Zaman Meleset dan Kemerdekaan

Sejarah  

Pada pertengahan 2022, Indonesia kembali dihadapkan pada potensi krisis ekonomi yang dipicu sejumlah kondisi global. Harga-harga bahan pokok dan pangan kian mahal, memicu inflasi tertinggi sejak beberapa tahun belakangan.Sepanjang sejarah, Masyarakat Indoensia telah melalui sejumlah krisis ekonomi. Setiap terjadinya, selalu memicu perubahan besar yang menentukan arah perjalanan bangsa. Berikut diantaranya.

Bumiputra yang hidup di Batavia pada ujung dekade 1920-an dan awal 1930-an punya panggilan untuk masa-masa tersebut: Zaman Meleset. Menurut wartawan senior Republika, Alwi Shahab, ia dipelintir dari kata Belanda malaise, terkait kesengsaraan hidup pada saat itu imbas Depresi Akbar di Amerika Serikat pada 1929.

Warga mengantre di depan Kantor Pegadaian di Surabaya. (Tropenmuseum, Belanda)
Warga mengantre di depan Kantor Pegadaian di Surabaya. (Tropenmuseum, Belanda)

Abah Alwi berkisah, di Sumatra bagian timur, ribuan kuli perkebunan menganggur. Pegawai negeri banyak yang dipecat dan hanya menerima separuh gaji terakhir. “Begitu sulitnya kehidupan sehingga mencari uang sebenggol atau segobang (dua setengah sen) saja sangat sulit.” Yang menjengkelkan, kondisi hidup dengan sebenggol sehari itu menjadi bahan ejekan kolonial Belanda terhadap bumiputra, seperti sengaja lupa bahwa keadaan tersebut mereka pula yang bikin.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Sentimen ini dipanas-panasi ketimpangan pendapatan meneer-meneer Belanda dibandingkan pribumi. Wartawan Republika Priyanto Oemar mencontohkan yang terjadi di perkebunan di Deli, Sumatra. Di perkebunan-perkebunan itu, pada 1930-an upah pekerja dari Belanda yang jumlahnya 23 orang melebihi jumlah upah dari 2.800 kuli. Gaji asisten dan administrator kebun itu mencapai 250 gulden hingga lebih dari 1.000 gulden per bulan.

Sewaktu tiba zaman meleset, permintaan atas kopi, karet, tembakau, teh, dari Amerika Serikat merosot. Yang dikenai dampak, apra pekerja kasar itu pulak. Mereka dipotong gajinya, ratusan ribu dipulangkan ke Jawa. Koran Sin Po melansir pada 27 Maret 1933 soal terjadinya kelaparan di Jakarta, khususnya daerah Kebayoran.

Kondisi para pekerja di perkebunan di Deli, Sumatra. (KITLV)
Kondisi para pekerja di perkebunan di Deli, Sumatra. (KITLV)

Pada masa-masa itu, tepatnya pada 1932, seorang pemuda idealis dari Minang yang telah sekian tahun belajar di Belanda dan melihat Eropa yang relatif lebih makmur, pulang ke Tanah Air. Ia agaknya marah betul terhadap kondisi tersebut dan menumpahkannya panjang lebar dalam tulisan berjudul “Kapitalisme dan Krisis Ekonomi” yang terbit dua tahun kemudian. Sikap antagonistisnya terhadap kapitalisme dan kolonialisme terpatri.

Sukarno, seorang pemuda dari Jawa Timur juga gemas dengan kondisi di masa malaise tersebut, terlebih menengok dampaknya pada pribumi. Ia menuliskan nelangsa kaum pribumi itu dalam "Mencapai Indonesia Merdeka" pada 1933 yang disebarluaskan sejumlah koran.

Artinya, krisis masa itu punya peran signifikan menguatkan sentimen prokemerdekaan di kalangan terdidik maupun masyarakat biasa. Menanggung sengsara sedemikian, rakyat makin terbuka matanya soal kejamnya penjajahan dan sistem ekonomi eksploitatif yang diterapkan kolonialisme.

Perjuangan Bung Hatta dan Bung Karno serta rekan-rekan sejawat mereka akhirnya mendapat momentum. Saat kemudian hasil Perang Dunia II memungkinkan proklamasi, rakyat sepenuhnya berdiri di belakang republik, dan dimulailah sebuah negara bernama Indonesia.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Tentang sejarah Tanah Air, dunia, dan peradaban Islam.

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

Kategori

× Image