Jalan Damai Rasulullah SAW

Sejarah  

Assalamualaikum, pembaca yang budiman. Bulan Maulid kembali tiba, terkait hal itu, kami punya ikhtiar meyampaikan secara berseri riwayat mulia Baginda Rasulullah (semoga kedamaian selalu untuknya). Selamat membaca!

Pada tahun-tahun pertama di Madinah, rerupa peperangan telah dilalui umat Islam. Syuhada-syuhada berguguran dalam perang-perang tersebut, janda-janda dan yatim bertambah banyak jumlahnya.

Keberadaan komunitas Muslim dengan urgensi pesan mereka memunculkan ketaksukaan bagi mereka-mereka yang terganggu cara hidup lamanya, mulai dari kafir Quraish di Makkah, sebagian suku-suku Badui, hingga suku-suku Yahudi di Madinah. Yang diajarkan Islam menghapuskan banyak posisi-posisi mewah saat itu baik yang dicapai melalui keturuanan maupun praktik perekonomian yang curang.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Serangan-serangan dan ancaman terhadap komunitas seperti tak ada habisnya. Serangan yang tak bisa selamanya dihalau dengan pedang, tombak, dan anak panah. Harus ada jalan lain.

Pada tahun ke-enam selepas hijrah, atau sekitar 628 Masehi, Rasulullah kemudian menempuh jalan tersebut. Kala itu, dikisahkan berbagai riwayat, Rasulullah bermimpi, dengan kepala yang sudah tercukur habis memasuki Ka’bah dan menggenggam kuncinya.

Berdasarkan mimpi itu, ia kemudian mengajak para sahabat melakukan umrah ke Makkah. Sedikitnya 1.400 orang ikut serta, 70 unta dibawa untuk dikurbankan nantinya. Menengok peperangan yang sudah beberapa kali dijalani Madinah dan Makkah, wajar saja sebagian sahabat menyiapkan persenjataan sebelum berangkat. Rasulullah menolak gestur ini. “Aku tidak akan membawa senjata, aku datang hanya untuk melaksanakan umrah,” kata beliau.

Lokasi perjanjian Hudaibiyah di tepian Makkah. (istimewa)
Lokasi perjanjian Hudaibiyah di tepian Makkah. (istimewa)

Dalam perjalanan, rombongan besar tersebut diendus pihak Quraish. Mereka kemudian mengirimkan Khalid bin Walid yang saat itu masih panglima Quraish bersama ratusan pasukan berkuda untuk mencegat rombongan tersebut. Mengetahui rencana pencegatan, Rasulullah mencoba menempuh jalan lain yang berliku-liku hingga akhirnya tiba di Hudaibiyah, sebuah lembah sekitar 28 kilometer dari Makkah.

Di titik itu, Qaswa, unta tunggangan Rasulullah menolak beranjak. Rasulullah menangkap hal itu sebagai pertanda dan meminta rombongan mendirikan tenda di lembah tersebut.

Saat ini, lokasi tersebut ditandai sebuah masjid, persis di tepi jalan lama Makkah-Jeddah. Terletak sekitar 23 kilometer ke arah barat dari Masjidil Haram, ia bukan masjid paling cantik di Tanah Suci. Lebih mirip kebanyakan masjid atau mushala kampung di Saudi. Hanya sebuah bangunan persegi panjang seluas kira-kira 30 kali 20 meter dengan menara di ujung utaranya.

Cat yang melapisi bagian luar masjid itu tak seputih biasanya masjid-masjid yang lebih terawat di Tanah Suci. Demikian juga karpet merahnya yang nampak sedikit usang.

Lokasi itu dikitari padang pasir dan bukit batu. Saat saya sambangi, kebanyakan tetumbuhan di sana meranggas sehubungan musim panas yag mendera. Peternakan-peternakan unta dan kambing tersebar juga di sana. Ia jadi salah satu lokasi mencari susu unta.

Sekitar 2,5 kilometer ke arah tenggara Masjid Hudaibiyah adalah titik miqat bagi jamaah untuk berihram menuju Tanah Suci. Ia titik yang kerap dipakai jamaah yang berkendara menuju Tanah Suci dari Eropa Timur, bagian utara Timur Tengah, atau Afrika Utara. Mereka biasanya punya cerita-cerita seru soal perjalanan mereka.

Sedikit ke arah barat laut di luar masjid, ada reruntuhan bangunan masjid yang lebih tua. Tinggal sebagian saja tembok-temboknya yang masih berdiri. Di masing-masing sudut, dan pintu masik dan sebagian sisi, sekutip saja dinding yang masih berdiri. Bata-bata hitamnya nampak penuh coretan.

Dr Syauqi Abu Khalil dalam bukunya Athlas al-Hadith al-Nabawi menyampaikan bahwa di lokasi tersebutlah kira-kira lokasi Rasulullah berdiam menjelang melakukan umrah.

Saat sedang berdiam tersebut, rombongan dari Madinah didatangi Budayl ibn Warqa’, seorang anggota suku Khuza’ah. Suku tersebut merupakan suku Badui yang sudah cenderung memihak umat Islam. Saat itu, Budayl yang baru datang dari Makkah mengabarkan bahwa kafir Quraish tak akan mengizinkan Rasulullah dan rombongannya mencapai Tanah Suci dan siap berperang untuk menghalangi. “Kami datang ke sini bukan untuk berperang, kami datang hanya untuk berumrah di sekitar Baitullah,” jawab Rasulullah.

Budayl kemudian kembali ke suku-suku Quraish dan menyampaikan tekad perdamaian Rasulullah. Kaum Quraish kemudian mengutus Hulays dari Bani Harits dan Urwah bin Mas’ud dari Tsaqif untuk mendatangi rombongan Muslim dan memata-matai kekuatan mereka seandainya Makkah memutuskan menyerang. Pada saat bersamaan, Rasulullah juga mengirimkan Utsman bin Affan untuk melakukan negosiasi dengan kaum Quraish.

Urwah kemudian memastikan bahwa rombongan dari Madinah memang benar-benar akan datang dalam damai. Ia juga memperingatkan agar Quraish menahan diri dari menyerang rombongan Rasulullah seturut kesetiaan mereka pada Sang Nabi. “Wahai kaum Quraish, aku telah mendatangi Kaisar (raja Bizantium), Kisra (raja Sasaniah) dan Najasy (raja Aksum) di istana mereka masing-masing. Demi Allah, tak seorang dari mereka yang saya lihat lebih dihormati oleh rakyatnya, seperti Muhammad oleh para sahabatnya. Sungguh, di sekitarnya saya dapati suatu kaum yang sekali-kali takkan rela membiarkannya mendapat cedera. Nah, pertimbangkanlah apa yang hendak kalian lakukan dengan hati-hati!”

Setelah teryakinkan bahwa rombongan tak menginginkan peperangan, Quraish kemudian mengirimkan Suhayl bin Amr, seorang petinggi Quraish yang pandai berpidato untuk merancang kesepakatan. Kesepakatan yang kemudian dicapai menunjukkan jalan damai yang jauh lebih dipilih Rasulullah saat itu.

Rasulullah merelakan perjanjian dibuka dengan “Bismika Allahuma” alias “Dengan Nama-Mu ya Allah” ketimbang dengan pembukaan khas umat Islam, “Bismillahirrahmanirrahim”. Rasulullah juga bersedia ditulis sebagai Muhammad putra Abdullah alih-alih sebagai utusan Tuhan, statusnya yang tak diakui kafir Quraish.

Dalam perjanjian itu, kedua pihak sepakat mengadakan gencatan senjata selama sepuluh tahun. Selama itu, setiap orang dijamin keamanannya dan tak diperkenankan melakukan kekerasan satu sama lain. Rasulullah dan rombongannya diminta pulang saat itu, tapi tahun depan dijanjikan boleh memasuki Makkah sementara penduduknya yang belum ber-Islam menyingkir sejenak. Persekutuan juga bebas dilakukan dengan kedua pihak.

Namun satu klausul hampir tak bisa dikompromikan saat itu. Kaum Quraish menuntut, jika ada anggota suku mereka menyeberang ke sisi Islam, mereka harus dikembalikan. Sebaliknya, jika ada dari Madinah menyeberang ke Makkah, mereka tak akan dikembalikan.

Perjanjian itu membuat para sahabat meradang. Terlebih lagi, pada saat bersamaan, tiba putra Suhayl, Abu Jandal. Ia datang dengan kondisi kepayahan setelah berjalan sekian kilometer dari Makkah dengan kaki dan leher terantai. Ia sudah beberapa lama dalam kondisi itu sehubungan kedapatan memeluk Islam dan hendak pindah ke Madinah.

Di sisi Madinah, sudah ada abangnya, Abdullah bin Suhayl yang masuk Islam terlebih dulu. Saat Abu Jandal menuju rombongan Madinah, Suhayl menarik rantai lehernya dan memukul keras wajah Abu Jandal. Ia berkilah, kesepakatan sudah dibuat sebelum Abu Jandal tiba sehingga ia tak boleh bergabung ke Madinah.

“Hai saudara-saudaraku, akankah aku dikembalikan kepada kaum yang menyiksaku karena agamaku!?” teriak Abu Jandal mengiba kepada rombongan dari Madinah. Bagi Rasulullah, betapapun pahitnya, janji adalah janji. “Bersabarlah Abu Jandal, Allah pasti memberi ganjaran dan jalan keluar bagimu. Kami telah menyetujui gencatan senjata dengan orang-orang ini Kami tidak akan melanggar janji kami,” kata Rasulullah.

Tetap saja, buat sebagian sahabat, utamanya Umar bin Khattab yang terkenal dengan perangainya yang meledak-ledak saat itu, perjanjian damai itu terlalu berat. Ia mencoba mendebat Rasulullah soal tersebut dan menilai umat Islam harus terus maju menuju Makkah apapun resikonya. Rasulullah bergeming.

Saat Rasulullah kemudian meminta para sahabat mencukur rambut mereka dan mengurbankan unta, tak ada yang bergerak. Umm Salamah, salah seorang istri Rasulullah yang paling bijak kemudian mengusulkan suaminya melakukan sendiri kedua hal itu tanpa berbicara.

Rumah-rumah kuno di wilayah Khaybar. (wikimedia commons)
Rumah-rumah kuno di wilayah Khaybar. (wikimedia commons)

Rasulullah, dalam kesunyian kata-katanya, kemudian menggiring unta kurbannya, membersihkannya, dan melakukan penyembelihan sendirian. “Bismillahu Allahu Akbar!” teriaknya kemudian memecah kesunyian. Para sahabat tersadar dan akhirnya mengikuti beliau. Umar kemudian juga sadar akan tentangannya terhadap Rasulullah.

Saat rombongan bergerak pulang menuju Madinah, Umar berulang kali mencoba mendekati Rasulullah yang terus mengabaikannya. Hingga kemudian pada satu kesempatan wajah Rasulullah nampak berseri-seri. Beliau mengatakan, telah mendapatkan wahyu yang sangat ia senangi.

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata,” bunyi wahyu yang nantinya menempati ayat pertama Surah Alfath tersebut.

Selepas perjanjian tersebut, Rasulullah kemudian bergerak bersama pasukan berkekuatan sekita 1.600 orang menuju Khaybar. Wilayah tersebut adalah lokasi tinggal suku Yahudi dan tempat pelarian Bani Nadhir yang diusir dari Madinah beberapa tahun sebelumnya.

Selepas pengusiran dari Madinah, suku-suku Yahudi di Hijaz memang terus mematangkan cara untuk membalas umat Islam. Selain saling bersekutu, mereka juga merayu sejumlah suku badui untuk berperang melawan Islam. Ancaman tersebut, tak bisa dibiarkan oleh Rasulullah.

Khaybar terletak sekitar 150 kilometer di utara Madinah. Dari pusat kota tersebut, sekitar enam kilometer lagi ke arah utara, ada sebuah kota tua yang dikelilingi hijau kebun kurma. Kota tua tersebut sudah tak ditinggali lagi. Rumah-rumahnya, yang terbuat dari bata dan tanah liat masih berdiri meski lebih mirip reruntuhan. Sebagian atap dari pelepah kurmanya masih tersisa.

Di perkampungan kuno tersebut, ada sebuah bukit dengan bebatuan yang besar yang dikelilingi pagar kawat . Di atas bebatuan besar tersebut disusun lagi batu-batu yang lebih kecil sebagai pondasi benteng seluas lapangan bola dari bata dan tanah liat di atasnya. Alqamus, nama benteng tersebut.

Penulis sirah Alwaqidi menuturkan, meski kalah dalam jumlah, dengan sergapan tiba-tiba pasukan Muslim berhasil mendorong pasukan Yahudi Khaybar yang berkekuatan sekitar 10.000 orang untuk berlindung di pertahanan terakhir mereka di Benteng Alqamus.

Setelah pengepungan selama dua pekan, pasukan Yahudi akhirnya menyerah. Rasulullah kemudian mengampuni mereka dan membiarkan mereka menjalankan agamanya dengan syarat membayar upeti ke Madinah. Terlebih, kaum Yahudi di Khaybar tersebut memang ternama dengan kekayaan mereka.

Di antara para perempuan di Khaybar tersebut ada Safiyyah bint Huyay. Seorang perempuan berusia 17 janda Kinanah al-Rabi, pemimpin Yahudi di Khaybar yang terbunuh selepas pengepungan.

Safiyyah adalah anggota Bani Nadhir yang ikut mengungsi ke Khaybar selepas diusir dari Madinah. Perempuan itu disebut sudah condong ke Islam sejak mendengar kabar soal kerasulan Muhammad. Ketika dibawa kepada Rasulullah, Safiyyah diberi pilihan tetap sebagai Yahudi dan kembali ke sukunya atau menikahi Rasulullah. Safiyyah kemudian memilih yang belakangan seturut mimpi yang ia peroleh sebelumnya, masuk Islam, dan akhirnya jadi satu di antara ummul mukminin. []

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Tentang sejarah Tanah Air, dunia, dan peradaban Islam.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

Kategori

× Image