Majelis (Umum) meminta Divisi tersebut untuk mendedikasikan kegiatannya pada 2023 untuk peringatan 75 tahun Nakba, termasuk dengan menyelenggarakan acara tingkat tinggi di Aula Majelis Umum pada 15 Mei 2023,” demikian bunyi keterangan pers yang dipublikasikan PBB di situs resminya.
Israel meradang dengan langkah itu. Hingga saat ini, penyebutan Nakba yang diperingati bertepatan dengan hari kemerdekaan Israel itu bisa berujung pada tiga tahun penjara.
Tak hanya simbolisasi Nakba di pertandingan, Piala Dunia di Qatar kali ini semacam juga pengumuman besar solidaritas terhadap perjuangan Palestina. Di jalan-jalan, nyanyian-nyanyian soal Palestina bergema. Para penggemar dari berbagai negara, tak hanya negara Arab, meneriakkan “Free Palestine!”. Jurnalis-jurnalis Israel diabaikan. Tim Nasional Maroko, satu-satunya wakil Arab di babak gugur merayakan kemenangan mereka atas Spanyol dengan balutan bendera Palestina.
Sejumlah kesepakatan normalisasi hubungan diplomatik antara pemerintah negara Arab dengan Israel jadi semacam dokumen yang tak ada artinya. Di akar rumput, masyarakat tak pernah mengkompromikan pembelaan mereka terhadap saudara-saudara di Palestina. Bagaimanapun nasib tim-tim Arab pada Piala Dunia kali ini, skornya masih bertahan, Palestina 1, Israel 0.