Furbizia, Senjata Psikologis ala Timnas Italia
Pembaca yang budiman, helatan sepak bola Piala Dunia sebentar lagi digelar. Terkait hal itu, ijinkan kami mengajak Anda menjelajahi waktu mengunjungi momen-momen istimewa olahraga sejuta umat tersebut.
Banyak orang sepakat, salah satu gol terbaik dalam Piala Eropa 2012 tercipta pada 15 menit terakhir pertandingan Italia kontra Irlandia. Saat itu, kendati dipepet rapat oleh pemain Irlandia, si bocah bengal, Mario Balotelli, berhasil menyarangkan bola dengan tendangan akrobatik tanpa melihat ke arah gawang. Ciamik.
Walaupun begitu, tak kalah menarik juga yang terjadi beberapa detik setelah gol tercipta. Balotelli, seperti biasanya, merayakan gol dengan raut wajah dinginnya yang khas sembari berbicara ke arah pendukung dan pemain Irlandia. Tiba-tiba, Leonardo Banucci, rekan setim Balotelli menghampiri dan dengan sigap membekap mulut Balotelli sebelum kalimat selesai.
Menurut Banucci, ia tak paham apa yang diucapkan karena Balotelli bicara dalam bahasa Inggris. Tapi, mengingat perangai urakan Balotelli, Banucci main aman dan memilih “menyensor” sendiri kawannya ketimbang timnas Italia kena imbas kelak. Tapi, apakah memang itu alasan sebenarnya Banucci membungkam Balotelli?
Begini, dalam kultur sepak bola Italia, ada istilah “furbizia” atau “furbo.” Dia punya arti “kecerdikan” atau “kelicikan.” Istilah ini mengacu pada tindakan-tindakan nonteknis yang oleh pemain lawan dan penggemar bola dianggap licik, tapi masih dalam batas legalitas peraturan sepak bola.
Contohnya, buru-buru mengambil tendangan bebas saat tim lawan tak siap, atau berpura-pura mengganti eksekutor tendangan su dut dan tiba-tiba melayangkan tendangan saat musuh lengah. Bisa juga mencoba memengaruhi penilaian wasit atau berpurapura kesakitan saat dilanggar.
Menurut Mark Hateley, penyerang timnas Inggris yang pernah bermain di AC Milan, bentuk furbizia yang paling umum adalah melalui kata-kata provokatif untuk menjatuhkan mental lawan. Seorang pemain bertahan, misalnya, akan berulang kali mengatakan pada striker lawan “engkau bermain jelek sekali hari ini.”
Mari mengingat menit ke-110 pertandingan final Piala Dunia 2006, saat Italia melawan Prancis. Tanpa disangka-sangka, saat itu, salah satu pemain sepak bola terhebat di dunia, Zinedine Zidane menanduk bek Italia, Marco Materazzi. Menurut Zidane, ia tak terima perkataan bernada menghina Materazzi kepadanya sejurus sebelum insiden yang membuat Zidane diusir dari lapangan itu.
Pada tingkat furbizia yang lebih jorok, pemain akan mengeluarkan kata-kata hinaan untuk memancing emosi lawan. Artinya, ejekan Materazzi bukan semata karena dia brengsek. Itu adalah tindakan terukur dengan hasil maksimal yang sudah diperkirakan. Penggemar sepak bola paham, jika Zidane si penyihir itu tetap di lapangan, Prancis punya peluang jauh lebih besar untuk merengkuh Piala Dunia untuk kedua kalinya.
Nah, gestur Banucci membekap Balotelli yang sepertinya instingtif itu sangat mungkin adalah furbizia dengan dua mata pisau. Pertama, ia memang mencegah Balotelli kena skors jika ternyata isi ucapan Balotelli berbahaya. Kedua, Banucci memberi kesan seakan Balotelli mengejek Irlandia, hal yang belum tentu diniatkan Balotelli.
Kemudian, ada juga itu tendangan penalti ala “Panenka,” atau dengan gaya mencungkil, Andrea Pirlo saat Italia mengandaskan Inggris di perempat final. Dengan keahlian pemain sekelas Pirlo, tentu banyak cara untuk membuat gol dengan risiko gagal yang lebih kecil. Tapi, kita paham kemudian, Pirlo tak sekadar ingin memasukkan bola. “Saat dia (kiper Inggris, Joe Hart) menjatuhkan diri ke kanan, saya memutuskan untuk menendang bola seperti itu. Gaya itu membuat pemain Inggris tertekan dan faktanya Ashley Young kemudian gagal,” kata Pirlo.
Tentu, taktik dan keahlian pemain berperan besar menentukan hasil pertandingan sepak bola. Tapi orang Italia paham, permainan sepak bola bukan hanya adu fisik. Dia juga adu pintar dan adu kekuat an mental. Selain strategi dan kelihaian, dalam lapangan, provokasi bisa menjadi senjata ampuh. []