Sejarah

Dulu Delapan Pemain Penyerang Semua

Pembaca yang budiman, helatan sepak bola Piala Dunia sebentar lagi digelar. Terkait hal itu, ijinkan kami mengajak Anda menjelajahi waktu mengunjungi momen-momen istimewa olahraga sejuta umat tersebut.

Sepanjang ingatan para penggemar sepak bola saat ini, pemain bertahan bersama sistem pertahanan adalah bagian tak terpisahkan dari permainan tersebut. Sudah lumrah bahwa tim yang hebat adalah juga yang memiliki pertahanan solid. Dalam sejumlah kesempatan, seperti kesertaan Italia atau kejayaan Chelsea FC pada Liga Champions 2012, justru pertahanan, bukan penyerangan yang jadi kekuatan utama.

Tapi sepak bola tak selalu seperti itu. Jonathan Wilson dalam buku seminalnyanya Inverting the Pyramid menjelaskan bahwa awalnya sepak bola dimaksudkan sebagai permainan yang agresif. Pada awal hingga pertangahan abad ke-19 saat sepak bola pertama kali dimainkan di sekolah dan universitas di Inggris, yang penting adalah bola tak dipegang dengan tangan saja.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Ia adalah evolusi dari semangat sejak awal abad ke-19 bahwa murid-murid lelaki di berbagai sekolah di Inggris harus punya saluran untuk mencegah kenakalan dan birahi muda mereka. Walhasil, kekerasan dan agresifitas dalam sepak bola justru dimaklumi. Ketimbang bikin kacau di masyarakat, mending ramai di lapangan hijau.

Ilustrasi pertandingan sepak bola pada abad ke-19. (wikimedia commons)
Ilustrasi pertandingan sepak bola pada abad ke-19. (wikimedia commons)

Menurut Wilson, pada awal-awal dimainkan di sekolah-sekolah di Inggris, hanya seorang yang diharapkan menggiring bola. Biasanya murid senior yang jadi penggiring bola. Sementara di belakangannya mengikuti murid-murid yunior yang tugasnya semacam pelayan, yakni merebut kembali bola jika lepas dari kaki penggiring akibat hadangan lawan.

Pokoknya maju terus seperti banteng. Upaya mengoper, bekerja sama, dan merancang pertahanan dinilai sebagai kepengecutan. Saat kemudian peraturan awal sepak bola diresmikan pada 8 Desember 1863 di Freemason's Tavern di Lincoln's Inn Fields di London, sentimen sebagai permainan menggiring bola itu dipertahankan.

Ilustrasi pertandingan sepak bola pada abad ke-19. (wikimedia commons)
Ilustrasi pertandingan sepak bola pada abad ke-19. (wikimedia commons)

Pemain masih dilarang mengoper bola ke depan, hanya boleh dalam posisi sejajar atau ke belakang. Artinya, bola tetap harus digiring ke depan. Kemudian pada 1866, peraturan diubah lagi dengan membolehkan bola dioper ke depan. Peraturan lainnya kala itu, harus ada sedikitnya tiga pemain lawan (termasuk kiper) di antara penyerang dan gawang lawan saat bola dimainkan. Ini lebih seorang dari hukum offside modern yang mensyaratkan ada dua pemain lawan termasuk kiper.

Pada usia muda sepak bola ini, dengan sentimen demikian, tak heran kondisinya lebih kacau dari pertandingan tarkam. Taktik yang jamak di pakai adalah 2-0-8 atau bahkan 1-1-8. Baru pada 1890-an, mulai ada yang namanya pemain tengah. Taktik yang populer kala itu disebut Piramid, yakni 2-3-5.

Ilustrasi pertandingan sepak bola pada abad ke-19. (public domains)
Ilustrasi pertandingan sepak bola pada abad ke-19. (public domains)

Sekitar 30 tahun kemudian, muncullah seorang manajer progresif bernama Herbert Chapman yang mengawaki klub Arsenal di London. Ia yang mula mengenalkan keseimbangan bertahan dan menyerang melalui formasi WM alias 3-2-2-3. Kian kemari, seperti judul bukunya Jonathan Wilson, piramidanya kemudian terbalik. Tak jarang tim sepak bola mengunakan satu penyerang.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Tentang sejarah Tanah Air, dunia, dan peradaban Islam.