Krisis 98 dan Harga Minyak Goreng
Pada pertengahan 2022, Indonesia kembali dihadapkan pada potensi krisis ekonomi yang dipicu sejumlah kondisi global. Harga-harga bahan pokok dan pangan kian mahal, memicu inflasi tertinggi sejak beberapa tahun belakangan.Sepanjang sejarah, Masyarakat Indonesia telah melalui sejumlah krisis ekonomi. Setiap terjadinya, selalu memicu perubahan besar yang menentukan arah perjalanan bangsa. Berikut diantaranya.
Pada mula pertengahan 1997, perekonomian Orde Baru sedianya masih pada masa gemilangnya. Inflasi terbilang rendah pada Juni 1997, neraca perdagangan surplus senilai 900 juta dolar AS, cadangan kurs dolar AS masih ada senilai 20 miliar dolar AS.
Namun ketika baht, mata uang Thailand terpukul, terjadi kepanikan di Tanah Air. Pada Agustus 1997, rupiah mendapat serangan bertubi-tubi dan terus merosot nilainya. IMF menggelontorkan dana penyelamatan senilai 23 miliar dolar AS, namun tak juga berhasil menahan kejatuhan rupiah.

Empat bulan setetelah krisis finansial tersebut, dampaknya mulai merangsek ke pasar-pasar. Harga bahan pokok mulai melonjak tak terkendali. Inflasi ditambah melemahnya rupiah membuat uang di tangan masyarakat seperti tak ada harganya lagi.
Pada Januari 1998, diberitakan Republika saat itu, giliran minyak goreng hilang di pasaran. Sementara harga minyak goreng curah melonjak dari Rp 1.800 menjadi Rp 2.500 kemudian Rp 4.500 per kilogram.
Pemerintah menyalahkan spekulan dan menerjunkan aparat guna melakukan penertiban, namun tak ada hasilnya. Sejumlah aparat malah kedapatan membajak truk berisi minyak goreng untuk operasi pasar di Palembang. Antrean operasi pasar murah yang digelar pemerintah mengular di mana-mana, namun harga belum juga terkendali.
Seperti pada 2022, pemerintah menekankan bahwa kelangkaan minyak goreng sebab distribusi tak lancar. Pangdam V/Brawijaya Mayjen TNI Djadja Suparman kala itu terekam menyatakan bahwa sebagian distributor terpaksa menghentikan pengiriman barang lantaran ketakutan terhadap aksi penjarahan dan pencurian yang dilakukan kelompok masyarakat.
Di tengah kesulitan tersebut, terungkap juga praktik penimbunan di berbagai daerah. Republika melaporkan penimbunan terjadi di Bali, Surabaya, Purworejo, Yogyakarta, dan daerah-daerah lainnya. MUI sampai-sampai harus mengeluarkan fatwa jihad melawan penimbun saat itu.
Seperti pada 2022 juga, BUMN mencoba menangani kelangkaan dan kemahalan minyak goreng. Pada Februari 1998, melalui Kantor Pemasaran Bersama (KPB), BUMN yang beranggotakan seluruh PT Perkebunan Nusantara (PT PN) beserta anak perusahaannya, pemerintah akan menjual minyak goreng produksi PT PN dengan harga maksimal Rp 3.300 per liter.
Penundaan ekspor minyak sawit mentah (CPO) seperti yang diperintahkan kemudian dibatalkan Presiden Joko Widodo juga dilakukan. Pelarangan kala itu diberlakukan bagi semua produsen dan eksportir nasional tertanggal Februari 1998.
Mentan Sjarifudin Baharsjah dalam pertemuan dengan para direksi PT PN Sawit juga mengatakan semua olein produksi BUMN Deptan diprioritaskan untuk kebutuhan dalam negeri. Namun belum juga harga minyak goreng turun signifikan, regulasi pelarangan ekspor CPO tersebut dicabut lagi pada April 1998. Pemerintah mengganti larangan dengan pajak ekspor sebesar 40 persen.
Jika saat ini Kejaksaan Agung mengungkapkan kongkalikong pengusaha dengan pejabat Kemendag guna mengakali pelarangan ekspor, pada 1998 banyak juga cukong kedapatan tetap berupaya mengekspor CPO.
Di Sumatra Utara misalnya, tiga perusahaan kedapatan memalsukan minyak sawit mentah menjadi vegetable ghee (VG) agar terhindar dari Pajak Ekspor (PE). Ketiga perusahaan berhasil menyelundupkan 6.963 ton komoditi yang sebenarnya adalah CPO dan merugikan negara senilai Rp 16,4 miliar dalam kurs saat itu.
Republika mengungkapkan, berbagai penyelundupan utamanya ditujukan ke Singapura dan Malaysia dari Riau dan Sumatra Utara. Penyelundupan itu dilakukan baik oleh produsen besar maupun produsen kecil-kecilan. Satu kapal tongkang per hari bisa mengangkut sepuluh drum, atau mencapai 1,2 ton CPO selundupan.
Pada April 1998, harga minyak goreng yang sempat ditahan pada harga Rp 3.000 kembali melonjak menjadi Rp 3.600. Lonjakan harga juga terjadi pada kebutuhan pokok lainnya.
Pada pertengahan Mei 1998, harga minyak goreng curah kian menjadi-jadi. Pada 12 Mei 1998, merujuk catatan Republika, harga minyak goreng curah mencapai Rp 4.500 hingga Rp 6.000 per kilogram di pasar-pasar.
Saat itulah kemudian terjadi kerusuhan di berbagai daerah dan tuntutan pelengseran Presiden Suharto kian kendang. Pada 18 Mei 1998, saat kerusuhan belum benar-benar padam, harga minyak goreng curah sudah mencapai Rp 8.000 hingga Rp 10.000 per kilogram. Minyak goreng kemasan lima liter, melonjak dari Rp 21.500 menjadi Rp 34.500.
Tiga hari kemudian, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya. Kenaikan harga-harga saat itu memang berbarengan dengan kejenuhan politik atas 32 tahun berkuasanya Orde Baru. Sementara kondisi cuaca saat itu memangkas produksi beras Tanah Air dan menimbulkan kelangkaan.
Sekitar satu pekan setelah Soeharto lengser digantikan sementara oleh Wakil Presiden BJ Habibie, harga mulai berangsur turun. Pada Juni 1998, harga minyak goreng curah kembali mencapai Rp 4.500.
Pada 23 Juni 1998, pemerintah mengambil langkah tegas terhadap para penyalur dan pengecer minyak goreng yang disiyalir melakukan penimbunan minyak goreng. Pasalnya, menurut data dari 28 Mei sampai 16 Juni 1998, minyak goreng yang disalurkan di Jakarta berjumlah 25.670 ton, sedangkan kebutuhan diperkirakan 600 ton/hari (12.000 ton selama 20 hari). Artinya, menurut Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rahardi Ramelan, sebagian besar minyak goreng itu "menghilang". Seturut menguatnya rupiah, pada Desember 1998 harga minyak goreng curah kembali sempat menyentuh Rp 3.000 per kilogram.
