Kisah Para Sultanah Aceh (4)
Pada 1688 Kesultanan Aceh sudah 48 tahun dipimpin tiga sultanah secara berturut-turut. Saat Sultanah Inayat Syah mangkat tahun itu, suara-suara yang menginginkan kembali berkuasanya pemimpin lelaki kian menguat.
Para tokoh dan ulama di Banda Aceh, begitu Inayat mangkat, telah secara langsung menunjuk Putri Punti, seorang gadis muda hasil didikan istana yang kemudian digelari Sri Ratu Kamalatuddin Inayat Syah.
Masa pemerintahan Sultanah Kamalat penuh dengan intrik dan rongrongan kekuasaan. Pieter Johannes Veth, seorang pengelana Belanda pada masa itu mencatat, ada kelompok di kerajaan yang menolak kepemimpinan seorang ratu.
Kelompok ini mendapat sokongan dari gerakan-gerakan kaum Wujudiyah di daerah-daerah pegunungan. Terlebih, saat itu, satu utusan dari Makkah yang dibiarkan tinggal di Aceh oleh Sultanah Inayat, Syarif Hasyim, juga disebut memiliki ambisi mengambil alih kekuasaan dan mendapat dukungan sejumlah tokoh.
Ambisi itu memunculkan konspirasi yang berupa sebuah surat yang disebut berasal dari Makkah. Isinya, menyatakan bahwa kepemimpinan seorang perempuan melanggar syariat Islam. Hingga saat ini, menurut Veth, surat tersebut tak terbukti otentitisasnya.
Bagaimanapun, bukan hanya surat itu saja senjata para penolak Kamalat. Jacob de Roy, seorang Belanda yang berada di Aceh pada saat itu mencatat bahwa pada awal masa pemerintahan Kamalat, sebanyak empat ulebalang dari daerah pegunungan Aceh memimpin sekitar 4.000 pasukan guna menggulingkan ratu ke Banda Aceh.
Mereka disebut mengambil posisi tak jauh dari pelabuhan di ujung sungai dekat ibu kota. Menghadapi tantangan tersebut, Kamalat memerintahkan syahbandar saat itu mendirikan tenda yang disi sejumlah pasukan dan mengarahkan meriam ke arah para pemberontak.
Namun menurut pengelana Inggris William Dampier, kedua pasukan tak sampai menumpahkan darah. Alih-alih, sepanjang malam mereka saling meneriakkan argumen dan berdiskusi soal perbedaan pendapat terkait pemerintahan. Pada pagi hari, masing-masing pendukung kembali menjalankan aktifitas seperti biasanya.
Selain alasan gender, Dampier mencatat bahwa yang mereka perdebatkan juga soal pemerintahan di Banda Aceh yang lebih condong memajukan sektor perdagangan lewat jalir laut. Hal tersebut, dinilai para ulebalang melemahkan sektor pertanian di pegunungan dan membuat sektor agrikultur merosot produksinya.
Hal itu berlangsung selama beberapa hari hingga para pemberontak dari pegunungan menyerah dan pulang ke lokasi mereka. Meski begitu, rongrongan terhadap Kamalt tak juga berhenti. Kala itu, beredar juga desas-desus bahwa seorang syahbandar di Aceh hendak menikahkan Kamalt dengan putranya dan kemudian merebut kekuasaan.
Kamalat berhasil bertahan dari rongrongan tersebut. Ia juga melanjutkan kebijakan tegas pendahulunya terhadap VOC. Namun pada 1695, kejadian tragis terjadi. Ulama utama kerajaan, Syekh Abdurrauf Singkil mangkat di usia seratus tahun lebih.
Abdurrauf Singkil, bersama rekannya Syekh Ar-Raniry yang telah berpulang sebelumnya adalah ulama utama pendukung kepemimpinan perempuan di Aceh. Selepas kematiannya, tak ada lagi ulama dengan kaliber serupa yang bisa menegaskan kekuasaan sultanah.
Selepas itu, legitimasi atas kekuasaan Kamalat kian lemah. Surat dari Makkah soal boleh tidaknya perempuan memimpin kembali ramai jadi pembicaraan dan akhirnya dirundingkan di Balai Majelis Mahkamah Rakyat pada 1699. Keputusan pun diambil, dan Kamalat akhirnya di makzulkan.
Syarif Hasyim kemudian naik tampuk, dan di luar dugaan, justru menjalankan kebijakan-kebijakan yang kembali mendapat penolakan para tokoh dan uleebalang. Sejarahwan Hoesein Djajaninggrat menuliskan pada 1911 bahwa saat itu sejumlah tokoh di Aceh sempat memohon Ratu Kamalat yang telah diasingkan ke Pidie agar bersedia kembali menjabat.
Permintaan tersebut tak pernah terwujud hingga periode singkat kekuasaan Syarif Hasyim berakhir pada 1707. Sejak itu, kejayaan Aceh terus memudar, dan tak ada lagi sultanah yang memimpin Kesultanan Aceh sampai akhirnya takluk pada Belanda di 1903. n