Perpisahan Rasulullah yang Penuh Makna
Assalamualaikum, pembaca yang budiman. Bulan Maulid kembali tiba, terkait hal itu, kami punya ikhtiar meyampaikan secara berseri riwayat mulia Baginda Rasulullah (semoga kedamaian selalu untuknya). Selamat membaca!
Pada dini hari 9 Dzulhijjah, bertepatan dengan 13 September 1853, Richard Francis Burton, seorang pengelana asal Inggris, mengenang bagaimana ia terbangun oleh dentuman meriam saat sedang berkemah di dekat Jabal Rahmah di Arafah, Makkah. Suara itu, kata dia, untuk mengingatkan para jamaah bahwa hari wukuf di Arafah akan dimulai.
Burton, satu dari sedikit saja orang Eropa yang berani menginjakkan kaki ke Tanah Suci saat itu, kemudian mengambil air wudhu dan melaksanakan shalat Subuh untuk menjaga penyamarannya sebagai seorang Muslim. Selepas itu, seperti yang ia tuturkan dalam karyanya “A Personal Narrative of a Pilgrimage to Al-Madinah and Meccah”, Burton bersama seorang bocah pemandu bernama Muhammad menjelajahi sejumlah lokasi di Jabal Rahmah.
“Tempat pertama yang kami kunjungi adalah sebuah titik di bagian tenggara kami menginap, tempat kaki tempat gunung mulai meninggi, sekitar sembilan puluh meter dari puncak bukit. Lokasi itu dinamai “Jami’ al-Sakhrah” alias “Tempat Berkumpulnya Bebatuan”. Di situ ada dua batu besar dari granit sepetak kecil di kaki gunung itu dikelilingi tembok batu dengan cat putih yang sudah usang. Bagian dalamnya dipisah menjadi dua bagian yang sama besar untuk perempuan dan laki-laki, serta ada ceruk untuk menunjukkan arah kiblat ke Makkah,” tulis Burton.
Pada ilustrasi Burton di bukunya, mihrab bangunan itu berada di tembok bagian barat dan batu-batuan berada di bagian timur, sementara tembok utara berdempetan dengan Jabal Rahmah.
Apa kisah apa di lokasi tersebut? Untuk mengetahuinya, kita harus mundur ke tahun ke-10 Hijriyah atau 632 Masehi. Saat itu, ketika beliau berumur 63 tahun, Rasulullah SAW menyampaikan keinginannya melaksanakan haji ke Makkah. Ia kemudian mengirimkan utusan ke berbagai suku Arab untuk memberitahukan kabar tersebut.
Ketika itu, sekitar dua dekade saja selepas Rasulullah pertama kali menerima wahyu, hampir seluruh jazirah Arab sudah diislamkan. Sejak penaklukan Makkah dan Thaif, utusan demi utusan dari berbagai suku datang ke Madinah untuk berbaiat kepada Rasulullah.
Di seantero Hijaz tersebut, seluruh penyembah berhala akhirnya memeluk Islam. Hanya penganut Kristen dan Yahudi saja yang diperbolehkan menjalankan agama selain Islam dengan membayar jizyah, pajak tahunan yang nilainya tak memberatkan.
Seturut banyaknya suku-suku yang telah memeluk Islam, yang menyertai Rasulullah dalam pelaksanaan haji kala itu adalah rombongan akbar. Di perjalanan dari Madinah menuju Makkah, banyak lagi yang bergabung dengan rombongan Rasulullah sehingga jumlah yang berangkat kala itu, dicatat berbagai riwayat, mencapai 100 ribu atau 114 ribu, atau 120 ribu orang.
Singkat cerita, Rasulullah mencapai Makkah, melaksanakan umrah, kemudian tiba di Mina untuk bermalam sepanjang 8 Dzulhijjah. Dicatat dalam Sunan Ibn Majah, Pada pagi hari 9 Dzulhijjah, Rasulullah bersama rombongan bertolak ke Namirah di batas wilayah Arafat, sekira 1,2 kilometer di sebelah timur Jabal Rahmah. Beliau mendirikan tenda di lokasi tersebut, menanti hingga matahari tergelincir untuk kemudian menaiki untanya, Qaswah, menuju lembah Uranah di antara Namirah dan Jabal Rahmah.
Para sahabat yang hadi saat itu bersaksi bagaimana mereka melihat barisan unta-unta dan manusia-manusia seperti tak putus hingga ke cakrawala menuju Jabal Rahmah. Yang laki-laki, seluruhnya berpakaian Ihram, dua lembar kain putih tanpa tutupan jahitan. Di tengah kerumunan raksasa itu, di lembah Uranah, sembari duduk di atas Al Qaswah itu, Rasulullah mengucapkan khutbah perpisahan.
“Wahai manusia, dengarlah baik-baik apa yang hendak kukatakan. Aku tidak tahu apakah aku dapat bertemu lagi dengan kalian setelah tahun ini ” kata Rasulullah membuka khutbah terakhirnya di hadapan hampir seluruh pemeluk Islam saat itu.
Rasulullah kemudian menanamkan pesan-pesan terpentingnya bagi Islam. Mengingat jumlah besar jamaah saat itu, khutbah Rasulullah dilantangkan sejumlah sahabat, dan kemudian disampaikan dari mulut ke mulut agar pesan sampai hingga ke ujung rombongan.
Beliau berpesan soal berpegang teguh pada Alquran dan Sunnah saat beliau nantinya tiada, soal kesucian Tanah Haram dan bulan suci, kesucian jiwa-jiwa manusia dan harta benda mereka, larangan menyakiti orang lain, seruan penghormatan terhadap perempuan, penghapusan hutang darah dan riba, juga kesetaraan umat manusia.
Pada akhir khutbah, Rasulullah menengok ke langit dan berseru. “Ya Allah, telah aku sampaikan risalah ini kepada hamba-hamba-Mu!”. Seketika lembah bergetar oleh balasan serentak seratus ribu lebih jamaah. “Ya, Rasulullah. Kami menyaksikan!”.
Namirah, lokasi Rasulullah berdiam dalam tenda saat itu, kini jadi lokasi dibangunnya Masjid Namirah. Masjid itu terbagi menjadi dua wilayah, satunya masuk dalam perimater Arafah, yang sebelah barat di luarnya. Sementara Lembah Uranah kini wilayah yang rimbun ditanami pepohonan di sela tenda-tenda putih.
Pada hari-hari biasanya, ia adalah lokasi yang amat sepi tanpa satupun manusia. Menyisakan tenda-tenda kosong tak berpenghuni, sunyi senyap.
Namun, pada puncak musim haji, lembah itu penuh sesak dengan jutaan jamaah berihram. Ia adalah pemandangan yang menggetarkan dan mengaduk-aduk perasaan. Berada di keramaian sebegitu, diantara rerupa warna kulit, paras wajah yang berbeda-beda, dan aneka bahasa asing, siapa juga bakal tersentak soal betapa luasnya Islam menyebar. Perasaan serupa juga kiranya yang dialami para jamaah haji di akhir kehidupan Rasulullah tersebut.
Dikisahkan dalam “Bulughul Maram” karya ulama abad ke-14 Ibnu Hajar al-Asqalani, selepas menuntaskan khutbahnya, Rasulullah meminta Bilal bin Rabbah mengumandangkan adzan dan kemudian memimpin rombongan melaksanakan shalat Dzuhur dan Ashar dengan dijamak.
Beliau kemudian menunggangi untanya menuju Jabal Rahmah, dan berhenti di kaki bukit kemudian menghadapkan Al Qaswah ke Sakharat. Ulama abad ke-13 Imam Nawawi menjelaskan, “Sakharat” yang dimasudkan para perawi hadist di atas adalah bentuk jamak dari kata “sakhrah” yang artinya batu besar.
“Lokasi itu adalah kumpulan batu di kaki Jabal Rahmah yang terletak di tengah wilayah Arafah,” kata Imam Nawawi. Di lokasi itu, Rasulullah berdiri menghadap kiblat ke arah barat hingga jingga hilang dari senja.
Yang dikunjungi Sir Richard Burton pada abad ke-19 kiranya adalah mushala yang dibangun di lokasi tersebut. Saat ini, bangunan yang dikisahkan Burton sudah tak ada lagi.
Saat saya mengunjungi perkiraan lokasi yang ditunjukkan Burton di akhir musim haji lalu, tak ada lagi tembok batu putih yang mengelilingi kaki bukit bagian selatan di antara dua tanggga utama ke puncak tersebut. Tak ada juga keterangan apapun di lokasi yang bisa ditarik garis lurus hingga ke Masjid Namirah tersebut.
Di lokasi itu, tepat di sisi luar tembok yang memagari Jabal Rahmah teronggok beberapa batu-batuan besar. Kelompok batu-batu itu berada di ujung timur laut sebuah petak yang dikelilingi batas setingkat lantai dari semen selebar batu bata. Dalam petak itu, tanah dibiarkan tak berkonblok, berbeda dengan hampir seluruh dataran yang mengelilingi Jabal Rahmah.
Bagian tembok Jabal Rahmah tepat di belakang kelompok batu-batuan tersebut, nampak seperti dihancurkan dengan paksa, membentuk ceruk setinggi pinggang orang dewasa. Ceruk itu berada di bawah anak tangga yang tak bisa didaki di tembok Jabal Rahmah. Dalam ceruk tersebut, ada yang menuliskan secara kasar menggunakan cat semprot berwarna merah sebuah tulisan Arab: “Muhammad”.
Sebagian riwayat, seperti yang dituliskan Ibn Ishak, menyatakan, lokasi Rasulullah berdiam di kaki bukit Jabal Rahmah pada hari Jumat tersebutlah tempat turunnya ayat-ayat yang menggenapkan Islam. “ Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu ” (Al-Maa-idah [5]: 3)
Jika Ibn Ishak benar, maka demikianlah Islam dimulai dan digenapkan. Dari ayat-ayat yang disampaikan di sebuah gua puncak Jabal Nur alias “Gunung Cahaya” dan disempurnakan dengan ayat yang turun di lembah Jabal Rahmah yang artinya “Gunung Kasih Sayang”.
Di sela-sela pelaksanaan haji tersebut, rombongan Rasulullah kemudian bergabung dengan pasukan Ali bin Abi Thalib yang baru pulang dari ekspedisi dari Yaman yang mereka menangkan. Harta rampasan dalam perang tersebut tak langsung dibagi-bagikan kepada para pasukan. Ali bersikeras, barang-barang itu harus diserahkan pada Rasulullah terlebih dulu.
Sikap tersebut membuat kecut pasukan Ali. Mereka tak menyembunyikan protes terhadap tindakan tersebut. Saat kemudian rombonga tiba di Ghadir Khumm, di tengah perjalanan antara Makkah dan Madinah, Rasulullah bermaksud menyudahi potensi konflik tersebut.
Di hadapan rombongan, ia kemudian meraih tangan Ali. “Ya Allah, jadikanlah sahabat-Mu siapa saja yang menjadi sahabatnya, dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya,” sabda Rasulullah seperti dikutip Ibn Katsir.
Di Ghadir Khumm tersebut juga, diriwayatkan Ibn Abbas, turun ayat-ayat terakhir Alquran. Di antara kemungkinan ayat-ayat yang turun paling akhir tersebut adalah soal larangan riba, tentang utang, dan petunjuk soal kontrak muamalah pada akhir al-Baqarah.
Hanya sekitar 80 hari setelah haji perpisahan tersebut, Rasulullah didera sakit dan akhirnya berpulang ke Rahmatullah. Bagaimanapun, pesan-pesan yang ia sampaikan di Lembah Uranah terus lestari, bahkan jadi kian relevan pada situasi dunia terkini yang digerogoti riba, eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan, ketaksetaraan, perpecahan umat Islam, hilangnya penghargaan terhadap nyawa dan martabat manusia, dan ketidakadilan. []