Sejarah

Brutalnya Perbudakan Belanda Masa Kolonial

Pembaca yang budiman, hingga saat ini, Pemerintah Belanda ternyata belum pernah sekalipun meminta maaf secara resmi terkait praktik perbudakan yang mereka lakukan sepanjang masa kolonial. Praktik tersebut diketahui menimbulkan banyak kesengsaraan di wilayah jajahan sementara menyumbang dana besar untuk pembangunan Belanda.

Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte menjadwalkan rencana permintaan maaf secara formal itu pada 19 Desember 2022 nanti. "Tujuannya untuk memberikan keadilan terkait makna dan pengalaman perbudakan masa lalu," ujarnya dalam lansiran parlemen yang dikutip the Guardian, Senin (6/12/2022).

Permintaan maaf itu terkait perbudakan terhadap sedikitnya 600 ribu orang Asia dan Afrika yang diperbudak Belanda sejak abad ke-17 hingga abad ke-19. Perbudakan itu diyakini mendanai masa keemasan ekonomi dan budaya Belanda.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Suasana Batavia di masa kolonial Belanda. (istimewa)
Suasana Batavia di masa kolonial Belanda. (istimewa)

Selain permintaan maaf secara formal, Kerajaan Belanda juga berencana mendanai proyek kepedulian senilai 200 juta euro dan pembangunan museum perbudakan senilai 27 juta euro. Rencana permintaan maaf itu diperkirakan bakal memunculkan berbagai reaksi di masyarakat Belanda.

Pada masa kolonial, Belanda menguasai sejumlah wilayah di Asia dan Afrika. Bagaimana praktik perbudakan kolonial itu di Nusantara?

Menurut almarhum Alwi Shahab, wartawan senior Republika yang rajin mencatat sejarah Jakarta, salah satu saksi bisu kebrutalan perbudakan di Jakarta adalah Gedung Arsip Nasional di Jalan Gajah Mada. Berjarak 10 kilometer dari pusat kota Batavia kala itu, gedung itu dibangun oleh Gubernur Jenderal Reinier de Klerk (1715-1780).

"Gedung itu masih tertata rapi dan dilestarikan bentuknya seperti 250 tahun lalu. Di bagian kiri dan kanan sayap terdapat puluhan kamar-kamar kecil. Di kamar-kamar inilah tempat para budak tidur, setelah sejak pagi dan malam bekerja tanpa mengenal waktu.

Kala itu, kaum budak merupakan hampir setengah dari penduduk Batavia, dan bernasib sangat buruk. Jual beli budak sangat menguntungkan. Ini juga dilakukan oleh nyonya de Klerk. Di halaman tengah gedung yang luas itu terdapat 'lonceng perbudakan'. Bila lonceng itu dibunyikan pada dini hari, para budak harus segera bangun sekalipun mereka masih lelah."

Menurut Abah Alwi, ketika serdadu atau kelasi VOC jadi warga Batavia, ambisi mereka adalah memiliki satu atau dua orang budak. Para budak dipaksa kerja siang malam tanpa istirahat.

Mereka menyiksa para budak begitu kejamnya, sehingga sebagian besar putus asa dan bunuh diri. Bernard Dorleans dalam buku Orang Indonesia-Orang Prancis menuturkan, ketika ia berada di Batavia ada budak yang gantung diri, dan dua budak menggorok lehernya sendiri.

Jika para pria merupakan penyebab para budak bunuh diri, maka para majikan perempuan lebih kejam lagi. Mereka bersenang-senang membunuh sendiri para budak serta memuaskan mata-mata mereka dengan tontonan yang lebih menyeramkan.

Batavia, sebagai pusat perdagangan VOC di dunia, tiap saat didatangi kapal-kapal asing. Para pelautnya, setelah berbulan-bulan berada di lautan, haus akan wanita. Sampai 1860 perbudakan masih diberlakukan di Batavia. Pada 1673 hampir setengah penduduk Batavia berstatus budak belian, yakni 13.278 orang dari 23.068 penduduk.

Tercatat juga kerapnya perselingkuhan antara meneer Belanda dengan para budak beliannya. Kala itu status sosial atau tinggi rendahnya derajat seseorang dihitung dari berapa banyak ia memelihara budak.

Di antara pemilik budak yang terkenal adalah Van der Ploegh, seorang pejabat tinggi VOC yang tinggal di Roa Malaka, Jakarta Barat, memiliki puluhan budak belian laki-laki dan perempuan. Salah seorang budaknya, bernama Rossina, dari Bali, yang baru berusia 16 tahun, digambarkan memiliki paras cantik dan tubuh bahenol. Sang nyonya yang dibakar cemburu ketika merasa tuannya jatuh hati kepada budaknya itu, tanpa mengenal kasihan membakarnya hidup-hidup.

Gubernur Jenderal Van der Parra (1761-1775), yang kesohor senang pesta dan hura-hura, setiap tahun mengimpor 4.000 budak belian. Baik dari Bali dan Sulawesi, maupun dari Koromandel (India). Banyak di antara mereka yang mati karena pelayanan kesehatannya sangat buruk.

Cornelis Johanna ded Befree, puteri Raad van Indie, memelihara 59 budak untuk mengurus rumah tangganya. Pada 1775, di kediaman van Riemsdijk, seorang kaya raya di Batavia memelihara 200 budak terdiri dari perempuan, laki-laki dan anak-anak.

Pada 13 Agustus 1625, hanya enam tahun setelah JP Coen mendirikan Batavia, seorang perempuan pribumi, Maria, mengadukan suaminya, Manuel, pada polisi. Manuel memaksa dirinya dan budak perempuannya untuk mencari nafkah haram dengan melacurkan diri setiap hari. Hal ini jamak dilakukan pemilik budak kala itu sementara majikan menerima hasil jual diri tersebut.

Tak hanya di Batavia, kekejaman perbudakan-perbudakan juga tercatat di kebun-kebun milik kolonial di Sumatra. Mantan pemimpin redaksi Republika Asro Kamal Rokan dalam catatannya sempat menyinggung sosok J Van den Brand yang membongkar kekejaman terhadap pekrja kebun di Sumatra pada awal abad ke-20. Van den Brand merupakan pengacara sekaligus pemimpin redaksi Sumatra Post.

Ia membongkar skandal besar kasus perbudakan di Deli, Sumatra Utara yang menggemparkan negeri Belanda. "Para kuli dicambuk, diseret dengan kuda, digantung, kuku kaki mereka ditusuk bambu. Kuli perempuan ditelanjangi, (mohon maaf) kemaluannya dibubuhi merica," tulis Den Brand dalam artikel ber judul De Millioenen Uit Deli (Berjuta-juta dari Deli). Perkebunan-perkebunan di Sumatra diketahui menyumbangkan kekayaan tak terkira bagi Kerajaan Belanda. []

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Tentang sejarah Tanah Air, dunia, dan peradaban Islam.