Der Panzer dan Sejarah Kelam LGBT di Jerman
Sebelum pertandingan melawan Jepang di Stadion Internasional Khalifa, di Doha, Qatar, semalam, seluruh anggota Timnas Jerman menutup mulut mereka dalam sesi foto tim sebelum laga. Ini mereka lakukan sebagai protes karena tak boleh menunjukkan dukungan terhadap kaum gay melalui penggunaan pita lengan kapten.
Bukan kali ini saja sepak bola Jerman terlibat dengan kampanye serupa. Pada Euro 2020, otoritas sepak bola Jerman berencana menyalakan Stadion Munich dengan lampu-lampu pelangi menjelang pertandingan melawan Hungaria. Hal itu sebagai protes atas kebijakan Hungaria yang disebut tak pro-LGBT. UEFA menolak permintaan tersebut.
Untuk mengerti ngototnya Jerman dalam sikap tersebut, kita harus menengok sejarah kelam Jerman berkaitan dengan komunitas gay. Menurut Clayton Whisnant dalam bukunya Queer Identities and Politics in Germany: A History, 1880–1945, Jerman sedianya merupakan lokasi pertama dimulainya gerakan pro-LGBT.
Kata "homoseksual" adalah temuan penulis Jerman. Kemudian pada 1897, berdiri organisasi pendukung hak-hak kaum gay di Jerman. Sepanjang awal abad ke-20, kegiatan-kegiatan kaum gay juga makin marak, utamanya di Berlin. Hukuman terhadap kaum gay yang sudah diluncurkan pada 1871 tak sepenuhnya dijalankan.
Hingga kemudian bangkitlah Partai Nazi di Jerman. Sejak 1928, partai ultranasionalis yang dipimpin Adolf Hitler itu mulai menganggap kaum gay sebagai musuh negara. Kemudian pada 1932, penindakan terhadap klub-klub gay dan anggotanya dimulai di Berlin. Saat Nazi kemudian mengambil alih pemerintahan pada 1933, penggerebekan disertai kekerasan kian menjadi-jadi.
Partai Nazi kemudian menjadikan pemusnahan segala manifestasi gerakan kaum gay sebagai tujuannya. Pada 1935, pasal KUHP Jerman mengenai kaum gay direvisi agar kriminalisasi kaum gay jadi lebih mudah dilakukan. Orang-orang ditangkap, kerap berdasarkan tuduhan semata. Semua yang nampak terlibat dengan gerakan pro-LGBT maupun para pelakunya juga dijebloskan ke penjara.
Hasilnya, hingga akhirnya Jerman kalah perang pada 1945, sedikitnya 100 ribu pria yang dicurigai sebagai homoseksual ditangkap. Dari jumlah ini, sebanyak 50 ribu divonis bersalah melalui pengadilan sipil, dan mencapai 7.000 melalui pengadilan militer. Sejumlah besar lainnya juga diringkus melalui pengadilan khusus.
Setidaknya 6.000 pria dijebloskan ke kamp konsentrasi Nazi yang terkenal mematikan itu. Diperkirakan 60 persen mereka meninggal di sana. Selain itu, sebagian lainnya juga langsung dihabisi melalui suntik mati di kamp-kamp khusus. Periode itu sejauh ini dianggap sebagai masa-masa paling kelam dalam persekusi terhadap kaum gay sepanjang sejarah dunia.
Setelah perang, tak seperti komunitas Yahudi, korban-korban dari kaum gay ini belum dianggap sebagai korban kekejaman Nazi. Hal ini karena laku homoseksual masih terus dianggap ilegal oleh pemerintah di Jerman pasca-Nazi. Baru pada 1970, ketika gerakan pro-LGBT mulai marak di Amerika Serikat, undang-undang tersebut dicabut.
Dalam konteks inilah pembelaan Jerman terhadap gerakan LGBT demikian kencang. Dalam satu hal, itu adalah cara mereka mengkompensasi kekejaman pendahulu mereka terhadap kaum tersebut.