Sejarah

Misteri Rumah di Pegangsaan Timur No 56

Bukan rahasia, rumah dengan pekarangan luas di Jalan Pegangsaan Timur (kini Jalan Proklamasi) No 56, Jakarta Pusat, itu adalah salah satu bangunan paling penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Di lokasi itu, teks proklamasi dibacakan Ir Sukarno pada 17 Agustus 1945 didampingi Mohammad Hatta.

Belakangan rumah itu disebut sebenarnya merupakan wakaf dari seorang pengusaha keturunan Hadramaut bernama Faradj Martak. Namun sebelum mengkonfirmasi kebenaran tersebut, ada satu misteri juga yang tak kalah menarik, yakni mengapa rumah yang sebegitu bersejarah itu dihancurkan oleh Presiden Sukarno.

Wartawan Republika sepanjang zaman Alwi Shahab yang wafat pada 2020 lalu menuturkan bahwa gedung tersebut merupakan bekas kediaman warga Belanda sebagai landhuis atau semacam country house yang pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 banyak dibangun di Batavia. Rumah itu memiliki 12 kamar, sebuah garasi, serambi belakang, ruang depan, tengah, dan ruang makan.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Suasana di rumah di Jalan Pegangsaan Timur (kini Jalan Proklamasi) No 56. (Twitter)
Suasana di rumah di Jalan Pegangsaan Timur (kini Jalan Proklamasi) No 56. (Twitter)

Ketika penjajah Jepang tiba pada Maret 1942, rumah itu salah satu yang mereka sita karena seluruh warga Belanda kala itu ditahan atau dipulangkan ke Eropa. Sementara Bung Karno diketahui mulai tinggal di rumah yang memiliki pekarangan luas dan merupakan kawasan elit di Jakarta tersebut sejak masa pendudukan Jepang tersebut, tepatnya pada 1942. Dari putra-putrinya hanya putra sulungnya, Guntur, yang dilahirkan di tempat ini.

Di tempat inilah, Presiden Soekarno melantik kabinet pertama RI, pada 4 September 1945. Kabinet presidensil ini dibentuk hanya dua hari (19 Agustus 1945) setelah proklamasi.

Ketika Januari 1946 saat kota Jakarta dikepung NICA dan muncul perlawanan bersenjata dari rakyat, Bung Karno, Ibu Fatmawati, dan Guntur yang masih bayi hijrah ke Yogyakarta dari rumah itu. Bung Karno dan rombongan berangkat ke Yogyakarta naik kereta api di malam hari yang dipadamkan lampunya untuk menghindari kepungan NICA yang ingin berkuasa kembali di negeri ini. Stasiun yang digunakan menaiki kereta api terletak persis di belakang rumah tersebut.

Kemudian di tempat rumah itu juga, pada Oktober 1946, diadakan perundingan Linggarjati antara Indonesia-Belanda.

Suasana pembacaan proklamasi. (istimewa)
Suasana pembacaan proklamasi. (istimewa)

Pada 1946-1948 setelah Bung Karno dan Bung Hatta hijrah ke Yogyakarta, rumah ini jadi tempat kediaman Perdana Menteri Sutan Sjahrir hingga 1948. Ketika hubungan dwitunggal Bung Karno dan Bung Hatta memburuk, November 1957, diselenggarakan Musyawarah Kerukunan Nasional, yang oleh pers kemudian dilecehkan jadi Musyawarah Keruk Nasi. Pertemuan itu gagal yang berakibat Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden.

Kemudian pada 1961 datanglah nasib akhir rumah tersebut. Kala itu, Presiden Sukarno tiba-tiba memerintahkan pembongkaran gedung tersebut. Mengapa Presiden Sukarno membongkar gedung yang amat bersejarah bagi bangsa Indonesia itu?

Menurut Abah Alwi, sapaan Alwi Shahab, hal ini pernah ditanyakan oleh salah seorang penulis biografi Bung Karno yang berjudul Putera Fajar, yakni Solichin Salam. Jawab Bung Karno, "Saya lebih mengutamakan tempatnya dan bukan gedungnya. Sebab, saya taksir gedung Pegangsaan Timur itu paling lama hanya tahan 100 tahun, mungkin tidak sampai. Itu sebabnya saya suruh bongkar.''

Menurut keterangan dari Yayasan Bung Karno, presiden pertama RI itu ingin memindahkan semangat proklamasi kemerdekaan di Monas. Peringatan hari ulang tahun kemerdekaan RI agar selanjutnya diadakan di Monas yang monumental itu. Bukan di gedung proklamasi dan juga bukan di Istana. Tugu Monas, menurut Bung Karno, dirancang untuk tahan ribuan tahun seperti juga piramida di Mesir.

Rumah itu pada 1960 semasa gubernur Henk Ngantung telah dijadikan Gedung Pola untuk menyiapkan program pembangunan. Semacam Bappenas sekarang ini.

Dalam bukunya Kenang-kenangan sebagai Kepala Daerah, Henk Ngantung menulis, "Ide pembangunan Gedung Pola memang baik. Tapi, dengan membongkar dan mengorbankan Gedung Proklamasi Pegangsaan Timur 56 saya rasa sayang dan aneh." Henk memaparkan kisahnya mendatangi Bung Karno ke istana untuk meminta agar gedung bersejarah itu tidak dibongkar. Ia mengajukan pertanyaan, "Apakah keputusan Bung Karno tidak bisa ditinjau lagi?" Sebelumnya tak sedikit juga yang menanyakan hal itu pada Bung Karno. Bung Karno menjawab singkat, "Apakah kamu juga termasuk mereka yang ingin memamerkan celana kolorku (di dalam rumah itu)."

Tak ada sedikitpun rasa ragu dan sesal dari sikap dan kata-kata Bung Karno. Agar pembicaraan tidak terputus begitu saja Henk kembali membangun suasana. "Apakah saya boleh buat duplikat dari gedung Pegangsaan Timur 56 sebelum dibongkar?" tanya Henk. Bung Karno menyatakan setuju. "Baru sekarang, sementara saya mengenangkan kembali pertemuan dengan Bung Karno tentang pembuatan duplikat bisa juga diartikan, membangun kembali Gedung Pegangsaan Timur 56 itu dalam keadaan maupun ukuran yang sama, kecuali di atas tanah dan tempat yang sama karena akan dibangun Gedung Pola."

Willard A Hanna, seorang Amerika Serikat dalam bukunya 'Hikayat Jakarta' menyimpulkan bahwa pembongkaran tempat proklamasi ini karena Bung Karno tidak suka diingatkan kembali pada keadaan ketika menjelang proklamasi dia diculik para pemuda radikal. Karena itu gedung ini diratakan dengan tanah.

Bung Karno bersama Bung Hatta pada hari Kamis 16 Agustus 1945 sehabis makan sahur diculik sekelompok pemuda radikal pimpinan Sukarni ke Rengasdengklok, dekat Kerawang. Setelah tengah malam sebelumnya oleh para pemuda yang dipimpin Sukarni, ia dipaksa memproklamirkan kemerdekaan 16 Agustus 1945 karena Jepang telah menyerah pada Sekutu. Ikut dalam rombongan ke Rengasdengklok, Ibu Fatmawati yang menggendong Guntur yang masih berusia sembilan setengah bulan.

Mantan Gubernur DKI, Ali Sadikin, sejak lama ikut mendorong dibangunnya kembali rumah Bung Karno itu. Menurut Bang Ali, ketika menjadi gubernur ia sudah merencanakan hal ini. "Bahkan saya sudah siapkan dananya. Tapi, tidak disetujui Pak Harto yang waktu itu akan membangun Patung Proklamator."

Dulu di bagian depan rumah Bung Karno ini terdapat Tugu Proklamasi yang diresmikan pada 17 Agustus 1946 oleh Gubernur Suwiryo saat Bung Karno masih di Yogyakarta. Tugu Proklamasi yang tingginya tidak lebih dari dua meter ini pernah menjadi lambang Kota Jakarta.

Tak pernah sekalipun dari sekian banyak tulisan Abah Alwi soal gedung ini, tersurat soal kepemilikan Faradj Martak atas bangunan tersebut yang kemudian diwakafkan pada Sukarno. Meski jika kemudian ditemukan bukti-bukti yang menguatkan, bisa jadi demikianlah adanya.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Tentang sejarah Tanah Air, dunia, dan peradaban Islam.