Benarkah ada Sumpah Pemuda pada 1928?
Pembaca yang budiman, awam dipercayai bahwa sedari mula dalam Kongres Pemuda II yang digelar pada 28 Oktober 1928 yang namanya Sumpah Pemuda sudah lahir. Bunyinya sesuai yang diajarkan kepada anak-anak Indonesia sejak dulu.
Ternyata, hal tersebut tak begitu presisi. Puluhan tahun setelah Kongres Pemuda II, tak ada yang namanya "Sumpah Pemuda". Hasil kongres di pondokan mahasiswa di Kramat, Jakarta, itu namanya hanya begitu saja: hasil keputusan.
Kerapatan mengambil keputusan: Pertama, kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia. Kedua, kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu bangsa Indonesia. Ketiga, Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Menurut sejarawan JJ Rizal dalam wawancaranya kepada wartawan Harian Republika M Subarkah pada 2007, yang lebih ternama dari kongres tersebut adalah momen saat WR Supratman memainkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Hingga masuk dekade 1950-an, tangga 28 Oktober lebih dikenal sebagai Hari Lahir Lagu Indonesia Raya.
Namun pada 2 Maret 1957, muncul gerakan Perjuangan Semesta atau Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) yang dideklarasikan oleh pemimpin militer dan sipil Indonesia bagian timur. Gerakan yang bermula di Makassar itu utamanya guna menggugat sentralisasi di Jawa.
Tak lama, pada Februari 1958, muncul pula gerakan desentralisasi yang digaungkan tokoh militer dan sipil di Sumatra yang kemudian menjadi Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Baik di Sulawesi maupun Sumatra, seruannya serupa, yakni pembagian kekuasaan yang lebih adil dari pusat ke daerah. Sentralisasi kaku saat itu justru dinilai kedua gerakan itu inkonstitusional.
Namun di pusat, kedua gerakan tersebut dipandang sebagai upaya separatisme. Operasi militer kemudian dilancarkan guna menumpas kedua gerakan tersebut dengan korban jiwa tak sedikit.
Nah, dalam suasana disintegrasi seperti itu, pada 28 Oktober 1928, Presiden Sukarno kemudian meninggikan derajat Kongres Pemuda II. Kebetulan kala itu pas tiga dekade perayaan kongres tersebut. Menurut JJ Rizal, saat itu kongres diperintahkan untuk diperingati secara nasional, dari tingkat Istana Negara hingga kelurahan.
Ketika membaca teks Sumpah Pemuda di Istana Negara pukul 20.00 pada 28 Oktober 1958, Sukarno membaca teks yang sudah disesuaikan untuk melayani tujuan-tujuan politik dan ideologi negara kesatuan. Misalnya, ia mengganti kata “Persetujuan Kerapatan” menjadi “Sumpah Pemuda”.
Yang namanya sumpah tentu jauh lebih sakral ketimbang keputusan rapat. Ia juga malih menjadi alat ideologis dan politik. Ini bukan sekali dilakukan Sukarno. Bersama kolaborator ideologisnya Muhammad Yamin, Sukarno sebelumnya mengagung-agungkan juga Sumpah Palapa yang konon dibacakan Mahapatih Gajah Mada sebagai upaya menyatukan bangsa Indonesia.
Dalam pidatonya pada 1958 tersebut. Naskah keputusan kongres juga berubah.
Kami putra-putri Indonesia bersumpah: Satu, mengakui tanah air, tanah air Indonesia. Dua, kami putra-putri Indonesai mengakui satu bangsa, bangsa Indonesia. Ketiga, kami putra-putri Indonesia mengakui satu bahasa, bahasa Indonesia.
Dalam hal ini, menurut JJ Rizal, Sukarno melakukan dua hal. Pertama, melakukan rekayasa atas teks Sumpah Pemuda. Kedua, melakukan rekayasa terhadap kepala atau judul hasil Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928. Untuk soal rekayasa teks, Sukarno membuat semuanya serba satu dan membuat penyuntingan bahasa.
"Inilah yang luar biasa, betapa Sukarno dan Yamin bisa mengaitkan hasil Kongres Pemuda II sebagai identitas bangsa dan menariknya ke masa Sumpah Palapa Gajah Mada. Mulai saat itulah ada perasaan'bersalah' dari mereka yang ingin melakukan aksi perlawanan terhadap pemerintah pusat," ujar JJ Rizal.
Sejak 1958 itulah, hingga saat ini 28 Oktober dirayakan sebagai hari Sumpah Pemuda. Sementara sentralisasi yang diprotes di Sumatera dan Sulawesi bercokol lama hingga 1998 saat kemudian Orde Baru tumbang dan muncul regulasi-regulasi otonomi daerah. []