Mengapa Kostum Santo Georgius Selayaknya Dilarang di Qatar?
Sejak bertahun-tahun lampau, para pendukung Tim Nasional Inggris di berbagai helatan sepakbola internasional sedianya sudah punya kebiasaan mengenakan kostum Santo Georgius. Tokoh yang diyakini lahir di Cappadocia, Turki pada akhir abad ke-3 tersebut alkisah merupakan tentara Romawi yang kemudian jadi martir setelah memeluk agama Kristen.
Ia merupakan salah satu santo utama dalam agama Kristiani. Sejumlah sejarawan Islam sejak abad ke-9 seperti Al Thabari, Al Tha'labi, dan Ibn al-Athir juga menuliskan dalam tarikh mereka secara positif soal Santo Georgius tersebut.
Pada abad pertengahan, ia kemudian dianggap sebagai santo pelindung wilayah Inggris. Salib merah di atas latar putih yang diasosiasikan dengan santo tersebut kemudian diadopsi menjadi bendera Inggris hingga sekarang. Mengapa kemudian kostum ksatria abad pertengahan dengan lambang Santo Georgius itu dianggap menyinggung di Qatar?
Hal ini terkait dengan Perang Salib yang dititahkan Paus Urban II pada 1096. Kala itu ia menyerukan perang suci untuk merebut Yerusalem dari penguasaan umat Islam. Ratusan ribu umat Kristiani Eropa memenuhi panggilan yang disertai janji pengampunan dosa tersebut.
Dari wilayah Prancis, mereka kemudian bertolak ke timur. Sepanjang perjalanan ini, sebelum bertemu pasukan Muslim, rerupa pembantaian terhadap umat Yahudi telah lebih dulu dilakukan.
Kemudian pada Juni 1098, pasukan besar itu tiba di Antiokhia di Turki. Legendanya, merujuk Gesta Francorum et aliorum Hierosolymytanorum yang ditulis pada 1100, saat mengepung kota itu para pasukan Perang Salib melihat penampakan Santo Georgius lengkap dengan baju besinya beserta sejumlah pasukan.
Ada pakaian khusus yang juga ia kenakan saat itu. "Santo Georgius hadir dihadapan mereka. Baju zirahnya berwarna putih dengan salib merah. Ia kemudian memimpin pasukan menyerang tembok kota," tertulis di catatan kuno Chanson d’Antioche. Setelah pengepungan selama delapan bulan, pasukan Salib kemudian berhasil mengalahkan Pasukan Seljuk dan sekutunya serta menguasai Antiokhia. Terekam dalam Chanson d’Antioche, pasukan dari Eropa itu kemudian membantai warga kota termasuk perempuan. Sejumlah umat Kristiani juga jadi korban dalam kebingungan setelah perang.
Setelah penguasaan Antiokhia, jalan Pasukan Salib menuju Yerusalem tak terbendung. Mereka berhasil merebut kota suci itu dari penguasaan Kesultanan Fatimiyah pada 1099. Dan seperti di Antiokhia, pembantaian besar-besaran dilakukan terhadap warga Yerusalem. Peserta sekaligus pencatat Perang Salib, Raymond of Aguilers secara mendetail menggambarkan rerupa kekejaman yang kiranya lebih baik tak dituturkan di sini. Sederhananya, bahkan merujuk standar zaman tersebut pembantaian di Yerusalem tergolong luar biasa.
Sejak itu, bendera putih dengan salib merah yang kemudian dinamai Salib Anto Georgius awam jadi lambang Pasukan Perang Salib. Lambang itu ditorehkan di bendera, perisai, dan baju baja. Lambang itu kemudian pertama kali malih jadi lambang kerajaan Inggris saat digunakan Raja Inggris Richard I alias si Hati Singa dalam upaya gagal merebut Yerusalem kembali dari penguasaan Salahuddin al Ayyubi pada Perang Salib Ketiga (1189-1192).
Hingga saat ini, ketika perang agama mestinya tak lagi relevan, simbol-simbol terkait Perang Salib itu masih digunakan kelompok garis keras sayap kanan. Dan Jones, penulis buku Crusaders: The Epic History of the Wars for the Holy Lands juga merekam bahwa lambang-lambang itu kerap muncul dalam pawai-pawai supremasi kulit putih di Amerika Serikat.
Pelaku pembantaian di Masjid al-Noor di Christchurch, Selandia Baru juga diketahui menggunakan lambang-lambang perang salib itu saat membantai 51 orang. Nama-nama para pejuang Perang Salib ia tuliskan di senjata yang ia gunakan.
Asosiasi dengan Perang Salib dan segala kekejaman yang mengikutinya tersebutlah yang kemudian menjadikan penggunaan kostum Santo Georgius bermasalah di Qatar yang merupakan negara mayoritas Muslim. Analoginya barangkali serupa mengenakan kaos bergambar Usamah bin Ladin di New York.
Di tengah semangat Piala Dunia untuk menyatukan berbagai kebudayaan alih-alih memecah belah, kebiasaan fans Inggris mengenakan kostum Santo Georgius tersebut, apalagi di Qatar, memang bisa dikatakan kurang sensitif bahkan menjurus keterlaluan.