Mengenang 'Laga Damai' AS vs Iran pada 1998
Idealnya, permainan sepak bola hanyalah itu saja: 22 lelaki atau perempuan berebutan bola dan mencoba saling cetak skor ke gawang lawan. Sayang, kenyataannya tak pernah demikian. Pertandingan sepak bola, utamanya di gelaran Piala Dunia, kerap ada buntutnya.
Hal ini tak bisa lebih ketara dari jadwal pertandingan dini hari nanti antara Iran melawan AS di Stadion al-Thumama di Qatar. Belum lagi peluit laga ditiup, kedua pihak susah bersitegang dengan insiden dihilangkannya lambang republik Islam pada bendera Iran di akun sosial media USSF alias PSSI-nya AS. Penghilangan ini dalihnya terkait dukungan AS kepada aksi unjuk rasa di Iran yang meruak akibat insiden gugurnya seorang warga di tangan polisi moral, kabarnya karena tak mengenakan hijab yang sejauh ini diwajibkan di negara itu.
Ketegangan prapertandingan serupa, dalam skala yang tak kalah akbar, terjadi juga menjelang pertandingan antara keduanya di Lyon, Prancis, pada 1998. Seluruh mata dunia tertuju ke pertandingan itu. "Kami tak boleh kalah. Banyak keluarga para syuhada mengharapkan kemenangan kami. Kami harus menang demi mereka," ujar striker legendaris Iran Khodadad Azizi kala itu seperti dilansor the Telegraph.
Konteksnya, pemerintah Iran dan AS jadi musuh bebuyutan sejak bergulirnya Revolusi Islam di Iran pada 1979. Kala itu, rakyat Iran dipimpin Ayatullah Khomeini memberontak pada kekuasaan Syah Reza Pahlevi, penguasa monarki bertangan besi yang didukung Amerika Serikat. Revolusi itu ditandai penyanderaan 50 pekerja Kedubes AS yang berlangsung selama 444 hari. Rakyat Iran kala itu muak dengan Syah yang tergenang dalam ambisi membangkitkan Imperium Persia sementara membunuh banyak warganya. Kediktatorannya bermula dari kudeta pada 1953 dengan dukungan AS dan Inggris. Sepanjang revolusi, AS kemudian dapat julukan Setan Besar.
Setahun setelah revolusi, AS kemudian menggelontorkan bantuan militer besar-besaran untuk Irak guna menyerang Iran dengan dalih menghalangi penyebaran aliran Syiah. Perang yang berlangsung selama sewindu itu menewaskan total sejuta pasukan kedua sisi dan sedikitnya 100 ribu warga sipil.
Dengan latar itu, tak heran pertandingan pada 1998 dijuluki "the Mother of all Games". Presiden Bill Clinton mencoba menenangkan situasi dengan menekankan bahwa pertandingan ini jadi kesempatan mendekatkan rakyat Iran dan AS, tapi api terlanjur menyala. Pemain bertahan AS Alexi Lalas, sebagai tanggapan atas pernyataan Khodadad Azizi di atas, melayangkan pujian atas film "Not Without My Daughter" yang diputar di Prancis dan menyudutkan pemerintah Iran.
Mehrdad Masoudi, perwakilan Iran di FIFA mengenang bagaimana pasukan pengamanan rahasia disertakan pada masing-masing tim. Wilayatul Faqih, otoritas Syiah di Iran kala itu juga melarang tim Iran berjalan menghampiri tim AS pada mula pertandingan. Keduanya harus menuju tengah lapangan bersamaan.
Pengamanan ekstra juga ditempatkan di seantero stadion. "Seperti zona perang, helikopter mengelilingi stadion, pasukan bersenjata di mana-mana," kenang salah satu pemain. Bahwa kedua tim sama-sama kalah pada laga perdana grup tersebut juga menambah urgensi pertandingan. Pertandingan ini juga pertama kalinya kedua tim bertemu di ajang Piala Dunia.
Mata dunia tak lepas dari siaran pertandingan itu. Semua orang paham, ini bukan laga biasa.
Bagaimanapun, pada akhirnya segala kekhawatiran soal keamanan dan tak sportifnya pertandingan itu tak mewujud.
Sebelum pertandingan, kedua tim menjalankan seremonial saling memberikan bunga antara anggota timnas masing-masing. Kedua tim juga berfoto bersama dengan membawa bunga. Pertandingan berlangsung seru dan adil. Pendukung kedua tim saling sapa alih-alih terlibat kerusuhan.
Saat peluit akhir berbunyi, Iran menang dengan skor 1-2. Pemain kedua tim saling bertukar seragam dan berpelukan. Kala itu, bukannya membangkitkan kebencian, sepak bola justru jadi alat diplomasi yang ampuh. "Dalam 90 menit, kami melakukan yang tak bisa dilakukan politikus selama 20 tahun," ujar pemain tengah AS Jeff Agoos.