Kisah Penciptaan Semesta dalam Alquran dan Sains
Semua sistem kepercayaan di dunia bisa dibilang memiliki kisah penciptaannya masing-masing. Bangsa Yunani kuno percaya akan keberadaan Khaos alias ketakberaturan sebelum dewa-dewi menciptakan dunia, misalnya. Bangsa Sumeria dan Mesopotamia meyakini keterlibatan makhluk luar angkasa dalam penciptaan manusia. Suku-suku di Mappi, Papua, meyakini keberadaan Saifafu yang membentuk dunia dari pikirannya, dan lain sebagainya.
Nah, bagaimana kisah asal-muasal ini dalam Islam? Walaupun tak disampaikan dalam satu ayat atau surah secara kronologis, sebenarnya Alquran punya konsep yang unik soal penciptaan. Dalam artian, ia bukan sekadar kelanjutan dari mitologi Judeo-Kristiani dalam Taurat dan Injil. Ia juga cerita yang ajaib sebenarnya.
Jika pembaca yang budiman tertarik, begini garis besarnya seturut sejumlah tafsir dan terjemahan.
Pada mulanya
“...Bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya ” (QS. Al Anbiya: 30).
Konsep pertama ini jelas. Penciptaan alam semesta dimulai dari pemisahan zat tunggal yang nantinya jadi alam semesta. Sejumlah terjemahan Inggris menggunakan “unweaving” dan “unravel” untuk kata “memisahkan”. Artinya, ia seperti benang yang diurai dari satu kain.
Ilmu astronomi modern belakangan mengonfirmasi proses ini dengan teori Ledakan Besar alias Big Bang. Bahwa alam semesta bermula dari ledakan satu noktah kecil dengan massa yang luar biasa besar sekitar 15 miliar tahun lalu.
Asap
“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". Keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati". (QS. Al Fushilat: 11).
Alquran menyampaikan setelah mula penciptaan ada kalanya langit masih berupa asap yang kemudian dikumpulkan oleh Allah jadi benda-benda langit seperti sekarang.
Astronomi modern meyakini pada bentuk awal alam semesta, sekitar 100 ribu tahun setelah ledakan pertama, proton dan neutron yang tercipta kemudian membentuk atom-atom yang kemudian membentuk semacam awan gas. Awan gas tersebut kemudian terkonsolidasi menjadi bintang-bintang serta galaksi-galaksi dan kemudian planet-planet serta benda-benda langit lainnya.
Garis edar
Setelah bumi dan benda-benda langit tercipta, Allah kemudian menetapkan gugusan bintang dan orbit masing-masing benda langit “Maha Suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang dan Dia menjadikan juga padanya matahari dan bulan yang bercahaya.” (QS. Al Furqan: 61).
“Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya,” (Al Anbiya, 33). "Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang. Dan sesungguhnya itu benar-benar sumpah yang besar sekiranya kamu mengetahui," (QS. Al Waqiah: 75-76).
Astronomi modern juga menyimpulkan bahwa benda-benda langit sedianya tak ada yang ajeg. Matahari yang sempat dikira diam, ternyata memiliki orbit mengelilingi pusat Bima Sakti. Matahari bergerak di orbitnya dengan kecepatan sekira 250 kilometer per detik dan membutuhkan waktu sekitar 225 juta sampai 250 juta tahun untuk menyelesaikan satu putaran. Demikian juga Bima Sakti yang mengorbit di klaster galaksinya.
Kehidupan
Selepas pemisahan dan pembentukan itu, kembali lagi ke Al Anbiya ayat 30, “...Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup ”. Makhluk-makhluk hidup tersebut kemudian disebarkan ke langit dan bumi. “Di antara (ayat-ayat) tanda-tanda-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan makhluk-makhluk yang melata Yang Dia sebarkan pada keduanya. Dan Dia Maha Kuasa mengumpulkan semuanya apabila dikehendaki-Nya. (QS. Asy Syuura: 29).
Prof Quraish Shihab menjelaskan sekali waktu, makhluk hidup tersebut yang dalam Alquran disebut “dabbah”, bukan jin dan malaikat yang telah diciptakan sebelumnya. Ia spesifik mengacu pada makhluk organik dari jasad renik sampai binatang-binatang megafauna. Sejumlah tafsir terdahulu bahkan menyebutkan binatang yang “berbicara” maupun tak berbicara.
Pada 2014 lalu, para peneliti dari Jet Propulsion Laboratory milik NASA di Pasadena, Kalifornia menyimpulkan bahwa cikal-bakal berbagai makhluk hidup di Bumi sedianya memang terbentuk di dasar laut melalui proses energi elektrik. Sementara teori sebelumnya memperkirakan bahwa awal kehidupan di Bumi bermula dari semacam kolam kimiawi.
Banyak dunia
Yang perlu dicatat, konsep penciptaan dalam Alquran juga secara harfiah mengisyaratkan langit dan bumi dalam bentuk jamak. “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu” (QS. At Talaq: 12). Angka tujuh disepakati para ahli tafsir melambangkan jumlah yang banyak.
Hal ini juga sebenarnya sedari mula disebutkan dalam Alquran melalui ayat dua surat pembuka. “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin” yang arti sebenarnya lebih mendekati “Segala puji bagi Tuhan semua dunia-dunia” alih-alih seperti dalam terjemahan Indonesia “Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”
Sejak teori fisika kuantum ditemukan pada 1970-an, teori “dunia yang banyak” ini alias “multiverse” kian mendapat tempat di kalangan ilmuwan. Teleskop Kepler milik Amerika Serikat juga telah mengkonfirmasi keberadaan ribuan planet di luar Tata Surya, sebagian diantaranya disebut memiliki kondisi mirip Bumi yang mungkin bisa menopang kehidupan.
Waktu penciptaan
Dalam Alquran juga dinyatakan bahwa proses penciptaan tersebut berlangsung dalam enam hari. Meski begitu, sejumlah ayat lain dalam Alquran menunjukkan bahwa lamanya hari tersebut tak sama dengan sehari semalam di Bumi. “Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun”.
(Alma’arij, 4); dan “...Sesungguhnya sehari disisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. Al Hajj: 47).
Perluasan
Yang juga berbeda dengan Perjanjian Lama, Allah tak beristirahat selepas penciptaan alam semesta. Ia hanya disebutkan bertahta di ‘Arsy yang kebesarannya melampaui langit dan bumi. “Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian dia bersemayam di atas 'Arsy ” (QS. Al Furqan: 59).
Selain itu, penciptaan alam semesta juga tak berhenti selepas keseluruhan langit dan bumi tercipta. “Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya.” (QS. Adz Dzariyat: 47).
Sudah jamak diyakini para ilmuwan, terciptanya alam semesta memang bukan proses yang sudah berhenti. Galaksi dan bintang-bintang masih terus bergerak “meluas”. Sementara Bumi juga sudah beberapa kali mengalami pembaruan melalui “kiamat-kiamat” yang merujuk para ilmuwan sedikitnya lima kali telah terjadi.
“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” (QS. Ibrahim: 48)
Dalam perkembangannya, filosof dan ulama Muslim sepanjang zaman tak merasa cukup dengan kisah itu. Ibn Sina membayangkan proses penciptaan tersebut terjadi secara emanasi alias memancar dari Tuhan sebagai sumber utama, membayangkan bahwa meski alam semesta abadi secara waktu namun ia azali secara materi. Ada juga Al Ghazali yang mengesampingkan sebab akibat dalam penciptaan tersebut, hingga Ibn Taymiyyah yang meyakini penciptaan sebagai proses kreatif yang terus menerus. Ada Ibn Arabi yang konsepnya terlalu rumit untuk dijelaskan dalam satu kalimat.
Bagaimanapun, membayangkan dan mengagumi proses penciptaan tersebut semata memenuhi perintah Allah dalam Alquran yang berulang kali memerintahkan umat manusia “merenungkan penciptaan langit dan bumi”. Wallahu a’lam bishawab...