Sejarah

Kisah Cinta Indonesia dan Film Horor

Peluncuran film horor KKN di Desa Penari (2022) belakangan kembali membuktikan ampuhnya film horor di bioskop-bioskop Tanah Air. Jumlah penontonnya di Indonesia disebut telah mencapai lima juta pemirsa, yang termasuk angka fantastis dalam sejarah perfileman Indonesia.

Nah, pembaca yang budiman, capaian tersebut sedianya tak begitu mengejutkan menengok film horor sudah mengakar sejak lama di Indonesia. Begini sejarahnya.

Film horor perdana yang tampil di layar lebar Tanah Air sedianya tak menampilkan hantu alias memedi dalam negeri. Ia adalah saduran cerita rakyat Tiongkok berjudul Doea Siloeman Oeler Poeti en Item. Dilansir pada 1934, film itu adalah produksi The Teng Chun alias Tahjar Ederis, seorang peranakan Tionghoa kaya. Selepas lima tahun belajar perfileman di Shanghai pada 1930-an, ia membawa ilmunya ke Tanah Air dan mengembangkan usaha sendiri.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Poster lawan film Doea Siloeman Oeler Poeti en Item (1934). 
Poster lawan film Doea Siloeman Oeler Poeti en Item (1934).

Meski menyasar komunitas peranakan, film itu diiklankan dan dimainkan dengan Bahsa Melayu. Walhasil, merujuk catatan De Indische Courant, ia jadi populer juga di kalangan pribumi. Seperti banyak film dari era tersebut, kopian Doea Siloeman Oeler Poeti en Item saat ini hilang.

Kesuksesan film tersebut, dibantu juga ketenaran film melayu Terang Boelan (1937) yang dibikin produser Belanda Albert Balink membuat perfilemen di Hindia Belanda kala itu semarak. Perusahaan The Teng Chun kemudian memproduksi banyak film, salah satunya Tengkorak Hidoep (1941) yang disutradarai Tan Tjoei Hock.

Kali ini, film tersebut benar-benar berlatar Nusantara dengan tokoh utama bernama Darmadji dalam petualangannya di Pulau Mustika untuk mencari saudaranya yang hilang. Salim Said dalam Profil Dunia Film Indonesia menyampaikan bahwa produksi film hitam-putih itu mengambil inspirasi dari salah satu fim horor paling terkemuka saat itu, Bram Stoker's Dracula.

Tengkorak Hidoep (1941). (Wikimedia Common)
Tengkorak Hidoep (1941). (Wikimedia Common)

Revolusi Kemerdekaan dan masa-masa selanjutnya sempat menahan laju perfileman Tanah Air. Baru pada 1971, kembali lahir film horor biinan produser dan sutradara lokal. Judulnya adalah Lisa yang disutradarai M Sharieffudin A.

Kritikus menilai, film Doea Siloeman Oeler Poeti en Item sebelumnya lebih cenderung ke kisah rakyat Tionghoa. Sementara Tengkorak Hidoep lebih kepada genre petualangan. Maka Lisa inilah yang kemudian diyakini jadi film horor sejati pertama di Indonesia. Ia mengisahkan pembunuhan untuk menguasai harta warisan yang memicu munculnya rasa bersalah dan munculnya bayangan yang menghantui.

Lisa menandai era tersendiri film horor Indonesia bersama film Beranak Dalam Kubur (1971) besutan Awaludin dan Ali Shahab. Aktris Suzanna yang berperan dalam film itu kemudian jadi langganan pengisi peran.

Poster Beranak dalam Kubur (1971). (Twitter)
Poster Beranak dalam Kubur (1971). (Twitter)

Secara khusus, film-film pada era sepanjang 1971 hingga 1980 awal ini semacam membentuk cetak biru film horor Indonesia kedepannya. Misalnya soal para dedemit dari legenda lokal (khususnya Jawa), dan kontras antara orang-orang kota yang bersirobok hantu dari desa.

Era ini juga mulai memunculkan tokoh agamawan yang mengusir hantu-hantu jahat. menurut Garin Nugroho dan Dyna Herlina S dalam The Crisis and Paradoks of Indonesian Film (1900-2012), hal ini dipicu panduan Orde Baru soal moralitas kala itu.

Ironisnya, kekangan Orde Baru pada masa-masa ini justru melemah dan memicu munculnya genre film horor yang dibumbui erotisme. Sejak pertengahan 1980-an, muncul Badan Sensor Film melunak dan meloloskan banyak film yang mengarah ke adegan seronok dan eksploitasi perempuan. Dalam film horor, hal ini memuncak dalam film Pembalasan Ratu Laut Selatan (1994) karya Tjut Djalil. Film horor masa ini juga mencerminkan mati surinya perfileman nasional yang kebanyakan cenderung berupaya mencari uang cepat lewat erotisme.

Hingga kemudian datang Reformasi, dan anak-anak muda Indonesia merasa lebih bebas berkarya. Pada 2001, muncul Jelangkung besutan Jose Poernomo dan Rizal Mantovani. Film ini meledak dan berhasil meraup 1,5 juta penonton kala itu. Jelangkung, bersama Petualangan Sherina (2000), Ada Apa Dengan Cinta (2002), Daun di Atas Bantal (1998), kemudian jadi tonggak kebangkitan perfileman nasional.

Jelangkung (2001)
Jelangkung (2001)

Selepas itu, film-film horor di Indonesia lebih cenderung pada amalgam atau perulangan tren-tren sebelumnya. Yang menjual seksualitas masih terus bermunculan seperti Suster Keramas (2009), Pocong Mandi Goyang Pinggul (2011), dan sebagainya.

Sementara yang menjaga kualitas narasi, teror psikologis dan sinematografis juga masih ada seperti Pengabdi Setan (2017) yang merupakan pembuatan ulang filma serupa dengan nama yang sama pada 1982. Film yang disutradarai Joko Anwar ini berhasil meraup 4,2 juta penonton.

Akhirnya, kesuksesan KKN di Desa Penari belakangan menunjukkan bahwa kisah cinta penonton Indonesia dengan film horor belum akan selesai dalam waktu dekat.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

Tentang sejarah Tanah Air, dunia, dan peradaban Islam.