Menengok Badr, Lokasi Petempuran Perdana Rasulullah
Assalamualaikum, pembaca yang budiman. Bulan Maulid kembali tiba, terkait hal itu, kami punya ikhtiar meyampaikan secara berseri riwayat mulia Baginda Rasulullah (semoga kedamaian selalu untuknya). Selamat membaca!
Menengok tempatnya di panggung sejarah dunia, ada senyap dan ketenangan yang tak biasa di Badar, sebuah desa sekitar 180 kilometer ke arah barat daya Madinah. Mendekati lokasi itu, gurun-gurun pasir yang menjulang menyambut pengunjung. Murni tak dinodai bebatuan maupun tetumbuhan.
Musim haji belum lama lewat saat saya tiba di lokasi itu, sementara musim umrah baru saja dimulai. Tapi jarang sekali nampak kendaraan roda empat. Ketika saya sampai di Badr, matahari sudah tak sedemikian menyengat, waktu shalat Ashar baru saja masuk, begitupun penduduk tak banyak keluar rumah seperti biasanya di Saudi saat matahari mulai turun.
Secara umum, desa tersebut seperti membawa nuansa dari sepetak lapang di tengahnya. Sebuah pemakaman yang merupakan jantung desa tersebut. Ia berdetak dengan senyap, dan demikianlah juga desa tersebut.
Sekira lima ratus meter persegi, pemakaman tersebut dipagari tembok setinggi nyaris tiga meter. Berdiri tanpa tumpuan di luarnya, orang-orang tak bisa menengok ke dalam. Beruntung, lokasi pemakaman itu di semacam lembah. Di sebelah barat pemakaman ada bukit bebatuan kecil. Memanjat sedikit ke atasnya, nampaklah isi kompleks pemakaman yang selalu tertutup untuk umum itu.
Saya bertemu Quraish Abdullah, seorang pemuda dari Sudan yang bekerja di Damam, Arab Saudi, berkunjung itu hari. Ia mengakali tingginya tembok pembatas kuburan dengan menyusun bebatuan di bawah bagian luar tembok untuk dipanjat agar bisa menengok ke dalam.
Di dalam kompleks pemakaman, tak ada marka untuk menandai signifikansi masing-masing tempat. Ia hanya hamparan bebatuan dengan sekutip pepohonan meranggas. Di bagian barat dan utara, serta dekat pintu masuk sebelah timur, ada petak-petak kuburan dengan nisan-nisan dari bebatuan. Itu saja.
Pengunjung hanya paham pentingnya lokasi itu dari sebuah tugu kecil dengan ornamen serupa gong yang membelah jalan utama di bagian timur lokasi pemakaman itu. Ada empat belas nama di situ.
Tak jauh di sebelah selatan kompleks pemakaman itu ada mushala. Hanya dua shaf saat saya mengikuti shalat Ashar berjamaah. Imamnya, Adnan Sharif, sudah tak muda lagi. Selepas shalat ia dengan menggerutu menasehati anak-anak kampung yang bermain-main di luar mushala alih-alih belajar membaca Alquran.
Begitu saya hampiri untuk bertanya soal sejarah desanya, baru kemarahannya sedikit mereda. “Iya, di kuburan itu pertempurannya,” tuturnya penuh semangat.
Tangannya menunjuk-nunjuk ke arah utara tempat pasukan Muslim dari Madinah datang, ke arah timur tempat karavan dagang dari Makkah melintas dengan bawaan harta benda dan jualan berlaksa-laksa dari Syam, dan ke arah selatan di mana pasukan dari Makkah bergegas menghalau pasukan Muslim. Kombinasi gerakan yang akan bersirobok di Badar dalam teriakan-teriakan perang, dalam salah satu pertempuran yang paling menentukan dalam sejarah Islam.
Pada tahun kedua setelah Rasulullah berhijrah mengasingkan diri dari kekejaman penduduk kafir Makkah ke Madinah, seperti diriwayatkan Ibn Ishaq, gesekan-gesekan kecil mulai terjadi antara Muslimin di Madinah dan karavan-karavan dari Makkah. Saling cegat rombongan silih berganti terjadi. Terlebih, saat itu telah turun ayat Alquran yang membolehkan berperang untuk membela diri.
Kemudian, pada awal 624 Masehi, kaum Muslim di Madinah mendapat kabar bahwa Abu Sufyan yang saat itu merupakan pentolan Quraysh Makkah, tengah memimpin rombongan dagang besar yang membawa pasokan senjata untuk Makkah selain barang-barang dagangan. Rasulullah kemudian memutuskan mencegat karavan tersebut membawa sekitar 313 Muhajirin dan Anshar dari Madinah.
Pihak Makkah yang mendengar rencana tersebut kemudian menyiapkan seribu orang guna mencegat pasukan Madinah sebelum mencapai karavan. Singkat cerita, pasukan Madinah dan Makkah tiba di wilayah Badar pada pertengahan Maret 624.
Pasukan Qurayshi membangun barak di lembah di Badar, sementara pasukan Muslimim berdiam di sebuah bukit di bagian utara. Di bukit tempat Muslimin berdiam itu, dulu didirikan semacam tempat perlindungan bagi Rasulullah dari pelepah-pelepah kurma. Saat ini, di lokasi itu berdiri Masjid Al-Arish alias Masjid Pondok Kurma.
Ia adalah masjid sewarna pasir yang megah dengan dua menara kembar. Di bangun mula-mula pada masa kekuasaan Turki Utsmani di kawasan tersebut, ia masih tegak berdiri. Bagian dalam masjid tersebut, tak seperti luarnya, lebih banyak dihiasi ornamen yang dominan berwarna kebiruan.
Muhammad Kabir, seorang penjaga masjid tersebut menuturkan serupa dengan berbagai riwayat klasik, bahwa di lokasi masjid itulah Rasulullah berdoa meminta kejayaan pasukan Muslim. Jika pasukan Muslimin kalah dalam pertempuran itu, kata Rasulullah dalam doanya, maka lenyap sudahlah agama Allah dari tanah Arab.
Pagi hari menjelang pertempuran, selepas melaksanakan shalat, Rasulullah membariskan pasukan Muslim di lokasi tersebut. Bagi warga Madinah yang lebih terbiasa bertani dan sesekali terlibat perang-perang kecil, bayangan soal pertempuran yang menjelang di lembah di bawahnya bukan hal yang mudah. Keraguan bahkan terpancar juga dari polah Abu Bakar, sahabat terpercaya Rasulullah yang sudah mendampinginya sejak mula penyebaran agama Islam di Makkah.
Melihat itu, Rasulullah berkata kepada Abu Bakar yang kemudian direkam dalam Shahih Bukhari. “Tengok di sana,” kata Rasulullah menunjuk ke barisan pasukan Muslimim. “Itu Jibril sedang mengelus kepala kudanya, lengkap dengan senjata untuk pertempuran”. Seketika keberanian Abu Bakar dan pasukan Muslimim membuncah.
Alquran kemudian mengkonfirmasikan bahwa tak hanya mereka-mereka dengan darah dan daging yang bertempur itu hari. Kesaksian sejumlah petempur, banyak prajurit mengenakan surban berwarna putih dipimpin seseorang bersurban kuning yang kaki-kaki kuda perang mereka tak menapak tanah hari itu.
Sunan Ibn Majjah dan Shahih Bukhari juga mencatat hadits tentang kesertaan para malaikat saat itu. “Bagaimana pendapatmu soal mereka yang ikut berperang di Badar,” tanya Malaikat Jibril kepada Rasulullah. “Mereka adalah yang terbaik di antara kami,” jawab Rasulullah. “Demikianlah juga para malaikat yang bertempur di Badar,” kata Jibril lagi dalam hadits tersebut.
Dari pelataran Masjid Al-Arish, menengok ke arah lembah dan pemakaman, saya teringat penuturan Martin Lings soal kejadian di lokasi tersebut. Bendera putih, bendera utama pasukan Muslim, dikibarkan Mush'ab bin Umayr, seorang keturunan pemegang bendera perang Quraish. Dua bendera hitam dikibarkan Ali bin Abi Thalib sebagai perwakilan Muhajirin dan Sa'ad bin Mu'adz sebagai perwakilan kaum Anshar.
Pertempuran dimulai dengan duel yang dimenangkan Hamzah bin Abdul Muthalib dan Ali bin Abu Thalib serta mengakibatkan syahidnya Ubaydah bin Alharits. Dari situ perang memuncak. Hamzah dengan baju perang berhiaskan bulu unta serta Ali dengan sorban hijaunya bertempur dengan gagah. Bilal bin Rabah, budak yang telah dibebaskan mengejar mereka yang melakukan penganiayaan terhadap umat Islam di Makkah. Malaikat-malaikat merangsek pasukan Makkah menimbulkan ketakutan dan membawa kematian.
Terngiang denting pedang-pedang beradu dan teriakan-teriakan perang. Derap-derap kuda tempur dan erangan kesakitan mereka yang terluka dalam kejamnya perang.
Pada akhirnya, yang mulanya disangka mustahil terjadilah. Sekitar 300-an umat Islam yang berjuang menjemput kematian berjaya sementara seribuan di pasukan sebelah kocar-kacir.
Sebanyak 100 prajurit Qurayshi dibunuh, dan 14 Muslim gugur jadi syahid. Mereka-mereka yang berpulang dari kaum Muslimin langsung dikubur di tempat mereka gugur, di kompleks pemakaman di Badar yang tertutup untuk umum.
Dari titik itu, kejayaan Islam seperti tak terbendung. Hanya lima tahun berselang, pasukan Muslim akhirnya berhasil merebut Makkah tanpa pertumpahan darah. Darul Islam kemudian menyebar sangat lekas mencapai ujung-ujung dunia yang dikenali saat itu. Kota-kota baru ditaklukkan dan bersemi jadi jantung-jantung peradaban.
Sementara Badar, tempat kejayaan tersebut bemula, tetap jadi desa sederhana hingga sekarang. Tak ada gedung-gedung menjulang atau pusat perbelanjaan, tak ada masjid-masjid yang sebegitu megah. Sendirian di tengah padang pasir dan gunung-gunung bebatuan. Menjaga kenangan soal para pejuang Badar, yang tercipta dari tanah maupun cahaya. []